Opini

Persepsi Para Tokoh Ormas terhadap Persaingan Usaha dalam Ekonomi Pancasila

Kam, 19 November 2020 | 00:30 WIB

Persepsi Para Tokoh Ormas terhadap Persaingan Usaha dalam Ekonomi Pancasila

Dalam ruang kehidupan Pancasila, jangan sampai kelompok masyarakat kecil hanya diposisikan sebagai penyedia bahan pangan atau pun bahan baku murah yang memberikan keuntungan bagi industri serta bamper inflasi.

Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) bersama dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah melakukan penelitian terkait Peranan Persaingan Usaha dalam Ekonomi Pancasila pada Agustus-November 2020. Terdapat sejumlah temuan yang dapat menjadi masukan untuk penyempurnaan kebijakan persaingan usaha di Indonesia. 


Ekonomi Pancasila merupakan prinsip dasar dalam pembuatan UU dan aturan turunannya. Ahmad Erani Yustika, akademisi dari Universitas Brawijaya Malang dalam focus group discussion (FGD) yang menjadi bagian dari penelitian ini menyatakan pentingnya pemahaman sila-sila Pancasila ketika dikonversi ke dalam bidang ekonomi.


Sebab, sila-sila tersebut merupakan rumusan yang sifatnya fundamental untuk seluruh kehidupan sehingga jiwa ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan yang menjadi pondasi masing-masing sila tersebut bisa diterapkan oleh seluruh dimensi kehidupan. Jika hal tersebut ingin ditarik dalam pengembangan ekonomi, maka perlu kesepahaman dan kesepakatan operasional terutama pada isu kolaborasi.


Sila pertama, ketika dikonversi menjadi isu ekonomi maka sebetulnya akan berbunyi “Bahwa dalam segala aktivitas ekonomi, imperatif moral memiliki insentif yang lebih tinggi dibanding insentif material.”


Sila kedua, dalam ilmu ekonomi terdapat tiga faktor produksi yaitu tenaga kerja, lahan, dan 
modal yang setara. Berdasarkan sila kedua, manusia berada di atas faktor produksi atau lebih tinggi.


Sila ketiga, jika dipantulkan dalam aktivitas ekonomi maka sebetulnya berbunyi “ekonomi harus dirancang sebagai aktivitas ekonomi kolektif bukan orang-per-orangan.” 


Sila keempat, dapat kita ketahui bahwa ekonomi dalam pengertian material tidak akan memiliki batas. Namun, diingatkan dalam sila keempat mengenai pentingnya roh kerakyatan di mana kesahajaan hidup dan kebajikan publik dapat dilakukan dalam demokrasi kerakyatan.


Sila kelima, jika dibingkai untuk bidang ekonomi dan tujuan ekonomi maka pemerataan akses dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia menjadi ujung. Pembangunan yang diselenggarakan dengan segala keberhasilan yang diumumkan setiap saat menjadi kurang berarti jika terjadi ketimpangan ataupun kepincangan antar pelaku ekonomi.

 

 

Dalam upaya perbaikan iklim usaha, ekonom dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Didin S. Damanhuri berpendapat, selain Undang-Undang Persaingan Usaha, dibutuhkan suatu ekosistem makro yang salah satunya dapat dilakukan dengan cara revisi terhadap beberapa regulasi seperti UU Politik dan Pemilu, UU BI dan Perbankan, UU Lalu Lintas Devisa, serta UU Pasar Modal. Penguatan UU seperti UU Antimonopoli dan Persaingan Usaha, UU Tipikor dan KPK, UU Pengembangan Kewirausahaan dan Teknologi. 


Selain itu juga diperlukan aksi kebijakan seperti menggabungkan kembali model perencanaan jangka panjang; penegakan sistem politik berbiaya murah dan non-transaksional; akses luas UMKM terhadap keuangan, informasi dan teknologi; kemitraan usaha besar, menengah, dan kecil dan lainnya.


Sementara itu, Staf Khusus Presiden Arif Budimanta menekankan pentingnya perlindungan bagi usaha kecil dan mikro. Isu mengenai usaha kecil dan mikro adalah bagaimana menyeimbangkan power (kekuatan) dan capital (modal) antar jenis usaha tersebut dengan usaha besar.

 

Proses afirmasi atau perlindungan harus dimulai dari hal-hal yang konkret. KPPU bukan hanya mengurusi persoalan perselisihan yang terjadi dalam konteks pelaksanaan semacam lelang yang terdapat di pemerintah, perselisihan antar pengusaha air minum, ataupun hanya dalam konteks akuisisi dan merger. 


Prinsip persaingan usaha yang ideal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip persaingan usaha yang ideal dalam ekonomi Pancasila, yaitu melindungi pelaku usaha yang lemah dari sisi modal, pengusaha lokal dan UMKM serta ultramikro sangat disetujui oleh 80 persen responden. Hal ini menunjukkan kepedulian responden terhadap pelaku usaha kecil dan mikro sangat tinggi.

 

Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Maksum Machfoedz mengingatkan jangan sampai kelompok masyarakat kecil hanya diposisikan sebagai penyedia bahan pangan atau pun bahan baku murah yang memberikan keuntungan bagi industri serta bamper inflasi.


Selanjutnya 73 persen responden sangat setuju pelaksanaan nilai Pancasila (beretika, humanis, kekeluargaan, demokratis, dan adil). Demikian pula 73 persen responden sangat setuju cabang produksi yang penting dikuasai dan dikelola sepenuhnya oleh negara.


Adapun 70 persen responden sangat setuju adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan umum, kepemilikan pribadi dan kepemilikan umum, serta kemaslahatan materi dan kebutuhan rohani sebagai prinsip persaingan usaha yang ideal dalam ekonomi Pancasila. Hal tersebut merupakan prinsip dasar yang sangat penting demi terwujudnya ekonomi Pancasila. 


Prinsip persaingan usaha ekonomi Pancasila dengan ekonomi liberal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip persaingan usaha dalam ekonomi Pancasila berbeda dengan prinsip ekonomi liberal karena beberapa alasan, di antaranya karena ekonomi Pancasila menjunjung nilai agama dan etika serta dilakukan bertumpu pada kebersamaan dan menjunjung sikap kekeluargaan. Pandangan ini sangat disetujui oleh 80 persen responden.


Pendapat ini selaras dengan hampir seluruh narasumber FGD karena nilai-nilai tersebut merupakan pengejawantahan Pancasila dan UUD 1945. Selanjutnya 67 persen responden berpendapat bahwa ciri ekonomi Pancasila adalah demokratis, adil, dan menyejahterakan rakyat (penguatan usaha rakyat).

 

 

Ciri ekonomi Pancasila lainnya adalah humanis dan menghindari tindakan eksploitatif sangat disetujui oleh 57 persen responden. Dengan demikian perlu dilakukan upaya untuk mengurangi ketimpangan ekonomi di masyarakat. Secara prinsip sudah sangat bagus namun untuk tataran praktiknya belum berjalan ideal.


Dari data di atas terbukti bahwa responden yakin bahwa nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945, merupakan sumber hukum utama bermasyarakat dan bernegara. Dalam hal ini, jangan sampai terdapat upaya pembenturan antara nilai-nilai yang ada dalam Kitabullah dan konstitusi negara. Kebijakan persaingan usaha harus bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, Pancasila, dan UUD 1945.


Kondisi persaingan usaha saat ini

Hasil penelitian menunjukkan bahwa KPPU perlu memperhatikan praktik curang untuk merebut pasar dengan menguasai semua faktor produksi hingga distribusi. Pendapat ini sangat disetujui oleh 47 persen responden sementara 40 persen lainnya menyatakan setuju. Muhammad Zulfadli Tahir yang menjadi salah satu narasumber dalam FGD mengutarakan bahwa hal ini disebabkan oleh regulasi yang belum bagus dan perilaku ekonomi yang belum menerapkan prinsip-prinsip persaingan usaha seperti perekonomian digital.


Sebanyak 43 persen responden berpendapat sangat setuju praktik persaingan yang tidak sehat terutama dalam bidang ekonomi digital belum terakomodasi dalam UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


Selanjutnya 40 persen responden sangat setuju dan 53 persen setuju jika ketimpangan sudah menjadi realitas dari kondisi ekonomi Indonesia yang diakibatkan oleh praktik persaingan usaha. Temuan lainnya adalah terdapat 30 persen responden sangat setuju dan 43 persen setuju jika kondisi persaingan usaha saat ini disebabkan oleh KPPU belum optimal dalam menjalankan tugasnya.


KPPU yang ideal sesuai dengan ekonomi Pancasila

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa syarat KPPU bisa ideal sesuai dengan ekonomi Indonesia, yaitu memiliki sumber daya pegawai yang mencukupi dan kompeten. Pandangan ini sangat disetujui oleh 80 persen responden. Unsur utama kelembagaan yang kuat dan berwibawa adalah sejauh mana kualitas sumber daya manusia yang ada.


Jika ingin menjadikan lembaga kuat dan berwibawa di hadapan masyarakat dan pengusaha, maka sistem rekrutmen di KPPU harus transparan dan betul-betul menyaring pegawai yang unggul, baik untuk mengisi pos jabatan di KPPU pusat maupun di daerah.

 

Kondisi lain yang harus menjadi perhatian KPPU adalah melakukan peran yang maksimal untuk mengadvokasi kebijakan dan pencegahan. Pendapat ini sangat disetujui oleh 50 persen responden. Hal ini penting untuk dilakukan supaya upaya pencegahan yang dilakukan bisa maksimal.


Di samping itu terdapat 37 persen responden menyatakan sangat setuju dan 37 persen setuju KPPU dalam hal penyelidikan, perlunya kewenangan untuk penggeledahan dan penyitaan serta kerja sama yang baik dengan instansi lain, Namun  hanya 20 persen responden yang sangat setuju jika KPPU memiliki tiga kewenangan, legislatif, eksekutif dan yudikatif.


Artinya sebagian besar responden tidak setuju adanya penggabungan tiga kewenangan tersebut di KPPU. Alasannya karena dikhawatirkan adanya abuse of power yang akan dilakukan oleh KPPU jika memiliki kewenangan yang sangat besar.


Penguatan regulasi tentang persaingan yang sehat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa regulasi atau kebijakan yang perlu dilakukan untuk memperkuat peraturan hukum tentang persaingan yang sehat adalah membuat UU khusus untuk melindungi petani, nelayan, buruh, UMKM, serta ultramikro. Pandangan ini sangat disetujui oleh 63 persen responden. Hal ini diperlukan karena UU persaingan usaha tidak secara gamblang mengatur keberpihakan terhadap UMKM.


Selanjutnya, 60 persen responden berpendapat sangat setuju pentingnya mengatur praktik integrasi ekosistem bisnis dan aturan tentang monopoli kepemilikan usaha perseorangan yang menguasai banyak aset. Demikian pula 60 persen responden sangat setuju pembuatan peraturan KPPU yang akomodatif antara mekanisme pasar, ekonomi digital, dan praktik anti-monopoli, serta persaingan usaha tidak sehat sesuai dengan nilai Pancasila dan UUD 1945. Ketika ditanya soal perlunya redefinisi kelembagaan KPPU, terdapat 57 responden yang sangat setuju.


Menurut Ine Minara, tantangan yang dihadapi untuk dapat menerapkan kebijakan persaingan yang efektif, tidak tepat jika semata-mata hanya didasarkan pada kendala dari sisi prosedural hukum. Tidak cukup juga hanya mengatakan KPPU dan undang-undang harus dirancang ulang.

 

 

Hal utama yang harus definisikan dalam konteks sistem ekonomi Pancasila adalah konsepsi nilai yang mendasari hukum persaingan yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 hasil amandemen 2002, yaitu perekonomian yang berdasarkan asas kekeluargaan disusun sebagai usaha bersama dan diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan atas dasar demokrasi ekonomi, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.


Beberapa responden memberi catatan untuk KPPU supaya kinerjanya lebih maksimal dan tidak cap sebagai agen liberal, yaitu perlu kewenangan yang lebih luas seperti halnya KPK, namun anggota KPPU harus punya integritas, pendidikan memadai, penghasilan tinggi, adil dan bijaksana. Kepemimpinan KPPU juga sangat penting ditingkatkan, oleh karena itu diperlukan anggota KPPU yang cakap secara ilmu dan jujur bersikap.


Dalam hal melindungi UMKM, para responden berkeyakinan bahwa aspek pembuatan regulasi diyakini dapat melindungi sektor usaha yang lemah. Dalam hal ini perlu dikawal efektivitas implementasinya di lapangan, termasuk adanya pengawasan untuk melindungi usaha kecil dan mikro seperti warung kelontong dan petani gurem.


Persepsi pelaku usaha terhadap KPPU


Penelitian ini juga ingin menyoroti suara dari para pelaku usaha dan pemangku kepentingan lain seperti para akademisi untuk melihat persepsi mereka tentang KPPU dan perannya dengan didasarkan pada aspek regulasi, aspek sumber daya manusia, aspek kinerja, dan persepsi mereka mengenai peran KPPU dalam penerapan ekonomi Pancasila di Indonesia. 


Dalam hal ini 57,14 persen responden setuju bahwa Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak lagi relevan dengan kondisi persaingan usaha yang terjadi saat ini. Bahkan, 71,43 persen responden setuju bahwa UU tersebut sudah tidak lagi optimal untuk menegakkan hukum persaingan usaha yang sehat. Berdasarkan kondisi tersebut, 57,14 persen responden sangat setuju jika ada revisi UU itu. 


Namun demikian hanya 14,29 persen responden yang sangat setuju selain pemberian sanksi administratif, KPPU juga perlu diberikan wewenang untuk menetapkan sanksi pidana. Juga hanya 14,29 persen responden yang sangat setuju KPPU perlu diberi wewenang penuh dalam menegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia, mulai dari fungsi legislatif, eksekutif hingga yudikatif. 


Aspek kedua yang ditanyakan dalam penelitian ini adalah kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia (SDM) KPPU. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penegakan dan pelaksanaan hukum persaingan usaha. Sumber daya manusia menjadi faktor penentu penegakan hukum, baik dari segi jumlah, kapasitas maupun kompetensinya.

 

Dalam hal ini, KPPU bersinergi dengan lembaga yang memiliki kewenangan hukum, seperti kejaksaan, kepolisian dan pengadilan. Misalnya, dalam pelaksanaan setiap putusan KPPU yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harus melalui penetapan eksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Pengadilan Tinggi (PT), atau Mahkamah Agung (MA).


Hasil kuesioner penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 42,86 persen responden setuju jika para penegak hukum persaingan usaha, baik di level pengadilan, investigator, maupun komisi KPPU itu sendiri memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai apa itu persaingan usaha yang sehat atau tidak sehat.

 

Dalam kaitannya dengan kapasitas dan kompetensi SDM KPPU, terdapat 57,14 persen setuju bahwa SDM KPPU tidak sepenuhnya menguasai dan memahami karakteristik industri atau bisnis yang berbeda-beda dengan operasional usaha yang juga berbeda-beda.


Dengan demikian, terbuka peluang terjadinya kesalahan penilaian mengenai adanya persaingan usaha yang sehat atau tidak sehat pada sektor industri atau usaha tertentu yang sedang diselidiki. Menariknya, penelitian ini menemukan ada 57,14 persen responden bersikap netral terhadap penyataan yang menyatakan tidak semua SDM KPPU berlaku jujur dalam melaksanakan tugasnya.

 

Secara tersirat, responden tidak membenarkan namun juga tidak menyalahkan pernyataan tersebut. Selanjutnya temuan survei kuesioner menunjukkan bahwa 42,86 persen responden sangat setuju adanya perbedaan kapasitas dan kemampuan SDM KPPU di tingkat pusat dan daerah.


Temuan survei menunjukkan 42,86 persen responden tidak setuju terhadap penyataan bahwa KPPU tidak netral, independen dan objektif dalam menegakkan hukum persaingan usaha. Hal tersebut juga didukung dengan fakta bahwa berbagai saran pertimbangan yang diberikan KPPU atas berbagai industri, seperti konstruksi, perdagangan, dan transportasi, telah didukung oleh 175 kajian dan penelitian yang telah dilakukan, serta tidak lepas dari 117 kerja sama formal yang dibuat KPPU dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri (KPPU, 2020).

 


Menariknya, responden dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kubu terhadap pernyataan yang menyatakan bahwa KPPU tidak memiliki aturan baku yang secara jelas mendefinisikan persaingan sehat atau tidak sehat. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 42,86 persen responden yang setuju dan 42,86 persen yang tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Sementara, 57,14 persen responden bersikap netral terhadap penyataan bahwa KPPU tidak memiliki pertimbangan hukum yang memadai dan tidak mampu menunjukkan bukti-bukti kuat dalam persidangan pelanggaran persaingan usaha yang sehat.


Demikian halnya dengan 42,86 persen responden yang bersikap netral terhadap pernyataan yang menyatakan tidak adanya indikator kinerja kunci (KPI) yang baku dan jelas yang menjadi tolak ukur penilaian kinerja KPPU dalam perannya bagi masyarakat.


Terkait dengan persepsi peran KPPU dalam penerapan ekonomi Pancasila di Indonesia, 42,86 persen responden penelitian tidak setuju jika persaingan usaha dianggap hanya praktik dalam ekonomi kapitalis dan liberalis. Ketika ditanya lebih lanjut tentang ekonomi Pancasila tidak mengakui adanya persaingan usaha atau persaingan usaha tidak sesuai dengan nilai dan prinsip ekonomi Pancasila, 42,86 persen responden sangat tidak setuju dan 42, 86 lainnya tidak setuju. 


Dalam hal ini, 57,14 persen responden sangat tidak setuju dengan pernyataan bahwa KPPU hanya perpanjangan tangan ekonomi kapitalis dan liberalis. Sebanyak 57,14 persen responden juga tidak setuju dengan pernyataan bahwa peran KPPU tidak diperlukan dalam ekonomi Pancasila


Secara umum, 85,71 persen responden setuju terhadap pernyataan bahwa sistem ekonomi Pancasila lebih mengutamakan gotong royong, usaha bersama dan koperasi. Lalu, 57,14 persen responden setuju skema usaha berupa kemitraan sudah sesuai dengan nilai dan prinsip ekonomi Pancasila. Terkait dengan UU No. 5 Tahun 1999 tidak sesuai dengan konstitusi negara UUD 1945, dan Pancasila, 57,14 persen responden tidak setuju dan 28,57 persen responden sangat tidak setuju.


Temuan dari hasil survei ini memberikan gambaran yang lebih utuh terkait dengan peran dan posisi KPPU dalam menjaga persaingan usaha yang sehat. Lembaga ini telah berusaha semaksimal mungkin menjalankan perannya sesuai dengan amanat UU, namun ada banyak faktor di luar kewenangannya yang turun menentukan berjalannya iklim usaha yang sehat. Dengan demikian, hasil temuan ini dapat digunakan sebagai upaya penyempurnaan untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat di Indonesia. 

 


Penulis: Fathoni Ahmad dan Jaenal Effendi (Wakil Ketua Lembaga Perekonomian PBNU)