Opini

Pemetaan Gerakan Feminisme Global (I)

Jum, 8 Februari 2019 | 11:00 WIB

Pemetaan Gerakan Feminisme Global (I)

Ilustrasi (Wordpress.com)

Oleh Muhammad Syamsudin

Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan awal dari menjamurnya gerakan yang mengusung isu keadilan bagi kaum perempuan (feminisme). Di Indonesia sendiri, ada nama pahlawan putri R.A. Kartini dan Dewi Sartika. Keduanya bekerja demi terjadinya perubahan dan persamaan hak antara kaum wanita dan kaum laki-laki di lingkungan tempat ia tinggal. Dari balik tembok keraton, mereka menyerukan pengakuan hak bagi kaum wanita untuk mendapatkan pendidikan, hak-hak yang sama di depan publik, status hukum dan kesempatan kerja. Jadi, secara umum, tujuan gerakan ini tampak jelas di masa itu. Ringkasnya mereka berjuang dalam rangka mendapatkan hak pilih (the right to vote) dan bersuara di hadapan publik (hak aktualisasi).

Seabad sudah berlangsung gerakan perempuan berlangsung, hingga memasuki kurun abad ke-20. Hasil yang bisa dicapai adalah pengakuan hak politik yang sama dan dilindungi oleh konstitusi RI tahun 1945. Secara global, pengakuan ini juga disampaikan oleh PBB dan diwadahi secara khusus dalam Komisi Kedudukan Perempuan, tahun 1948. 

Meski gerakan feminisme global ini lahir dari kultur sosial yang berbeda, namun mereka disatukan oleh satu nilai universal perjuangan yaitu perjuangan emansipasi kaum wanita. Misi pertama yang mesti ditempuh guna mewujudkan emansipasi itu adalah, perjuangan melawan imperialisme kolonial yang berujung pada eksploitasi dan melemahkan harkat dan martabat kaum wanita. Itulah sebabnya, jargon gerakan melawan penindasan terhadap hak asasi perempuan di era kolonialisme ini dengan mudah mendapat dukungan dan perhatian dunia karena faktor keprihatinan.

Pasca ditentangnya imperialisme dan kolonialisme oleh bangsa-bangsa di dunia dan lahirnya banyak negara baru yang secara de facto merdeka, gerakan feminisme kaum perempuan ini mulai mengalami perubahan penafsiran dan pengejawantahan. Di Barat, gerakan feminisme tampil prasasat sebagai respons pembebasan hak-hak perempuan yang telah dirampas oleh kaum laki-laki. Diksi “perampasan hak” ini banyak mengundang respons pro dan kontra yang datang tidak hanya dari kalangan lawan jenisnya, melainkan juga dari kaum mereka sendiri. Gerakan ini menolak kaum perempuan dianggap sebagai pantas menduduki peran subordinasi (tangan kedua) yang berkutat dalam lingkup rumah tangga. Mereka menginginkan kesetaraan di semua lini bidang kehidupan. 

Karena bangsa Barat saat itu sudah menduduki posisi superior di banding negara dunia ketiga, maka secara umum, gerakan feminisme ini dapat dengan mudahnya dikonsumsi publik dunia. Gerakan feminisme saat itu berubah dan terpolarisasi menjadi tiga kutub penting, yaitu: feminisme radikal, feminisme sosialis, dan feminisme liberal. Masing-masing gerakan mengusung jargon dan manifesto sendiri-sendiri yang diperjuangkan sehingga sulit untuk disatukan. 

Gerakan Feminisme Radikal

Menurut Josophine Donovan, di AS, gerakan feminisme radikal pada awalnya memiliki landasan filosofis yang mirip dengan gerakan feminisme sosialis. Awal mulanya mereka menyuarakan kesempatan yang sama dalam mendapatkan kedudukan sosial bagi kaum perempuan. Namun, karena kultur masyarakat industri dan kapitalis, telah mempengaruhi arah perjuangan gerakan. Mereka ingin lebih dari sekedar mendapatkan kesempatan yang sama di mata hukum dan sosial. Mereka mulai dengan bergerak mengguncang institusi keluarga melalui penyuaraan bahwa institusi keluarga telah memberikan legitimasi subordinasi bagi kaum perempuan dan membakukan peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Peran subordinasi tidak lebih dari pada wujud pengalihan dari perbudakan. Itulah sebabnya, menurut mereka wanita harus berusaha agar terbebas dari belenggu itu.

Jika dilihat dari sudut imbasnya terhadap syariat agama kita, maka peran dari feminisme radikal ini memiliki potensi mempengaruhi pada kasus-kasus perwalian nikah, poligami, batas usia pernikahan, dan masa ihdad kaum perempuan serta cuti haidl. Dalam beberapa kesempatan kajian juga ditemukan bahwa feminisme radikal ini juga memperjuangkan visi kesamaan kelas bagi kaum lesbian. Menurut mereka adalah hak bagi kaum lesbian untuk diakui di lingkup agama dan sosial. Kaum lesbian dicitrakan oleh mereka sebagai kelas yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi. (Ratna Megawangi, Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini dan Mendatang serta Kaitannya dengan Pemikiran Keislaman, Surabaya: Risalah Gusti, 1996: 226). Manifesto gerakan dari feminisme radikal ini dituangkan dalam sebuah nota kesepahaman, yaitu Notes from The Second Sex, pada tahun 1970. Sementara itu, gerakan ini awal mulanya bangkit adalah sejak masa 1960-an. Di Indonesia, masa ini dikenal dengan istilah masa revolusi.

Gerakan Feminisme Sosialis

Gerakan feminisme berikutnya adalah feminisme sosialis. Menurut Nasaruddin Umar, teori feminisme sosialis ini nampaknya dari sebuah teori konflik. Inferioritas kaum perempuan menurut gerakan ini, berkaitan erat dengan struktur kelas dan keluarga di masyarakat kapitalis, yang segala sesuatunya harus dinilai dinilai dengan uang. Uang merupakan ukuran keadilan. Peran perempuan di lingkup keluarga adalah ibarat tenaga kerja tanpa upah. Itu yang menyebabkan mereka memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap suami yang berperan selaku kepala rumah tangga. Akibatnya perempuan akan dirundung oleh sebuah kecemasan psikologis sehingga terpaksa harus memberi dukungan dominasi suami dalam mengatur roda rumah tangga. (Nasarudin Umar, Argumen Keselarasan Gender, Jakarta: Paramadina, 1999: 65-66). 

Kiranya statemen Nasarudin Umar di atas ini tidak sejalan dengan teori yang disampaikan oleh Max-Engels. Menurut Max-Engels, faktor seksualitas dan jenderlah yang bertanggung jawab telah memunculkan posisi inferioritas kaum perempuan. Misalnya, dalam tradisi Jawa, perempuan disebut dengan istilah Wanita, yang merupakan sebuah singkatan dari tembung jarwo dosok yaitu Wani ditata (berani ditata). Penyebutan ini adalah bias jender. Berbeda apabila ia disebut sebagai perempuan, yang berangkat dari akar kata Mpu, yang berarti Resi, atau Brahmana yang merupakan simbol dari pendidikan masa klasik di nusantara. Sehingga makna “perempuan” menurut akar kata ini menjadi tempat pendidikan bagi anak-anaknya. 

Solusi yang ditawarkan oleh gerakan feminisme sosialis ini biasanya difokuskan pada upaya penyadaran kaum perempuan bahwa dirinya dalam posisi tertindas. Namun, karena faktor budaya dan adat, ketertindasan ini menjadi serasa hilang sehingga perlu lebih kencang usaha meresonansikannya. Salah satu upaya meresonansi pesan ketertindasan tersebut adalah penyuaraan melalui tampilan iklan yang bercita rasa penghapusan dikotomi sektor bidang pekerjaan. Dikotomi bidang pekerjaan dan profesi sebagai pekerjaan perempuan, pekerjaan laki-laki, menurut mereka harus sama sekali ditiadakan. Semua pihak bisa berada di bidang tersebut. Jika laki-laki bisa sepakbola, maka perempuan juga bisa. Demikian kiranya contoh maksud dari perjuangan mereka itu. (Valerie Bryson, Feminist Political Theory, Mac Millan, 1992: 11-12). 

Asumsi dasar dari gerakan feminis sosialis ini tidak serta merta menyalahkan kaum laki-laki sebagai penyebab langsung posisi inferiornya peran kaum perempuan. Menurut mereka, posisi inferior kaum hawa adalah karena salahnya sendiri yang tidak mampu bersaing bersama kaum adam. Akibatnya, peran inferior ini menjadi terlembagakan dalam ranah publik sehingga untuk bangkit, maka diperlukan perjuangan untuk mendobrak kembali struktur pelembagaan tersebut. 

Selain gerakan feminisme radikal dan sosialis, ada pula gerakan feminisme liberal. Di tubuh umat Islam sendiri juga mulai ada gerakan feminisme, akan tetapi jauh berbeda dengan ketiga gerakan feminisme di atas. Ada penekanan perjuangan tersendiri yang menjadi ciri khasnya. Yang paling penting untuk digarisbawahi adalah, bahwa memahami gerakan ini sangat bermanfaat guna melakukan pembacaan terhadap sejumlah rancangan peraturan atau perundang-undangan yang kelak akan disampaikan dalam forum ini. Wallâhu a’lam bish shawab. (Bersambung)


Penulis adalah Pembina Kajian Fikih Kewanitaan dan Gender, PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim