Opini

Moderatisme KH Hasyim Muzadi dan KH Afifuddin Muhajir

Sel, 3 September 2019 | 05:30 WIB

Moderatisme KH Hasyim Muzadi dan KH Afifuddin Muhajir

KH Hasyim Muzadi dan KH Afifuddin Muhajir. (Ilustrasi: Kamal)

Oleh Hilmi Ridho

Islam sebagai agama terakhir memiliki banyak ciri khas yang membedakannya dari agama lain, ada tiga ciri khas agama Islam yang paling menonjol yaitu tawasuth, ta’adhul, dan tawazun. Tiga ungkapan tersebut dapat disatukan menjadi wasathiyyah (moderasi). Akhir-akhir ini banyak muncul kalangan yang mengatasnamakan Islam, namun ideologi dan aksinya tidak mencerminkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin, ada yang ekstrem kanan, dan ada pula ekstrem kiri. Keduanya saat ini lebih dikenal dengan gerakan radikalisme dan liberalisme.

Islam yang sejatinya memiliki prinsip mengasihi kepada penganutnya, kini tercoreng dengan kehadiran dua aliran itu. Untuk membendung gerakannya agar tidak menjadi parasit, pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan menanamkan karakter moderat kepada santrinya, supaya tidak terjerumus sebagai penganut dua aliran mainstream. Tak hanya berbekal ilmi pengetahuan, tapi juga aksinya dalam memberantas ideologi radikal dan liberal sampai ke akar-akarnya, hal inilah yang dilakukan KH Ahmad Hasyim Muzadi dalam beberapa kesempatan.

Semenjak masih aktif memimpin NU sebagai Ketua Umum PBNU sampai setelah tidak lagi menjabat, Kiai Hasyim Muzadi masih menggawangi ICIS (International Confrence of Islamic Scholars), beliau gunakan kesempatan itu untuk mendakwahkan Islam moderat ke berbagai belahan dunia. Dengan jabatan itu beliau menggelar beberapa kali sarasehan ulama pesantren dan cendikiawan internasioanl yang bertempat di Jakarta dan satu kali di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur dengan tema besar Mengokohkan kembali Islam Rahmatan lil 'Alamin, aksi itu beliau kembangkan dari satu kota ke kota lain sebagai manifestasi dalam pemberantasan gerakan radikalisme dan liberalisme.

Salah satu acara sarasehan ulama pesantren dan cendikiawan beliau tempatkan di Pondok Pesantren Al-Hikam Depok, Jawa Barat. Dalam kegiatan itu menghasilkan maklumat kebangsaan untuk perbaikan bangsa dan negara. Indonesia memang sudah merdeka secara fisik dari penjajahan, akan tetapi secara ideologi Indonesia masih terbelenggu dengan penjajahan. Mengapa demikian? Benih-benih pemikiran statis dan jumud, menjadi penyebab mudahnya penjajahan secara ideologi, hal itu tak bisa terbantahkan mengingat munculnya terorisme yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah Islam.

Gerakan ini hanya didukung oleh kelompok ekstremis, upaya pendirian khilafah Islam lahirkan banyak teroris. Indikasi Islam ekstrem adalah kelompok yang meyakini dirinya sebagai satu-satunya kebenaran, meyakini yang ia tempuh sebagai agama bukan lagi sekadar teori pemahaman. Semenatara nilai-nilai yang harus dipedomani umat Islam adalah nilai moderat Al-Qur’an dan keislaman bukan nilai-nilai kemanusiaan murni.

Dalam kesempatan lain, Kiai Hasyim Muzadi menyampaikan bahwa Islam Rahmatan lil ‘Alamin sangat relevan dengan kondisi global yang anti damai, penuh kekerasan dan bahkan mendukung radikalisme. Ironisnya, kondisi global ini seolah diamini dengan dogma yang pro-kekerasan dan anti damai tersebut. Agama diangankan sebagai penebar kekerasan, radikalisme, penyokong perang dan seterusnya, stigma negatif agama terlanjur merebak kemana-mana.

