Opini

Penguatan Peran Pesantren

Sen, 13 Maret 2017 | 08:00 WIB

Penguatan Peran Pesantren

Ilustrasi (Antara)

Oleh Suwendi

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Kelahirannya tidak dapat dipisahkan dari sejarah awal kedatangan Islam ke Indonesia, sejak abad ke-6 M, yakni dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang telah berkembang sebelum kedatangan Islam itu sendiri. Dengan memainkan peran sebagai instrumen pengembangan ajaran agama Islam, pesantren lahir dari rahim budaya Indonesia yang genuin. Oleh karenanya, dalam amatan almarhum Prof. Dr. Nurcholis Madjid, pesantren tidak hanya menjadi lembaga yang identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai lembaga yang murni berkarakter keindonesiaan, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya, sehingga antara pesantren dengan komunitas lingkungannya memiliki keterkaitan erat yang tidak bisa terpisahkan.

Dalam beberapa dekade terakhir, pesantren mengalami perkembangan yang secara kuantitatif luar biasa dan menakjubkan, baik di wilayah pedesaan, pinggiran kota, maupun perkotaan. Data Kementerian Agama menyebutkan bahwa pada 1977 jumlah pesantren hanya sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.394 orang. Jumlah ini mengalami peningkatan berarti pada tahun 1985, di mana pesantren berjumlah sekitar 6.239 buah dengan jumlah santri mencapai sekitar 1.084.801 orang. Satu dasawarsa kemudian, 1997, Kementerian Agama mencatat jumlah pesantren sudah mengalami kenaikan mencapai 224 persen atau 9.388 buah, dan kenaikan jumlah santri mencapai 261 persen atau 1.770.768 orang. Data Kementerian Agama tahun 2001 menunjukkan jumlah pesantren seluruh Indonesia sudah mencapai 11.312 buah dengan santri sebanyak 2.737.805 orang. Pada tahun 2005 jumlah pesantren mencapai 14.798 lembaga dengan jumlah guru 243. 738 orang dan santri 3.464. 334. Data terakhir tahun 2016 menunjukkan pesantren sebanyak 28.961 lembaga dengan santri sebanyak 4.028.660 jiwa.

Dengan melihat data kuantitatif di atas, kita semua hendaknya mendorong kepada masyarakat pesantren untuk meneguhkan dan konsisten pada khittahnya. Dalam konteks ini, setidaknya pesantren didorong untuk melakukan 3 (tiga) peran penting yang perlu dilakukan bersama.

Pertama, pesantren sebagai instrumen pengembangan pendidikan. Pondok pesantren berperan tidak hanya sebagai lembaga dakwah dalam pembinaan umat dan penyiaran ajaran Islam, tetapi juga sebagai institusi pendidikan. Ia telah berperan meningkatkan angka partisipasi masyarakat (APM) dan angka partisipasi kasar (APK) dalam pendidikan. Ia telah berperan aktif membangun kesadaran dan kecerdasan masyaraat Indonesia dengan penuh keikhlasan, tanggung jawab, dan layanan yang maksimal. Secara jujur, patut dikatakan bahwa kontribusi masyarakat dalam pengembangan layanan pesantren jauh lebih besar dibanding dengan kontribusi yang dilakukan pemerintah. Oleh karenanya, pesantren harus mendapatkan perlakuan dan penganggaran yang maksimal dari pemerintah. Pesantren sudah seharusnya mendapatkan perlakuan pemerintah secara adil antara institusi pesantren dengan institusi pendidikan lainnya.

Sungguhpun demikian, pondok pesantren harus tetap mempertahankan kualitas kemandiriannya, baik kemandirian secara ekonomi maupun pengelolaannya yang tidak menergantungkan kepada pihak mana pun. Pesantren merupakan kekuatan civil society yang sangat kuat dalam memberdayakan masyarakat sekaligus mampu melakukan kritik-kiritik sosial.

Kedua, pesantren sebagai instrumen pengembangan keagamaan. Penduduk negeri ini sungguh sangat kompleks dan plural, baik keyakinan, budaya, bahasa wilayah, dan lainnya. Dalam kondisi yang kompleks dan plural itu, pondok pesantren telah memainkan peranan yang strategis. Ia mampu melakukan penyebaran agama dan pemahaman yang sangat damai, toleran, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Pesantren telah mampu merekatkan dari berbagai perbedaan di masyarakat. Oleh karenanya, pesantren didorong untuk menjadi garda terdepan dalam membangun pemahaman Islam yang rahmatan lil’alamin.

Ketiga, pesantren sebagai instrumen pengembangan pranata-sosial. Pesantren didudukkan sebagai lembaga sosial yang berperan untuk melakukan penjabaran dan aktualisasi pengetahuan dan pemahaman pendidikan dan keagamaannya itu bagi kemaslahatan masyarakat luas. Dengan peran ini, pesantren akan menjadi milik bersama, didukung dan dipelihara oleh lapisan masyarakat yang lebih luas. Oleh karenanya, pesantren harus membuka diri dan terlibat dalam upaya pemecahan atas problem umat dan kebangsaan, sebagaimana yang telah selama ini dibuktikan.

Melalui ketiga pilar di atas, yakni pendidikan, keagamaan, dan sosial-kemasyarakatan, pesantren perlu mendapatkan dorongan yang maksimal dari pemerintah, di antaranya dorongan kesetaraan regulasi, kesetaraan program maupun kesetaraan anggaran yang disediakan oleh pemerintah. Kesetaraan regulasi diupayakan untuk memberikan payung hukum dan legalitas formalitas layanan pesantren dengan tanpa mengurangi substansi atau kualitas pesantren. Kesetaraan program diupayakan untuk mendapatkan kepastian konkret berupa program atau kebijakan-kebijakan penguatan pesantren yang dilakukan negara. Sementara kesetaraan anggaran dipastikan untuk ketersediaan pembiayaan yang maksimal sehingga kita benar-benar memperlakukan secara adil antara institusi pesantren dengan institusi pendidikan lainnya.


Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan Pendiri Pondok Pesantren Nahdlah Bahriyah Indramayu