Opini

Pentingnya Mempertahankan Libur Hari Jumat di Pesantren

Kam, 28 September 2017 | 23:00 WIB

Oleh Muhammad Ishom

Hari Jumat adalah hari besar bagi umat Islam sebagaimana dinyatakan dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah:

إن هذا يوم عيد جعله الله للمسلمين فمن جاء إلى الجمعة فليغتسل

Artinya: “Hari ini adalah hari besar yang Allah tetapkan bagi umat Islam. Maka barang siapa hendak menghadiri shalat Jumat hendaklah mandi terlebihi dahulu.” 

Dalam kitab Risalatul Muawanah wal Mudzaharah wal Muwazarah, halaman 102, terdapat nasihat:

وعليك بالتفرغ يوم الجمعة من جميع أشغال الدنيا، واجعل هذا اليوم الشريف خالصاً لآخرتك 

Artinya: “Hendaklah pada hari Jumat engkau meliburkan diri dari kesibukan-kesibukan duniawi. Dan jadikan hari yang mulia ini sepenuhnya untuk kepentingan akheratmu.”

Kitab klasik karya Allamah Sayyid Abdullah Al-Haddad ini merupakan salah satu kitab tasawuf yang menjadi rujukan di banyak pesantren.

Atas dasar hadits dan nasihat ulama besar abad 11 dari Hadramaut tersebut, umumnya pesantren sejak awal berdirinya libur pada hari Jumat. Kebijakan ini bertujuan, antara lain, agar para santri merayakan hari Jumat dengan kegiatan-kegiatan yang berorientasi masjid, seperti melakukan ro’an (kerja bakti), menyiapkan segala sesuatu yang terkait dengan masjid sebagai tempat jamaah shalat Jumat.

Juga, agar mereka turut terlibat membersihkan kamar mandi dan tempat wudhu, menyapu lantai dan halaman masjid, membersihkan dinding dan atap, merapikan tumpukan mushaf Al-Qur’an, menggelar tikar atau karpet, membersihkan lingkungan pondok, dan sebagainya. Singkatnya agar para santri mencintai masjid dengan mencurahkan waktu, tenaga dan perhatiannya pada masjid yang umumnya berada di dalam kompleks pesantren. 

Hal yang tak kalah peting dari semua itu adalah agar para santri memiliki waktu yang cukup untuk melakukan hal-hal yang disunnahkan, seperti mandi Jumat, memotong kuku dan datang ke masjid lebih awal untuk menyibukkan diri dengan shalat sunnah, tadarus Al-Qur’an atau i’tikaf, dan sebagainya. Untuk mandi Jumat para santri membutuhkan waktu lebih lama daripada mandi biasa karena harus keramas. Untuk itu para santri harus antri karena jumlah kamar mandi di pesantren pada umumnya terbatas. 

Jangan Ditiru

Meliburkan kegiatan belajar mengajar di pesantren pada hari Jumat tidak hanya penting bagi para santri, tetapi juga bagi para guru atau ustadz. Mereka dapat mengabdikan dirinya dengan kegiatan-kegiatan di luar pesantren terutama dengan menjadi khatib dan imam shalat Jumat. Dengan libur di hari Jumat, mereka dapat memiliki waktu yang cukup untuk memilih materi khutbah yang baik dan dapat menyiapkannya dengan sebaik mungkin sehingga pesan-pesan dakwahnya dapat tersampaikan kepada masyarakat dengan baik dan efektif.

Namun demikian, sekarang ini sudah ada sebuah pesantren di Jawa Tengah yang sejak beberapa tahun lalu mengubah hari liburnya dari semula Jumat menjadi Ahad karena berbagai alasan yang tidak ada hubungannya dengan masjid. Padahal kebijakan libur di hari Jumat sudah berlangsung puluhan tahun sejak pesantren itu didirikan oleh para sesepuhnya sebelum kemerdekaan. Hal ini memang tidak ada larangan namun bisa berakibat kurang mendukung bagi pencapaian visi misi pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menekankan tafaqquh fiddin dan akhlak karimah. 

Kebijakan seperti itu tidak sebaiknya ditiru oleh pesantren lain jika alasan yang mendasarinya bersifat pragmatis dan kontra produktif terhadap idealisme pesantren. Dengan tidak libur di hari Jumat, para santri menjadi tidak memiliki waktu cukup untuk persiapan melakukan hal-hal yang disunnahkan sebelum shalat Jumat sebagaimana disebutkan di atas karena kegiatan belajar mengajar pada hari itu di akhiri pada jam yang relatif mempet dengan saat masuk waktu Dzuhur. 

Tidak hanya itu, dengan beralih libur dari Jumat ke hari Ahad, para santri bisa mendapat godaan yang lebih kuat terhadap hedonisme dengan pergi ke tempat-tempat tertentu yang menawarkannya. Tempat-tempat seperti mall, tempat hiburan dan tempat rekreasi umumnya dipadati para pengunjung di hari Ahad. Hal ini bisa menggoda para santri untuk menginggalkan pondok lalu pergi ke tempat-tempat itu untuk mengisi waktu liburnya dengan kegiatan yang tidak produktif tetapi malahan konsuntif karena menghabiskan banyak uang. 

Hal yang lebih mengkhawatirkan dari kebijakan seperti itu adalah apabila hal ini membuat para guru atau ustadz di pesantren tidak lagi dapat mengabdikan diri di luar pesantren secara optimal karena jadwal mengajar dan kesibukan lain di hari Jumat tidak memungkinkannya. Hal ini bisa sangat mengkhawatirkan bagi kehidupan berbangsa apabila kemudian perannya sebagai khatib di luar pesantren digantikan oleh orang-orang dari kalangan salafi wahabi dan kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki komitmen terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. 


Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta