Opini

Nalar 'Civil Religion' Mbah Achmad Shiddiq

Sab, 21 Januari 2017 | 12:30 WIB

(Refleksi Menyambut Haul Ke-26 KH Achmad Shiddiq)

Oleh Hayi Abdus Sukur

Membaca dialektika antara agama dan negara dewasa ini tampaknya akan semakin mengkhawatirkan. Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim) sebagai bagian dari komponen ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa) tercederai oleh prilaku intoleransi.

Sejak tahun 2014 hingga 2016 kasus intoleransi atas nama agama mengalami tren peningkatan. Komnas HAM mencatat ada 74 kasus intoleransi di tahun 2014. Meningkat menjadi 87 kasus di tahun 2015. Bahkan hampir 100 kasus yang mengkhawatirkan kebhinnekaan di Indonesia ini pada tahun 2016. Varian kasus intoleransi meliputi pelarangan aktivitas keagamaan, pengrusakan rumah ibadah, diskriminasi atas dasar keyakinan agama, intimidasi, dan pemaksaan keyakinan.

Di sisi lain benih kekerasan yang secara intrinsik ada dalam agama, tidak serta merta timbul dengan sendirinya. Kadang, entitas di luar agama, seperti kondisi sosial politik dan riil ekonomi merupakan faktor utama timbulnya beberapa tindak kekerasan bernuansa agama yang memenuhi pemberitaan di berbagai media di seantero negeri ini.

Masalah ketidaksetaraan dan kesenjangan sosial misalnya, pada ambang batas tertentu sangat menyentuh rasa keadilan masyarakat secara luas. Data kemiskinan memang mengalami tren penurunan, akan tetapi tidak seimbang dengan peningkatan laju kekayaan yang membutuhkan formula baru dalam penyelesaiannya.

Semakin menumpuknya hutang luar negeri yang diwarnai dengan isu persekongkolan, ditambah lagi dengan penyebaran informasi yang menyudutkan pemerintah baik berdasar pembuktian ataupun tidak, telah ikut serta menimbulkan keresahan secara massif.

Globalisasi ekonomi baik secara teoritis maupun terapannya, lebih menguntungkan kelompok tertentu yang lebih maju dari sisi ilmu pengetahuan dan penguasaan sumber-sumber ekonomi melalui perusahan multinasional semakin menimbulkan rasa frustasi di berbagai level  anggota masyarakat. Lambannya penegakan hukum, semakin meningkatnya tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme menjadikan masyarakat semakin tidak berdaya dalam berbagai dimensinya.

Ketidakadilan struktural ini merupakan tanggung jawab pemerintah baik pusat hingga daerah yang terejawantahkan dalam wujud pelayanan sosial. Kebijakan pro-rakyat seperti pelayanan kesehatan, sandang, pangan, pendidikan, penerangan, akses ekonomi dan supremasi hukum merupakan wujud hadirnya negara atas kebutuhan sosial dasar rakyatnya.

Perubahan rezim setiap periode kepemimpinan melalui pemilu tidak akan menimbulkan persoalan yang signifikan jika layanan sosial terhadap masyarakat tetap berjalan dengan prima. Kebutuhan masyarakat yang terlayani dengan baik menjadi penopang stabilitas pemerintahan. Sebaliknya lemahnya kinerja pelayanan sosial akan menambah akumulasi rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.

Perkawinan antara faktor eksternal dan pemahaman sempit terhadap teks-teks keagamaan serta ditopang oleh rasa ketidakadilan global hingga lokal tersebut merupakan cikal-bakal terciptanya situasi yang semakin rumit dan kompleks. Rasa ketidakadilan dan pemahaman yang rapuh akan keberadaan orang lain maupun kelompok, baik suku, ras, agama maupun budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan mendatangkan marabahaya yang sangat mengerikan di belakang hari.

Pendekatan hukum apalagi pendekatan militer dalam penyelesaian kasus kekerasan bahkan teror atasnama agama belum mampu menyentuh akar permasalahan. Bahkan tak jarang semakin meningkatkan militansi serta rasa dendam warisan. Bahkan pada momentum tertentu, mereka akan kembali muncul dengan wajah yang lebih agresif. 

Dalam konteks ini, peran tokoh agama dan ormas keagamaan, menemukan siginifikansinya dalam membantu menyelesaikan masalah radikalisme serta sebagai penyanggah moderasi Islam di Indonesia. Al-Maghfurlah KH Achmad Shiddiq (Mbah Achmad) salah tokoh agama, tokoh masyarakat yang dalam kontsalasi sejarahnya menjadi salah satu tokoh  tauladan penyanggah moderasi Islam di Indonesia. Dengan kemampuan keagamaannya yang mendalam dan keluwasan pergaulannya, Mbah Achmad mampu mengejawantahkan nilai substansi agama menjadi etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mengikuti jejak pemikiran the founding fathers bangsa sekaligus tokoh pendiri NU, Mbah Achmad meyakini asas ikhlas dan taqwa dalam amal ibadah dan amal perjuangan. Sehingga tidak perlu asas dicantumkan dalam Anggaran Dasar, melainkan cukup dihayati dan diamalkan. Menempatkan Islam sebagai ideologi, berarti menempatkan agama setara dengan liberalisme, marxisme serta isme-isme yang lain.  Padahal ideologi adalah ciptaan manusia. Umat Islam boleh berideologi apa pun yang penting tidak bertentangan dengan substansi Islam.

Umat Islam tidak lagi berwawasan golongan, akan tetapi lebih berwawasan nasional. Umat Islam adalah mereka yang bersahabat, percaya, dan menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan yang disembah kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Negara Republik Indonesia lahir dan tegak berdiri sebagai hasil perjuangan seluruh golongan rakyat Indonesia. Para tokoh pejuang Islam Indonesia banyak terilhami oleh Mitsaq al-Madinah atau “Piagam Madinah” dalam merumuskan NKRI berdasarkan Pancasila. Bahkan dikatakan Pancasila adalah sejiwa dengan Piagam Madinah.

Mbah Achmad menegaskan bahwa menjaga kedaulatan NKRI dan stabilitas nasional bagi umat Islam bukan hanya kewajiban sebagai warga negara, tetapi sekaligus kewajiban agama yang asasi. Perubahan kepemimpinan sebagai bagian dari amanah rakyat, mempunyai tanggung jawab yang sama  yaitu memantapkan stabilitas nasional. Stabilitas nasional adalah kunci kesuksesan pembangunan.

Nalar civil religion yang menginginkan sebuah dialog dengan entitas lain melalui nilai-nilai substansial ketimbang formalitasnya adalah khas Indonesia yang tak terjebak pada teokrasi maupun sekulerisasi. Sehingga nilai substansi Islam dapat terejawantahkan secara dinamis sebagai bukti rahmatan lil ‘alamin.

Penulis adalah Pengurus Lakpesdam NU Bondowoso