Opini

Panggil Saya Ustadz!

Sab, 15 Maret 2014 | 05:02 WIB

Belum dingin mendoan kasus ustadz injak kepala, muncul lagi kasus ustadz yang lain. Kali ini bersangkut paut dengan seteru antara tabib dan pasiennya. Seorang lelaki yang mulanya terkenal sebab keahliannya nguber-uber hantu di televisi, kini tengah diuber-uber dengan dakwaan penipuan, di televisi pula. Bermula diorbitkan oleh media, kembali diredupkan oleh media. <>

Tapi namanya juga manusia biasa, sedigdaya apapun pasti ada khilafnya. Bahkan terkadang kedigdayaan itu justru yang menjadi ladang khilaf.

Lelaki bernama Muhammad Susilo Wibowo alias Guntur Bumi sempat dicecar oleh orang-orang yang tidak suka dengannya. Lebih spesifik lagi, terhadap gelar ‘ustadz’ yang disandangnya. Bahkan, seorang ‘alim ahli hadits nusantara sekaliber KH Mustafa Ali Ya’qub pun disorot media penggosip untuk memberikan komentar.

Karena tidak percaya diri, banyak orang memakai sorban dan pakaian kebesaran para ulama padahal tak berilmu, kata Kiai Ali. Sungguh, saya sebagai muslim awam negeri ini berharap agar orang-orang sekaliber beliau muncul di layar kaca dalam rangka membahas ilmu secara mendalam. Dalam bingkai acara yang terhormat, bukan acara gosip murahan.

Tapi bukan kasus itu yang akan kita bicarakan di sini. Sebenarnya apa arti dari istilah-istilah populer di Indonesia yang sering disandangkan sebagai gelar keagamaan semisal ‘ulama’, ‘kiai’, ‘habib’, dan ‘ustadz’? Meskipun masih banyak istilah kedaerahan lain seperti ‘ra’, ‘gus’, ‘ajengan’, ‘buya’, ‘anre’, maupun ‘aang’, mari kita obrolkan empat istilah itu saja!

Pertama, Ulama

Secara bahasa, istilah ini berakar dari kata ‘ilmun atau ‘ilmu’ yang berarti ‘pengetahuan’. Orang yang memiliki pengetahuan disebut ‘aalim. Bentuk jamak dari ‘aalim adalah ‘ulamaa atau ulama.  Dengan pengertian secara bahasa ini, maka kita bisa sebut seorang pakar logika sebagai ‘aalim fi al-manthiqi, sedangkan para pakar biologi bisa kita sebut ulama juga. Jadi, ‘alim’ itu bukan sekedar julukan buat anak-anak kalem dan anggota ROHIS di sekolahnya.

Namun kita juga punya makna secara istilah. Di dalam Islam, pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang mengantarkan segenap kesadaran menuju ketundukan kepada Tuhan dan kemaslahatan terhadap sesama makhluk Tuhan. Dan ilmu tersebut adalah ilmu agama. Sehingga hanya orang yang berpengetahuan agamalah yang disebut sebagai ‘alim, jamaknya; ‘ulamaa.

Apalagi jika mengacu kepada berbagai teks-teks suci Islam, baik al-Qur’an maupun al-Hadits. Di sana tertulis ketat kriteria bagaimana ‘ulama itu. Di dalam ayat suci disebutkan bahwa ‘ulama adalah orang-orang yang begitu meresapnya ketundukan mereka terhadap Tuhan sehingga menumbuhkan rasa takut akan Ketidakrelaan-Nya. Sedangkan dalam redaksi hadits disampaikan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, baik berupa warisan ilmu, sikap, etika, maupun wibawanya. Berat, bukan?

Salah seorang bintang dalam keilmuan Islam lampau, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, bahkan menuliskan diferensiasi antara ulama sejati dan ulama gadungan. Kriteria itu menyangkut kepakaran terhadap sumber-sumber hukum Islam, disiplin ritual, kedalaman spiritual, konsistensi terhadap pelaksanaan hukum, hingga karakter dan tingkah laku keseharian.

Kedua, Kiai

Nah, gelar ini khas Nusantara, khususnya Jawa. Satu kata ini berasal dari gabungan dua unsur kata, yakni ‘ki’ dan ‘yai’. Kata ‘ki’ adalah panggilan kepada laki-laki yang dihormati. Bagi wanita, kata ‘ki’ diganti dengan ‘nyi’. Sampai saat ini, sebutan ‘ki’ tetap melekat bagi orang-orang yang beraktivitas dalam kebudayaan Jawa. Baik dalam ranah fisik maupun spiritual.

Sedangkan ‘yai’ adalah gelar kehormatan bagi apapun yang dianggap memiliki kewaskitaan dan kewibawaan. Orang maupun benda. Sehingga benda-benda pusaka pun disebut ‘kiai’, semisal Kiai Guntur Madu dan Kiai Nogo Wilogo, sepasang set gamelan yang ditabuh saat Perayaan Sekaten di Yogyakarta. Atau sebutan bagi kerbau kehormatan di Surakarta, Kiai Slamet.

Kata ‘kiai’ ini memiliki sinonim dalam Bahasa Arab. Yakni syaikh. Secara terminologi, arti kata syaikh adalah man balagha rutbatal fadli, yaitu orang-orang yang telah sampai pada derajat keutamaan. Yakni  berpengetahuan agama dan mengamalkan ilmu itu untuk dirinya sendiri serta mengajarkan kepada murid-muridnya. Penyebutan ‘kiai’ ini berasal dari inisiatif masyarakat, bukan dari dirinya sendiri atau propaganda media massa. Orang yang sudah melampaui usia sepuh pun disebut syaikh, dan anak muda yang berpengetahuan agama luas serta mulia budinya juga disapa dengan sebutan syaikh.

Intinya, sebutan ‘kiai’ disematkan bagi orang-orang yang waskita, khususnya mereka yang berpengetahuan agama dan membimbing masyarakat, baik di lingkungan pesantren atau bukan. Istilah-istilah di daerah lain yang sepadan dengan ‘kiai’ adalah; ‘ra’, ‘aang’, ‘ajengan’, ‘anre’, dan ‘buya’.

Dalam suatu kesempatan di Pesantren Krapyak Yogyakarta, Gus Mus (KH Mustofa Bisri, Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) menawarkan satu pengertian ‘kiai’ yang –menurut saya- sangat relevan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Apa itu? Beliau mengatakan bahwa ‘kiai’ adalah; humu al-ladziina yandzuruuna al-ummata bi ‘ayni ar-rahmati, yakni mereka –siapapun- yang memandang segala sisi kehidupan umat dengan pandangan rahmat, kasih sayang. Bukan pandangan kebencian, kebengisan, apalagi kekeji-kejaman.

Oh iya, ‘gus’ adalah sapaan khas para warga pesantren terhadap anak laki-laki seorang kiai. bila perempuan, disebut ‘ning’. Kawan-kawan santri berpendapat bahwa ‘gus’ berasal dari ‘bagus’ karena rata-rata putra kiai berwajah bagus atau ganteng. Sedangkan rata-rata putri kiai ‘bening-bening’ sehingga disebut ‘ning’. Ah, itu kelakar saja.

Ketiga, Habib

Arti harfiahnya adalah ‘orang yang mencintai’ alias ‘kekasih’. Berakar dari kata hubb yang berarti ‘cinta’. Semakna dengan kata muhibb alias ‘pencinta’, jamaknya muhibbuun. Sedangkan orang yang dicintai disebut mahbuub. Istilah habiib ini, secara sosial, lazim disematkan bagi mereka yang memiliki jalur keturunan (nasab) ke ‘Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra putri Baginda Nabi Muhammad. Istilah sosial sebagai keturunan Rasulullah ini sepadan dengan gelar syarif (orang yang mulia, feminimnya syarifah) dan sayyid (tuan, feminimnya sayyidah). Umumnya disematkan pula marga di belakang nama para habib ini, seperti Basyaiban, Baraqbah, Al-Aydrus, Al-Haddad, Al-Attas, As-Segaf dan sebagainya.

Atas makna inilah para habib (jamaknya; habaib) memiliki posisi yang terhormat di kalangan umat Islam sejak dahulu kala. Bukan hanya sebab nasab, tetapi juga karena kiprah dakwah mereka dalam penyebaran Islam di penjuru dunia termasuk Indonesia, sebagaimana dituturkan oleh Buya Hamka. Salah seorang kawan saya yang berasal dari kalangan hababib bermarga al-Haddad pernah mengatakan bahwa orang yang tidak berpengetahuan agama dan tidak berpekerti luhur tidak pantas dipanggil habib meskipun memiliki nasab dari Rasulullah. Cukup dipanggil ‘Yik’ (singkatan dari sayyid) saja, katanya.

Adapun keterpeliharaan garis keturunan mereka dicatat dengan rapi oleh lembaga-lembaga pencatat nasab (naqib) yang ada di masing-masing wilayah. Di Indonesia sendiri, lembaga ini bernama Maktab Daimi yang bernaung di bawah payung organisasi Rabithah ‘Alawiyyah. Jadi, kalau mau memeriksa nasabmu, jangan-jangan masih keturunan Rasulullah, datang saja kesana! Hehe.

Terakhir, Ustadz

Kata ini jelas berasal dari Bahasa Persia yang diserap oleh Bahasa Arab. Artinya ‘pengajar’, atau ‘orang yang menguasai suatu bidang tertentu dan mengajarkannya’. Jamaknya, asatidz.

Nah, dalam kerangka sosial budaya di Timur Tengah, Mesir misalnya, gelar ustadz disematkan kepada mereka yang sudah menduduki level tinggi dalam tingkat kepengajaran di universitas atau al-jami’ah. Setaraf ‘professor’, jadi kalau ada gelar al-ustadz al-duktur khliwan ibnu fahin, itu sama artinya dengan ‘Prof. Dr. Kliwon bin Paing’. Keren, kan?

Menurut pengertian ini, maka seseorang belum pantas disebut ustadz kecuali bila sudah menguasai 18 atau 12 cabang ilmu seperti nahwu, shorof, bayan, badi', ma'ani, adab, mantiq, kalam, akhlaq, ushul fiqih, tafsir, dan hadits. Wow!

Namun di Indonesia, sebutan ustadz lazim disematkan kepada siapapun yang mengajarkan segala hal yang berkaitan dengan agama. Pengajar baca-tulis Al-Qur’an di TPA, pengajar di sekolah agama (madrasah diniyah), maupun penceramah-penceramah yang diorbitkan di televisi selalu dipanggil ustadz. Masalah? Tentu tidak. Sah-sah saja.

Pengikisan makna semacam ini adalah hal yang wajar dalam penyerapan bahasa asing. Bahkan istilah guru yang berasal dari Bahasa Sansekerta dan bersifat spiritual pun sudah jauh berkurang maknanya. Tapi tetap saja, kita harus berlatih memaknai suatu kata berdasarkan makna aslinya, agar tak mudah tertipu dan terlena.

Jadi, gelar ustadz bisa disandang dengan melalui berbagai kualifikasi keilmuan yang tidak instan. Apalagi sekedar melalui audisi di layar televisi. Bisa berceramah pun bukan alasan untuk bisa dikategorikan ustadz, kiai, apalagi ulama. Jauh! Ada istilah yang lebih tepat untuk penceramah, seperti al-muballigh (orang yang menyampaikan), ad-da’i (orang yang mengajak) atau al-khathib (orang yang berceramah).

Kesimpulannya, setiap kata memiliki tempat sesuai maknanya masing-masing, khususnya gelar. Kita harus tahu itu. Manfaatnya apa? Agar tidak sembarangan menyematkan gelar, bukan dari penampilan luar dan pencitraan belaka. Dan tentu, agar kita juga bisa bersikap secara proporsional ketika banyak orang menyapa kita dengan sapaan yang tidak sepantasnya kita sandang.

 

Ziaul Haq, Tegal 8 Maret 2014