Opini

Perguruan Tinggi NU dan Kelas Sosial Baru

Sen, 25 Mei 2015 | 02:05 WIB

Oleh Fariz Alniezar
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas terbesar di Indonesia telah menapaki usia 92 tahun pada tahun ini. Organisasi ini juga dijadwalkan menghelat hajatan muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Agustus mendatang.
<>
Usia NU sudah bisa dibilang manapaki usia yang matang, bahkan tua. Usia tersebut juga menandakan bahwa NU adalah organisasi yang sudah kenyang makan asam garam dalam mengawal kesatuan dan keutuhan NKRI.

Penting untuk diingat bahwa NU melalui kiai-kiai-nya adalah pelopor meletusnya peperangan di Surabaya yang diabadikan sebagai resolusi jihad yang fatwanya terlahir dari hati bersih dan pikiran jernih Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Fatwa tersebut diakui atau tidak bisa dikatakan menjadi semacam “jimat” untuk mermpertahankan tanah air dan menghalau penjajah waktu itu.

Secara demografis, NU yang terlahir di kota kosmopolit Surabaya pada tahun 1926 ternyata berbasis masyarakat pedesaan dan pesisiran yang tardisonalis. Anggota jam’iyyah NU adalah mereka yang rata-rata berprofesi sebagai petani, nelayan serta pedagang kecil yang mendiami kantung-kantung di desa-desa seantero pelosok negara. Meminjam trikotomi Clifforfd Greetz (1956) tentang priyayi, abangan dan juga santri, anggota NU adalah mereka yang dilabeli sebagai santri.

Santri adalah sebutan untuk pembelajar agama Islam, biasanya bermukim dipesantren namun tidak juga selalu harus berdomisili. Santri yang tidak berdomisili adalah mereka yang memilih untuk pulang-pergi dari rumah ke pesantren sebab harus melakukan pekerjaan sehari-hari di luar aktifitas mengaji. Santri yang demikian kemudian hari disebut sebagai santri kalong.

Pertanyaannya menarik yang muncul kemudian apakah basis demografi anggota NU dari dulu sampai sekarang masih tetap sama? Di sini saya sepakat dengan Arif Afandi dalam esainya NU dulu, NUbaru (JP, 13/4) dan baru kelas sosial baru NU (Koran Tempo, 15/4). Ia dengan berpijak pada realitas mutakhir mengatakan bahwa peta demografis warga NU hari ini telah banyak mengalami perubahan yang berasal dan disebabkan oleh dua hal utama: pertama, kelompok profesional dan akademisi dari latar belakang keluarga santri tersembunyi. Kedua, kelompok santri baru hasil "liberalisasi" pendidikan yang menempuh pendidikan di luar jalur kesantrian dengan mempelajari ilmu-ilmu umum di luar negeri.

Dua hal di atas menjadi pemantik baru atas lahirnya apa yang kemudian disebut Arif Afandi sebagai “kelas sosial baru NU”. Karakter serta ciri yang melekat pada mereka pun berbeda dengan karakter-karakter kelas sosial NU yang lama atau terdahulu. Karakter tersebut antara lain terbiasa hidup dalam pluralitas, bekerja secara terencana dan sistematis, disiplin dan sangat presisi menghargai waktu, serta lebih berorientasi pada hasil.

Sesungguhnya dengan ralitas di atas, ada kabar yang sangat membahagiakan dari PBNU yang melaporkan bahwa hingga tahun 2015 ini NU telah memiliki 23 perguruan tinggi baik universitas, institut maupun sekolah tinggi. Yang lebih membahagiakan lagi adalah semua perguruan tinggi tersebut bukan hanya berafiliasi kepada NU semata, namun juga di bawah badan hukum perkumpulan Nahdlatul Ulama. Artinya, perguruan tinggi tersebut adalah aset organisasi. Besar-kecilnya, maju-mundurnya serta juga kembang-kempisnya perguruan tinggi perguruan tinggi tersebut adalah tanggung jawab PBNU sebagai garda depan penjaga gawang organisasi.

Langkah PBNU sungguh tepat dan cermat. Sebab sebagaimana kita ketahui bersama selama ini sesungguhnya banyak prguruan tinggi-perguruan tinggi yang berafiliasi ke NU namun masih berbadan hukum yayasan. Artinya perguruan tinggi itu hanya perguruan tinggi milik pribadi yang menyandarkan diri kepeda nama besar NU. Perguruan tinggi tersebut pada hakikatnya bukanlah prguruan tinggi milik NU, ia adalah aset pribadi bukan organisasi.

Nah, PBNU nampaknya menyadari bahwa betapapun NU harus memiliki perguruan tinggi yang bukan aset pribadi namun aset organisasi. Aset organisasi sangat mungkin ditujukan untuk mencegah privatisasi “aset” yang kerap melanda dan menjadi problem purba sebuah organisasi.

Laporan tersebut sungguh pun bisa kita maknai sebagai loncatan kamajuan yang sangat mengejutkan. Betapa tidak, dengan dibukanya aneka perguruan tinggi yang langsung di bawah organisasi NU mendedahkan kepada kita bersama bahwa NU sekali lagi sangat responsif dalam merespon perkembangan zaman.

Hal tersebut sesungguhnya jika kita hubungkan dengan munculnya kelas sosial baru di NU yang terlahir dari luar kalangan yang tidak berasal dari tradisi santri (tidak sekolah di pesantren) adalah langkah yang sangat tepat. Sebab bagaimanapun juga, memberikan wahana pendidikan “NU” kepada kelas sosial baru tersebut adalah kewajiban organisatoris. Dan PBNU dalam hal ini sudah melakukan hal yang tepat.

Oleh karenanya, tidak bisa ditawar lagi bahwa kepengurusan PBNU ke depan adalah kepungurusan yang manjadikan pendidikan tinggi sebagai salah satu agenda prioritas dalam rangka merangkum serta mengakomodir kelas sosial baru yang terjadi di sekujur tubuh NU. Dalam pada itu, saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa NU saat ini sudah bergerak dari “desa” ke “kota”. Tentu saja yang dimaksud dengan terma desa dan kota di sini bukan hanya merujuk kepada sebatas lokus saja, namun lebih dari itu ia juga berarti merujuk kepada watak organisasinya serta tipologi perjuangan dan gerakan dakwahnya. Wallahu a’lam bis showab


Fariz Alniezar, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta