Opini

Penyakit Sosial Warisan Pilpres Berlanjut

Jum, 3 April 2020 | 00:00 WIB

Penyakit Sosial Warisan Pilpres Berlanjut

Grup-grup di media sosial yang terus mengompori anggotanya untuk memusuhi lawan harus diingatkan bahwa pertandingan (pilpres) sudah usai.

Tulisan ini dibuat untuk merespons kejadian miris belakangan ini. Hujat menghujat, maki memaki di media sosial, orang sudah kebal dengannya. Yang miris adalah bahwa hal itu tetap dilakukan saat sang presiden kehilangan ibundanya di mana ada sekelompok orang yang nyinyir dan memasang status yang sangat tidak beradab. Tak ayal, sang pelaku pun kemudian ditangkap dan diproses hukum.

 

Sedemikian parahkah mental bangsa ini hingga orang yang sudah wafat masih menerima celaan. Bukankah sudah banyak kasus ujaran kebencian yang diperkarakan dan tidakkah itu cukup menjadi pelajaran? Bukankah sang pelaku sadar bahwa penghinaan kali ini lebih tidak bermoral daripada sebelumnya? Apa penyebab dari berlanjutnya penyakit masyarakat ini?

 

Secara agama, jelas hal itu dilarang seharam-haramnya. Menjelekkan orang lain, andaikan itu benar, hal itu laksana memakan daging bangkai saudaranya (QS 49:12). Apalagi jika tidak benar! Tidak ada yang lebih buruk dan menjijikkan dari memakan bangkai saudara. Memakan bangkai binatang saja tidak terbayangkan hinanya apalagi memakan bangkai manusia.

 

Dikisahkan dalam Tafsir al-Baghawi tentang sebab turunnya ayat ini bahwa di awal persiapan perang, Rasulullah biasanya menggabungkan orang yang kurang mampu dengan orang yang mampu. Orang kurang mampu secara ekonomi itu pun melayani orang yang mampu dengan menyiapkan makan dan keperluan sehari-hari. Alkisah Salman al-Farisi digabungkan dengan dua sahabat Rasulullah. Ketika waktu makan, Salman tertidur sehingga tidak menyiapkan makan untuk mereka. Kedua orang itu lantas menanyakannya yang kemudian dijelaskan kalau dia tertidur. Mereka menyuruh Salman ke Rasulullah untuk meminta makanan. Sesampainya di Rasulullah, Rasulullah menyuruhnya ke Usamah, penjaga gudang. Usamah menjawab: “Tidak ada makanan”. Salman pun kembali menemui kedua sahabat dan menyampaikan bahwa di Usamah tidak ada makanan. Keduanya lantas berkata: “Sebenarnya ada cuma Usamah pelit”. Keduanya juga curiga kepada Salman bahwa dia berbohong. Hingga (akhirnya) mereka berdua pergi ke Rasulullah untuk memata-matai Usamah. Ketika bertemu Rasulullah, sang Nabi berkata: “Saya mencium bau daging di mulutmu”. “Tidak wahai Rasulullah, kami belum makan apa pun”. Rasulullah menjawab: “Saya mencium bau daging Salman dan Usamah di mulutmu”. Di sinilah menggunjingkan orang adalah laksana memakan daging saudara.

 

Dalam kisah Isra’ Mi’raj yang baru saja kita peringati juga disebutkan bahwa Rasulullah melihat orang dengan kuku panjang tajam dari logam. Dia menyayat-nyayat wajahnya dan tubuhnya. Rasulullah bertanya kepada Jibril. Jibril menjawab: ”Dia adalah orang yang gemar memakan daging saudaranya” (suka menjelekkan orang). Jika itu atas orang hidup bagaimana atas orang mati? Dalam hadits Bukhari disebutkan: “Janganlah kamu menghina orang-orang yang telah mati. Sesungguhnya mereka telah pasrah atas apa yang telah mereka lakukan”. Semua dikembalikan kepada Tuhan. Sangat mungkin kebajikannya yang tidak diketahui orang menghapuskan dosa-dosanya yang diketahui orang.

 

Paparan di atas menunjukkan perhatian besar agama terhadap moralitas terutama moralitas individu. Usamah dituduh bakhil dan Salman dituduh bohong adalah perkara individu yang menjatuhkan harkat seseorang dan tidak ada untungnya bagi orang lain kecuali kebencian. Ia adalah masalah receh yang tidak sepatutnya seorang Muslim sibuk dengannya. Bahkan kalau itu menjatuhkan nasab seseorang, ia termasuk kekafiran, berdasar hadits riwayat Muslim. Apa gerangan yang membuat itu terjadi? Apakah demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan itu benar-benar telah menjungkirbalikkan moral manusia?

 

Selain moralitas individu, di sana terdapat moralitas sosial dan politik. Jika moralitas individu melarang seseorang untuk mengumbar aib sesama yang artinya penghargaan terhadap marwah seseorang (hifdh al-’ardl), maka moralitas sosial adalah tentang bagaimana individu bermasyarakat. Kewajiban bertetangga yang baik, berbusana yang layak, bersopan santun adalah sebagian dari akhlak sosial yang harus dijaga demi keharmonisan bersama. Sedangkan moralitas politik adalah yang terkait dengan hubungan penguasa dan rakyat. Dalam hal ini, Islam sebagai pendahulu sistem republik seperti dipraktikkan oleh Khulafaur Rasyidin memberikan hak kritik rakyat atas pemimpinnya di samping kewajiban taat kepadanya.

 

Dalam praktiknya, moralitas politik seringkali kalah oleh rivalitas politik dan bahkan menabrak moralitas sosial dan individu. Antara keharusan taat kepada pemimpin dan keberanian mengatakan yang benar di hadapan penguasa yang zalim sering tidak menemukan format yang pas. Hal ini kemudian diperparah oleh watak yang keras, wawasan yang sempit, ilmu yang dangkal, ambisi politik individu dan kelompok yang tinggi. Bahkan sekaliber Sayyidina Umar, Utsman, dan Ali yang dijamin masuk surga pernah dituduh zalim sehingga harus ditegakkan kebenaran atas mereka. Padahal bukan mereka tidak adil dan jujur tapi karena moralitas politik kaum penuduh yang parah. Republikisme ternyata membuka pintu kerawanan politik dengan sangat lebar sehingga aturan main harus ditata dan dijaga betul. Otherwise, ia akan memangsa dirinya sendiri seperti yang terjadi atas ketiga khalifah yang tersebut tadi yang wafat oleh para pembunuh yang berdalih menegakkan kebenaran.

 

Lebih parahnya lagi dalam kasus Indonesia, rivalitas politik telah menjadikan para pendukung sibuk mencari kesalahan lawan. Buzzer dengan kelihaiannya memainkan opini publik dan memanaskan hati para followernya untuk terus memusuhi lawan dalam pemilu meski pemilu sudah lewat setahun. Yang semacam ini jelas merugikan harmoni sosial. Ketegangan politik di level akar rumput harus dibatasi setahun sebelum pemilu dan setelah muncul pemenang maka hiruk pikuk harus berakhir. Grup-grup di media sosial yang terus mengompori anggotanya untuk memusuhi lawan harus diingatkan bahwa pertandingan sudah usai. Pembiaran akan hal ini membuat emosi terus bergelora hingga lupa batasan kebebasan dan kepatutan. Akibatnya, harus berurusan dengan pihak penegak hukum gegara hate speech atas tokoh lawan politik yang sedang berkabung. Na’udzu billah min dzalik.

 

 

Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya