Opini

Pramuka dan Gerakan Kepemudaan di Tubuh NU

Rab, 14 Agustus 2019 | 04:15 WIB

Pramuka dan Gerakan Kepemudaan di Tubuh NU

Gerakan Pramuka (ist)

Oleh Fathoni Ahmad

Gerakan kepanduan yang kini kita kenal dengan Gerakan Praja Muda Karana (Pramuka) tidak lepas dari peran para kiai pesantren sebagai inisiator gerakan pemuda di Indonesia. Para kiai, terutama KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) menyadari bahwa perjuangan melawan penjajah membutuhkan peran para pemuda sebagai generasi penerus bangsa. Bahkan, para pemuda merupakan investasi berharga sebuah bangsa dalam meneruskan perjuangan memakmurkan seluruh rakyat dan menyatukannya dalam bingkai keindonesiaan.

Di sini Kiai Wahab Chasbullah menginisiasi gerakan para pemuda dalam sebuah wadah perkumpulan atau organisasi yang dinamainya Nahdlatul Wathan. Dalam catatan Choirul Anam (2010), Nahdlatul Wathan yang didirikan Kiai Wahab pada 1916 itu merupakan sebuah perguruan atau madrasah. Di dalamnya ada kurikulum pembelajaran berbasis keilmuan pesantren dan penanaman cinta tanah air dalam jiwa para pemuda. Prinsip cinta tanah air (hubbul wathan) ini ditekankan Kiai Wahab sebagai visi jangka panjang perjuangan dan gerakan para pemuda.

Dalam proses pembelajaran tersebut, Kiai Wahab menahbiskan Syubbanul Wathan (pemuda cinta tanah air). Konsep cinta tanah air melalui pendidikan ini menyadarkan para generasi muda agar bersatu melawan penjajah demi kemerdekaan bangsa Indonesia. KH Wahab Chasbullah berhasil mendirikan perguruan Nahdlatul Wathan atas bantuan beberapa kiai lain dengan dirinya menjabat sebagai Pimpinan Dewan Guru (keulamaan). Sejak saat itulah Nahdlatul Wathan dijadikan markas penggemblengan para pemuda. Mereka dididik menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air.

Bahkan setiap hendak dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab ciptaan Mbah Wahab sendiri. Kini lagu tersebut sangat populer di kalangan pesantren dan setiap kegiatan Nahdlatul Ulama (NU), yakni Yaa Lal Wathan yang juga dikenal dengan Mars Syubbanul Wathan. Benih-benih cinta tanah air ini akhirnya bisa menjadi energi positif bagi rakyat Indonesia secara luas sehingga perjuangan tidak berhenti pada tataran wacana, tetapi pergerakan sebuah bangsa yang cinta tanah airnya untuk merdeka dari segala bentuk penjajahan.

Selain itu, terlibatnya Kiai Wahab di berbagai organisasi pemuda seperti Indonesische studie club, Syubbanul Wathan, dan kursus Masail Diniyyah bagi para ulama muda pembela madzhab tidak lepas dari kerangka tujuan utamanya, membangun semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang sedang terjajah. Bahkan pada 1924, Kiai Wahab membentuk Ahlul Wathan (Pandu Tanah Air) yang merupakan salah satu cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor. Setelah resmi berdiri pada 1934, GP Ansor mendirikan sayap organisasi bernama Pandu Ansor yang pernah mewakili Indonesia dalam Djambore Pandu Dunia ke-10 di Makiling, Los Banos (Laguna) Filipina pada 17-26 Juli 1959.

Dalam mengembangkan Madrasah Nahdlatul Wathan ini, Kiai Wahab berupaya menyebarkan 'virus' cinta tanah air secara luas di tengah masyarakat dengan membawa misi tradisi keilmuan pesantren. Perjuangan mulia ini tentu harus digerakkan secara terus-menerus melalui setiap lembaga pendidikan yang ada saat ini sehingga cita-cita luhur pendiri bangsa untuk memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) semakin kuat dan tak pernah surut. Termasuk melalui Gerakan Pramuka yang mempunyai anugerah sebagai ‘Manusia Pancasila’ dalam mars-nya.

Tidak bisa dipungkiri, semangat cinta tanah air dari Kiai Wahab Chasbullah inilah yang sedikit banyak menginspirasi dan menggerakaan para pemuda sesudahnya dalam forum sumpah pemuda pada 1928, dua tahun setelah NU berdiri pada 1926 di Surabaya. Berdirinya NU sendiri merupakan puncak pergerakan Kiai Wahab yang sebelumnya mendirikan sejumlah perkumpulan sebagai embrio lahirnya Nahdlatul Ulama.

Satu tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda, tepatnya pada 9 Oktober 1927, para kiai dalam forum tertinggi NU memutuskan untuk menabuh genderang perang kebudayaan. Dalam perang kebudayaan ini, para kiai NU di antaranya melakukan pelarangan budaya Belanda yang tersimbol dalam ornamen mode pakaian.

Keputusan NU tahun 1927 tersebut bentuk perlawanan budaya para kiai terhadap penjajah. Perang kebudayaan yang digelorakan para kiai NU itu dalam implementasinya berwujud boikot dan delegitimasi atas budaya yang bersumber dari penjajah. Perang kebudayaan tersebut secara ekstrem juga berwujud legitimasi para kiai NU untuk berperang melawan penjajah.

Keputusan NU tentang perang kebudayaan tersebut secara langsung melahirkan hukum kewajiban muslim Nusantara untuk berperang mengangkat senjata. Sebab untuk kali pertama, NU menggolongkan penjajah saat itu sebagai kaum kafir yang harus diperangi dan ditundukkan. Keputusan NU untuk perang kebudayaan itu menyebar ke tengah masyarakat. Muslim Nusantara merespon cepat dengan melakukan pergerakan melawan penjajah. Segala macam asesoris, ornamen, simbol yang berbau penjajah mendapat penolakan keras dari masyarakat desa.

Selama satu tahun NU melakukan perang kebudayaan dengan berbagai konsekuensinya. Babak selanjutnya terjadi pada tanggal 9 September 1928 saat NU menggelar Muktamar sebulan sebelum deklarasi Sumpah Pemuda. Saat Muktamar NU 1928 tersebut para kiai memutuskan untuk melanjutkan perang kebudayaan menghadapi penjajah. Para kiai pun menambah agenda baru konfrontasi dengan Belanda dengan memasukkan isu ekonomi dan politik.

Pada isu ekonomi para kiai melakukan delegitimasi mata uang penjajah. Sedangkan isu politik digulirkan dengan mempertanyakan keabsahan kekuasaan penjajah di bidang keagamaan. Maka menjelang Sumpah Pemuda, perlawanan para kiai NU maju dua langkah. Pertama, menyisir dari kelemahan mata uang penjajah. Kedua, menyisir dari kelemahan kekuasaan penjajah di bidang keagamaan.

Satu bulan pasca Muktamar NU ke-3, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda dideklarasikan dengan digawangi oleh Sugondo Djojopuspito, RM. Djoko Marsaid, Muhammad Yamin, dan Amir Sjarifuddin. Tema besar Sumpah Pemuda cepat direspon masyarakat mengingat Sumpah Pemuda adalah bagian dari babak perjuangan anak bangsa, termasuk NU yang sejak awal sudah melakukan sejumlah perjuangan. Inilah yang dimaksud bahwa NU adalah bagian dari gerakan sistematik kebangkitan nasional. Termasuk membangun kesadaran berbangsa para pemuda sejak dini.

Pijakan perjuangan dalam menanamkan benih-benih cinta tanah air kepada para pemuda yang dilakukan oleh KH Wahab Chasbullah ialah dawuh gurunya sekaligus kawan seperjuangannya, KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1841-1947). Berangkat dari prinsip keilmuan pesantren dan kondisi bangsa, Kiai Hasyim Asy’ari mencetuskan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Sebab itu, perjuangan dan perlawanan melepaskan diri dari setiap penjajahan ialah kewajiban agama.

Seluruh gerakan kepanduan pemuda di Indonesia disatukan oleh Presiden Soekarno pada 1961 ke dalam Gerakan Praja Muda Karana, tepatnya 14 Agustus 1961. Tirto mencatat, sebelumnya pada 1928, Persaudaraan Antara Pandu Indonesia (PAPI) dibentuk lalu berkembang menjadi Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI). Kemudian pada 1945 dilaksanakan Kongres Kepanduan Indonesia di Solo, Jawa Tengah yang melahirkan Gerakan Pandu Rakyat Indonesia. Lalu pada 1951, Ikatan Pandu Indonesia (IPINDO). Dan pada 1953, IPINDO menjadi anggota kepanduan sedunia.

Berangkat dari sejarah perjuangan para kiai pesantren dalam menumbuhkan cinta tanah air di dada para pemuda di awal-awal pergerakan nasional melawan penjajah, Gerakan Pramuka yang pada 2019 telah berumur 58 tahun harus terus menegaskan diri sebagai wadah ‘Manusia Pancasila’. Pramuka yang terintegrasi dengan anak didik di setiap jenjang pendidikan juga harus konsisten menjadi corong dalam menjaga persatuan, keberagaman, tradisi, dan budaya dalam bingkai keindonesiaan yang hakiki berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Salam Pramuka!
 
 
Penulis adalah anggota LAKSANA Gerakan Pramuka 2006-2007, Redaktur NU Online