Beliau menambahkan tugas utama kita adalah menyebarkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin ke seantero dunia, Islam harus mampu menebarkan kasih sayang pada seluruh makhluk di bumi, Islam hadir membawa misi keselamatan, ketentraman, dan kedamaian hidup, Islam harus menorehkan harapan damai dan keselamatan pada manusia di bumi tanpa melihat jenis kelamin, tempat tinggal, suku, agama, aliran, dan yang lainnya.

Melalui aksinya di kancah politik, Kiai Hasyim Muzadi banyak menyampaikan pesan-pesan tentang moderasi Islam yang harus dikedepankan. Seperti konfrensi internasional yang diadakan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, beliau berharap konfrensi tersebut menghadirkan konsep perdamaian diberbagai belahan dunia. Oleh karenanya, diperlukan para umana' dan cendikiawan Muslim untuk membimbing dan membina umat Islam dengan cara menyebarkan pemikiran Islam yang moderat untuk membentuk generasi yang konstruktif, sehingga dapat menyelesaikan masalah perbedaan dengan cara dialog.

Adapun KH Afifuddin Muhajir, kiai yang satu ini lebih banyak berperan di belakang layar, artinya lebih banyak menyebarkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin melalui pemikirannya yang tertuang dalam karya-karyanya. Seperti bukunya yang berjudul Membangun Nalar Islam Moderat: Kajian Metodologis dan Fiqih Tata Negara. Dalam salah satu karyanya, beliau menyampaikan bahwa moderasi adalah jalan tengah di antara dua hal yang berbeda.

Dengan demikian, menurutnya yang dimaksud moderasi adalah setiap pola pikir, pola bertindak, dan berperilaku yang memiliki tiga komponen ciri khas Islam yaitu, tawasuth, ta’adhul, dan tawazun. Watak moderasi melekat semenjak agama Islam lahir, dan akan terus melekat sampai hari kiamat nanti. Setelah terjadi perpecahan dalam tubuh umat Islam, sifat moderasi lengket dengan golongan yang bernama Aswaja (Ahlussunnah wal Jama'ah).

Dalam kesempatan menjadi narasumber seminar internasional Conflict and Democratization Process in the Middle East (Konflik dan Proses Demokratisasi di Timur Tengah) di Pondok Pesantren Al-Hikam, Depok, Jawa Barat, Katib Syuriah PBNU itu menyampaikan sebuah makalah yang berjudul Moderasi dan Manifestasinya dalam Negara Pancasila, dalam makalah tersebut terdapat sebuah kesimpulan bahwa ada tiga pengertian tentang moderasi.

Pertama, moderasi adalah jalan tengah di antara dua hal yang berlawanan. Kedua, memadukan di antara dua hal yang diperlukan. Ketiga, moderasi artinya juga realitas meletakkan sesuatu pada tempatnya. Kesimpulan makalah itu menunjukkan bahwa Islam tidak menutup mata dari situasi dan kondisi yang pasti dialami oleh manusia, seperti sifat manusia yang tidak selalu kuat dan tidak selalu lemah. Pada dasarnya Islam sangat idealis, akan tetapi dalam kondisi tertentu Islam tidak segan untuk turun ke bumi realitas.

Dalam waktu lain, Kiai Afifuddin Muhajir menyampaikan bahwa Islam itu moderat dan indah, akan menjadi menjadi tambah indah kalau disampaikan, diajarkan, dan didakwahkan dengan cara yang indah pula. Sebaliknya, Islam akan tercoreng bila diajarkan dan didakwahkan dengan cara yang tidak baik. Salah satu manifestasi dari keindahan Islam adalah toleransi. Toleransi tentu berbeda dengan justifikasi. Islam berada di antara radikalisme dan liberalisme, artinya Islam tidak radikal dan liberal.
 

Penulis adalah santri di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo