Opini

Menguatkan Kembali Semangat Nahdlatut Tujjar

Jum, 29 Juni 2018 | 22:00 WIB

Oleh Muslimin 

“Wahai pemuda putra bangsa yang cerdik pandai dan para ustadz yang mulia, mengapa kalian tidak mendirikan saja suatu badan usaha ekonomi yang beroperasi di mana setiap kota terdapat satu badan usaha yang otonom untuk menghidupi para pendidik dan penyerap laju kemaksiatan.” (Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari – Deklarasi Nahdlatut Tujjar 1918). 

Nahdlatut Tujjar (NT) atau kebangkitan pedagang merupakan gerakan kebangkitan ekonomi rakyat yang tidak dapat dipisahkan dengan Nahdlatu Ulama (NU). Fatoni (2017) menyebutkan kelahiran NT sangat dipengaruhi oleh Syarikat Islam (SI), dimana kemudian sekelompok santri di Makkah mendirikan SI Cabang Makkah (1913). Para santri tersebut tertarik karena SI dilihat sebagai gerakan ekonomi masyarakat. Keberadaan SI Cabang Makkah tidak berlangsung lama mengingat pecah Perang Dunia I pada 1914 dan anggota-anggotanya pulang ke tanah air. 

Sekembalinya ke tanah air, para santri yang kemudian dipimpin langsung oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, melanjutkan gerakan ekonomi masyarakat tersebut dengan mendirikan NT, yang secara implementatif kemudian mendirikan Syirkatul ‘Inan atau koperasi sebagai alat gerakan konsolidasi ekonomi masyarakat. Syirkatul ‘Inan dikelola secara profesional oleh para santri dan mampu mengimbangi bank-bank mainstream yang dimiliki oleh pemerintah kolonial, bahkan mampu bersaing dengan bank-bank asing lainnya seperti Taiwan Bank yang membuka cabang di Surabaya. Masa kejayaan NT mulai menurun pada saat Pemerintah Kolonial melalui regulasi-regulasi mempersulit perkembangan koperasi seperti melalui pembebanan biaya yang mahal melalui notaris, penggunaan bahasa Belanda dan lain sebagainya, yang membatasi dan mematikan gerakan NT. 

Batasan-batasan yang mematikan gerakan NT tersebut terlihat dampaknya hingga saat ini. Hal ini dapat diindikasikan dengan minimnya catatan gerakan NU yang bersifat keekonomian dibandingkan dengan catatan pendidikan keagamaan dan sosial politiknya. Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU menjadi daya tarik politik berbagai pihak, dan tarikan-tarikan ini menyebabkan energi NU lebih banyak terdominasi oleh aktivitas politiknya. Dan tanpa basis ekonomi yang kuat, aspek pendidikan keagamaan pun menjadi relatif tertinggal dibandingkan dengan organisasi keagamaan lainnya. Dari kondisi tersebut, ada baiknya kita sebagai sesama jamiyah, menengok kembali wasiat-wasiat pendiri NU, yang jika ditelusuri, sangat visioner. Hal ini setidaknya terlihat dari deklarasi pendirian NT.

Visioneritas Deklarasi Nahdlatut Tujjar
Jika kita membaca kembali wasiat Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari pada deklarasi pendirian NT, beberapa catatan yang dapat kita ambil dari visioneritasnya antara lain; Pertama, KH Hasyim Asy’ari menyeru kepada para cerdik pandai dan ustadz. Hal ini mengindikasikan pentingnya kolaborasi kalangan profesional dan agamawan sebagai pondasi badan usaha. Seruan ini terkait dengan tujuan akhir yang diinginkan oleh KH Hasyim As’ary, yaitu sebagai sumber pendanaan kesejahteraan para pendidik agama dan pencegahan kemaksiatan melalui pengentasan kemiskinan.

Tujuan ini tidak dapat dicapai sendiri oleh kalangan agamawan, namun harus ditopang oleh para profesional yang bervisi pada dua tujuan tersebut. Jika kita lihat masa saat ini, apa yang diserukan KH Hasyim Asy’ari, terlihat sekarang ini dengan adanya sejumlah badan usaha yang berjalan melalui prinsip syariah, yang memadukan para profesional dan kalangan agamawan. Bahkan secara sistem, dalam sektor keuangan perbankan, menganut dual system yang mengadopsi perbankan syariah selain perbankan konvensional. 

Kedua, KH Hasyim Asy’ari menyeru lokasi badan usaha tersebut merujuk pada kota. Mengapa kota? Apakah beliau tidak memahami bahwa basis umatnya berada di wilayah perdesaan yang hidup dalam perekonomian subsisten? Perekonomian yang hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya sendiri dan hasilnya tidak diperdagangkan. Kembali di sini pembuktian visi besar pendiri NU yang disampaikan pada awal-awal abad ke-19 menemukan momentumnya. Jauh-jauh hari, KH Hasyim Asy’ari telah menyerukan apa yang saat ini dikenal sebagai linkage, supply chain dan holdings, suatu keterkaitan ekonomi yang merangkai potensi desa-kota dalam satu mata rantai bisnis, yang banyak diaplikasikan oleh perusahaan-perusahaan raksasa dan multinasional saat ini. Pola inilah yang dapat menghantam kekuatan ekonomi kolonial dan asing pada saat itu, dan pola ini juga yang menghantam kita secara nasional, khususnya jamiyah NU, dengan tidak adanya kekuatan ekonomi yang membentengi kalangan agamawan sebagai penyemai akhlak generasi muda. 

Ketiga, KH Hasyim Asy’ari menyeru badan usaha yang beroperasi bersifat otonom. Hal ini mengisyaratkan bahwa pengelolaan badan usaha tersebut harus profesional dengan tata kelola yang baik (good corporate governance: GCG). Dengan tata kelola yang baik, yang juga saat ini menjadi tren dalam dunia bisnis, KH Hasyim Asy’ari sudah memberi contoh kepada para santrinya untuk mengikuti prinsip-prinsip GCG, yang saat ini sudah banyak dirumuskan secara teknis dan diberlakukan pada dunia usaha. Dengan demikian, materi-materi terkait dengan ini setidaknya mulai dikembangkan pada instrumen yang dimiliki NU saat ini, seperti pesantren dan kalangan pengurus hingga tingkat ranting.

Prinsip-prinsip GCG salah satunya adalah mendorong pengelolaan usaha secara modern dengan memisahkan kepemilikan usaha dan manajer perusahaan, dengan tujuan memaksimalkan nilai perusahaan atau para pemilik perusahaan. Melalui tata kelola badan usaha yang modern tersebut, yang pada prinsipnya mengacu pada sifat otonom yang disampaikan oleh KH Hasyim Asy’ari, setiap pihak dapat fokus menjalankan fungsinya masing-masing sesuai dengan keahlian yang dimiliki. 

Keempat, KH Hasyim Asy’ari menyeru badan usaha yang beroperasi bertujuan menghidupi para pendidik dan pencegah laju kemaksiatan. Seruan yang sangat visioner dimana apa yang disampaikannya tersebut saat ini menjadi salah isu sentral dalam bidang manajemen perusahaan, yaitu Corporate Social Responsibility (CSR).

Sejak awal, NT yang dideklarasikan tidak bertujuan pencapaian kesejahteraan ekonomi semata, namun terutama bersifat sosial. Kalangan NU sebenarnya tinggal menggali dan menghidupkan kembali prinsip-prinsip ini, pada saat kalangan lainnya, seperti akademik, masih merumuskan bentuk sintesis dari bisnis dan sosial. Dunia bisnis internasional saat ini bersaing dalam reputasi sebagai perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial melalui ukuran-ukuran kinerja sosial perusahaan, atau bahkan harus bersifat mandatory untuk mengumumkan laporan aktivitas sosialnya dalam laporan kinerja perusahaannya. Dengan melakukan revitalisasi NT, badan usaha yang dijalankan tidak terlalu pusing memikirkan capaian kinerja sosialnya, oleh karena ukuran capaian kinerja sosialnya sudah inheren dalam aktivitas operasional dan tujuan didirikannya. 

Terakhir adalah soal bentuk implementasi badan usaha. Setelah pendeklarasian, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari langsung bergerak membentuk koperasi sebagai badan usaha yang menggerakan ekonomi rakyat, jauh sebelum koperasi menjadi salah satu bentuk badan usaha yang termaktub dalam UUD 1945. Dengan demikian, koperasi yang menjadi sokoguru perekonomian nasional yang ada dalam UUD1945, bukanlah hanya cita-cita yang ahistoris, namun secara empirik pernah dilakukan oleh para santri sebelumnya, yang dikomandani langsung oleh KH Hasyim Asy’ari. Apa yang telah dicontohkan inilah yang saat ini sulit menemukannya.

Sebagai catatan, dari total jumlah koperasi aktif sebanyak 148.220 buah yang tercatat pada BPS Tahun 2016, seberapa banyak yang dikelola oleh para santri? Selain koperasi itu, terdapat koperasi yang berbasis pada pondok pesantren atau kopontren, yang berbasis pada lembaga pendidikan warisan KH Hasyim Asy'ari. Seberapa banyak yang mampu bersaing dengan badan usaha atau bank mainstream di Indonesia? Dengan gerakan koperasinya, KH Hasyim Asy'ari mampu membuat pemerintah kolonial dan bank asing kewalahan menghadapinya, sehingga dibabat dengan cara persaingan yang tidak sehat. Saat ini, berapa koperasi yang digawangi para santri, yang mampu berbuat hal yang sama? Jawabannya hanya satu, kembali pada wasiat spirit NT, atau digilas kapitalisasi ekonomi eksternal. 

Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.