Opini

Pancaran Energi Puasa

Kam, 18 Agustus 2011 | 01:16 WIB

Oleh. Cecep Zakarias El Bilad

Separuh Ramadhan sudah terlewati. Tentu kita sudah merasakan betapa bedanya diri dan lingkungan kita selama Ramadhan dengan hari-hari sebelumnya. Ini berarti, puasa memiliki dampak kejiwaan baik secara pribadi maupun sosial. Dan dampak ini tentu terasa berbeda satu individu dengan individu lainnya, tergantung pada kualitas penghayatannya.

Dampak kejiwaan puasa sudah dimaklumatkan sendiri dalam al-Quran, “Hai orang-orang yang beriman, diperintahkan atas kalian berpuasa sebagaimana diperintahkan atas para pendahulu kalian, agar kalian bertakwa” (QS.2:183). Takwa adalah sikap jiwa. Yakni totalitas pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan yang diorientasikan semata-mata kepada Allah. Sikap ini bisa ditumbuhkan dengan puasa.<>

Bagaimana sebuah aktifitas yang dilakukan hanya sebulan bisa membentuk sikap? Tentu tidak mustahil, namun tidak pula mudah. Yang jelas, Allah tidak mungkin membebankan perkara yang manusia tak mampu menjalaninya.

Mengenal Diri

Mengenal siapa diri kita adalah modal dasar untuk manggapai maksud syariat puasa itu. Menurut Ibn Sina, manusia memiliki dua unsur, jasad dan ruhani. Jasad adalah tubuh kita, seonggok daging yang berwarna, berbobot, bisa diindera dan bisa mengindera, tumbuh, rusak dan hancur kapan saja saatnya datang. Sedangkan ruhani adalah apa yang menempati dan mengoperasikan seonggok daging tersebut. Unsur inilah yang merupakan esensi manusia. Diri manusia yang sebenarnya. Yang berpikir, merasa, berkata dan bertindak dengan media jasad.

Dia terpisah dari jasad, tapi hanya bisa bekerja di dunia ini melalui jasad. Ia bisa terpengaruh sekaligus mempengaruhi kondisi jasad. Dan mati adalah saat dimana ruhani tercerabut dari media fisiknya itu. Ia tetap utuh saat jasad hancur kembali ke wujud asalnya, tanah. Ia dikarantina Allah di alam arwah, menunggu datangnya hari pengadilan. Hari saat jasad-jasad kelak dicipta ulang sekadar untuk bersaksi, tentang bagaimana mereka difungsikan oleh penggunanya itu selama hidup di dunia sekarang ini (QS.36:65).

Ruhani menurut Ibn Sina memiliki tiga aspek (Kadar, 2005): Pertama, nabati (al-nafs al-nabātiyyah) yakni kekuatan yang menggerakkan seluruh sistem tubuh yang terkait pencernaan, pertumbuhan dan perkembangbiakkan. Pengolahan makanan dan minuman menjadi energi-energi yang dibutuhkan tubuh termasuk libido seks, dimenej oleh aspek ruh yang juga dimiliki tumbuhan dan hewan ini.

Kedua, hewani (al-nafs al-hayawāniyyah) yakni aspek yang menjadi kekuatan penyerap dan penggerak. Aspek ini berfungsi menyerap semua hal yang diperlukan tubuh baik yang konkrit maupun abstrak seperti ilmu dan informasi, serta mengelola sistem pergerakan tubuh. Kerja aspek ini sebagai respon atas perintah dari aspek pertama dan ketiga. Ruhani jenis ini juga dimiliki binatang.

Ketiga, insani (al-nafs al-insāniyyah) yakni sumber pengetahuan, relijiusitas, etika dan norma. Di sinilah tempat akal (‘aql) dan kalbu (qalb) berada. Ruh insani ini menjadi keunikan sekaligus keunggulan manusia atas mahluk lainnya. Dengan aspek inilah manusia mengenal Tuhan/agama dan menciptakan peradaban.

Kerja ketiga aspek ruh ini terkait satu sama lain dan saling mendukung. Tapi kemudian, terjadi persaingan antara aspek nabati dan insani Yang satu berupaya mendominasi yang lain. Persoalannya adalah kecenderungan ruh nabati untuk lebih kuat sehingga mampu menguasai kekuatan penggerak/ruh hewani. Ini karena fungsi ruh nabati terkait langsung dengan keberadaan manusia kini dan di sini. Jika di sisi lain ruh insani lemah, ia akan mudah ditundukkan dan menjadi instrumen pemuasan kebutuhan-kebutuhan ruh nabati. Dari sinilah terlahir penyakit-penyakit ruhani yang menjadi sumber semua persoalan umat manusia: rakus, korup, dengki, sombong, dan lain sebagainya.

Merebut Kembali

Ramadhan mengajak manusia untuk kembali mengingat hakekat dan asal-usul dirinya. Perintah puasa dimaksudkan untuk meredam ambisi berlebihan ruh nabati manusia. Puasa sekaligus mengingatkannya, bahwa kebutuhan akan makan, minum dan seks hanyalah demi vitalitas tubuh dan keberlangsungan rasnya semata. Tidak lebih. Sementara vitalitas dan keberlangsungan ini ditujukan untuk melaksanakan dua tugas yang diembannya: mengabdi pada Allah dan memimpin kerajaan bumi (QS.51:56; 2:30).

Sementara aktifitas-aktifitas peribadatan yang sangat dianjurkan (sunnah) selama Ramadhan seperti tarawih, mengkaji al-Quran, sedekah, berkata positif, dan lain sebagainya, adalah dalam rangka merevitalisasi fungsi ruh insani. Semua ibadah anjuran itu berpangkal pada aspek ini. Memperbanyak atau merutinkan ibadah-ibadah itu selama sebulan Ramadhan memiliki dua makna, yaitu membangkitkan potensi insani ini setelah sekian lama terhegemoni oleh potensi nabati; dan membuka ruang bagi potensi ini untuk mengambil alih kendali kekuatan penyerap dan penggerak (hewani) dari tangan potensi nabati.

Pada tingkat sosial, Ramadhan menjadi semacam simulasi sebuah masyarakat yang dibangun di atas landasan ketundukan, kepasrahan dan kepatuhan pada Allah SWT. Setiap orang berlomba-lomba khusuk beribadah dan beramal sosial sebaik mungkin. Apalagi Allah telah menjanjikan ampunan dan pahala surga bagi para peserta lomba tersebut.

Maka takwa yang dimaksud dalam ayat puasa di atas adalah kondisi personal dimana ruh insaninya mampu mengendalikan ruh nabati dan hewaninya. Dengan ini, person tersebut akan selalu sadar akan hakekatnya sebagai abdi Tuhan dan pemangku mandat kepemimpinan di bumi. Kesadaran ini akan melahirkan kecintaan total pada ketuhanan dan kemanusiaan.

Cerminan sikap dari cinta ini antara lain taat beribadah, semangat menggali pengetahuan, optimis, rendah hati, bijaksana, menghargai orang lain, jujur, bertanggungjawab dan suka menolong. Namun untuk merealisasikan cinta tersebut, diperlukan media tubuh. Di sinilah letak urgensi ruh nabati sebagai pengatur pencernaan, pertumbuhan dan kelangsungan fisik manusia. Bersama-sama ruh hewani, ia bertugas mendukung ruh insani melaksanakan tugas ketuhanan dan kemanusiaan itu.

Semuanya bermula dan dimulai dari perut. Maka tepat pandangan Syaikh Abdul Qadir al-Jaelani dalam tafsirnya terkait ayat puasa itu, perut adalah pusat pancaran cinta dunia. Memanjakannya hanya akan meredupkan cahaya cinta yang terpancar dari ruh insani. Waktu satu bulan kiranya cukup untuk merangkai makna takwa tersebut serta mensimulasikannya dalam tindakan. Sehingga ketika Ramadhan berakhir, energi takwa yang terbangun siap dipancarkan dalam sikap kita di hari-hari kemudian hingga datang Ramadhan berikutnya.

* Pengurus Lembaga Dakwah NU Kab.Bogor