Opini MUKTAMAR KE-34 NU

Munas dan Muktamar NU Lampung: Simbol Penguatan Metodologi Akademik

Ahad, 9 Januari 2022 | 17:15 WIB

Munas dan Muktamar NU Lampung: Simbol Penguatan Metodologi Akademik

Ilustrasi: salah satu forum Muktamar ke-34 NU Lampung di gedung serbaguna UIN Raden Intan Bandarlampung. (Foto: dok. NU Online)

Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama pada 22-24 Desember 2021 yang digelar di Provinsi Lampung semakin meneguhkan dan memperkuat NU sebagai jam’iyah, perkumpulan yang mengedepankan metodologi akademik dalam setiap pengambilan keputusan hukum agama terhadap sejumlah problem masyarakat, bangsa, dan negara. Secara simbolik, setidaknya spirit penguatan akademik terlihat dari tempat berlangsung Muktamar NU yang digelar di universitas dan pondok pesantren.


Pondok pesantren dengan tradisi keilmuannya selama ini mampu merespons setiap problem masyarakat, termasuk perubahan dan perkembangan zaman. Dalam setiap perkembangan era yang makin canggih dan moderen, metodologi pengambilan hukum yang dilakukan oleh para ulama NU tidak lepas dari literatur-literatur kitab para ulama yang sarat dengan khazanah keilmuan. Tiap ijma’ dan qaul para ulama dibedah secara mendalam untuk menemukan jalan keluar atas problem keagamaan di tengah kehidupan masyarakat.


Perhelatan Muktamar Ke-33 NU sebelumnya, yaitu tahun 2015 di Jombang, Jawa Timur diselenggarakan di empat pondok pesantren besar: Tebuireng, Tambakberas, Denanyar, dan Darul Ulum Peterongan. Namun di Muktamar NU Lampung universitas mendominasi lokasi Muktamar. Universitas yang dijadikan lokasi ialah Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan, Universitas Lampung, dan Universitas Malahayati. Ketiga universitas tersebut merupakan spirit penguatan metodologi akademik yang selama ini menjadi ruh NU dalam setiap pengambilan keputusan dan hukum.


Munas Alim Ulama NU yang berlangsung pada tahun 1992 silam, tepatnya pada 16-20 Rajab 1412 H bertepatan 21-25 Januari 1992 menjadi salah satu tonggak transformasi metodologi pengambilan keputusan dan hukum dalam tradisi bahtsul masail dari qauli ke manhaji dan jama’i. Perubahan visioner tersebut dilakukan agar setiap problem keagamaan yang bersifat mendesak dan darurat bisa segera diputuskan, tidak mauquf (tertunda).


Tentu perubahan itu tidak serta-merta tanpa dasar keilmuan, tetapi justru berangkat dari khazanah kuat ilmu ushul fikih dan kaidah fikih yang selama ini dikaji secara sistematis di pondok pesantren. Karena pada Munas 1992 tersebut, para ulama NU gelisah dengan sejumlah keputusan hukum yang selalu berbunyi “mauquf”, tidak ada keputusan hukumnya karena belum ditemukan dalam kitab mana pun.


Akhirnya para ulama NU sepakat untuk membahas tentang “Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dalam Bahtsul Masail di Lingkungan Nahdlatul Ulama”. Selain soal sistem pengambilan keputusan hukum, problem lain yang dibahas ialah mengenai “Bank Islam” dan “Asuransi Menurut Islam”. (baca Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama, penerbit LTN PBNU-Khalista, 2011)


KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan Ketua Umum PBNU saat itu dan yang memiliki spirit membuncah dalam memunculkan keputusan baru tersebut ialah KH Ma’ruf Amin, sahabat karib Gus Dur. Kala itu KH Ma’ruf Amin merupakan Katib ‘Aam PBNU. Kiai Ma’ruf Amin menegaskan bahwa mulai 1992, dalam pengambilan keputusan hukum, para kiai tidak tekstual atau qaulan saja. Persoalannya, jika hanya mendasarkan pada sistem qauli, keputusan hukum yang di-bahtsulmasail-kan akan banyak yang mauquf sehingga mau ke mana lagi umat akan mengadu.


Keputusan Munas Alim Ulama NU tahun 1992 tersebut menegaskan bahwa sistem pengambilan hukum dilakukan secara qauli. Namun ada istitsna (pengecualian) apabila tidak terdapat qaul-qaul ulama yang dijelaskan secara tekstual di dalam kitab mana pun. Secara eksplisit dalam buku Ahkamul Fuqaha halaman 470 sub bab “Prosedur Penjawaban Masalah” dijelaskan sebagai berikut:


Keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam kerangka bermadzhab kepada salah satu mazhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qauli. Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:


1. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana hanya terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ibarat tersebut.


2. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih salah satu qaul/wajah.


3. Dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaqul masa’il binadha'iriha secara jama’i oleh para ahlinya.


4. Dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istimbath jama’i dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh para ahlinya.


Dijelaskan bahwa “ilhaqul masail bi nadhairiha secara jama'i” adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”), dan dilakukan oleh para kiai secara bersama-sama. Para kiai kemudian menyebut ini sebagai metode qiyas (qodliyah/silogisme) ala NU.


Lalu dijelaskan juga bahwa bermazhab secara manhaji adalah bermazhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam mazhab. Jadi, bisa saja keputusan yang akan diambil nantinya tidak sama dengan kata-kata Imam Syafi’i, misalnya. Namun dianggap sama dengan yang diingini Imam Syafi’i secara metodologis (manhaji).


Untuk menindaklanjuti ilhaqul masail bi nadhairiha dan taqrir jama’i agar formulanya lebih rinci dan operasional, Lembaga Bahtsul Masail PBNU membawa kedua materi tersebut ke dalam forum Munas Alim Ulama dan Konbes NU pada 23-25 November 2017 di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Jadi secara akademik, metodologi pengambilan hukum di lingkungan NU terus mengalami perkembangan untuk merespons perubahan zaman.


Lokasi Muktamar ke-34 NU di Lampung yang mayoritas berlangsung di universitas juga diharapkan agar perkembangan metodologi keilmuan, baik di kampus modern maupun di pondok pesantren semakin kuat dan bersinergi tanpa mencerabut identitas masing-masing. Karena keduanya merupakan corong keilmuan dan peradaban. Apalagi kini universitas NU telah tersebar di sejumlah daerah. Sehingga di sini jelas bahwa perkembangan metodologi dapat menghasilkan produk hukum yang tepat dan sumber ilmu pengetahuan baru.


Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online dan pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)