Opini

Pesantren, Filter Budaya dan Akhlak Generasi Muda Modernis

Sab, 19 Mei 2018 | 23:00 WIB

Pesantren, Filter Budaya dan Akhlak Generasi Muda Modernis

Ilustrasi pola pendidikan pesantren

Oleh Nasrulloh Afandi

Dr Alexis Carrel dalam bukunya Man The Unknown mengatakan, dunia telah dilanda dekadensi moral. Tidaklah berlebihan bila Indonesia disebut sebagai salah satu bagian dari wilayah dimaksud oleh ilmuwan kenamaan asal Perancis itu. Fakta di lapangan, musibah kehancuran akhlak yang telah lama kronis dan semakin gencar melanda bangsa Indonesia, tidak terkecuali ganas menjangkit generasi muda yang fisiknya akrab dengan lembaga pendidikan. Perlu diingat statusnya putra-putri bangsa sebagai siswa-siswi, atau bahkan (maha)siswa dan (maha)siswi alias bukan siswa-siswi (biasa) lagi, bukanlah jaminan meningkatnya intelektualitas dan terjaganya moralitas mereka. 

Realitasnya marak kasus murid (sekolah di luar pesantren) atau wali murid yang memukuli para guru, bahkan hingga ada guru yang tutup usia akibat dipukul oleh muridnya. Ditambah pula pergaulan tanpa batas antar lawan jenis.

Merespons fenomena di atas, pondok pesantren adalah instutusi yang bertambah eksis untuk solusi tepat menaggulangi bencana kerusakan akhlak di era modern. Pemaksimalkan kontinuitas pendidikan dan amaliah akhlakulkarimah di setiap pondok pesantren, dan berbagai komunitas yang punya 'hubungan darah' dengan pesantren, harus terus dilakukan.

Dari sudut lain, jika akhlakulkarimah di internal pesantren telah pudar, maka berisiko besar, secara perlahan dengan sendirinya pondok pesantren akan bergeser ke poros yang kurang menguntungkan, atau minimalnya kehilangan identitas sebagai pesantren. Dalam konteks pendidikan) tidak ubahnya sekolah di luar pesantren yang dilengkapi asrama. Muaranya, kredibilitas dan kafabilitas pesantren tersebut secara total akan pias dan buram.

Pesantren dan Implementasi Akhlakulkarimah

Esensi tertinggi peran institusi pesantren adalah sarana menerapkan akhlakulkarimah di ruang publik, berawal dari internal pesantren. Adapun konteks pendidikan hanya bagian dari perkembangan pesantren. 

KH Abdurrahman Wahid dalam bukunya Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren berpendapat bahwa pondok pesantren seperti akademi militer atau biara (monastery, convent). Dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas. Dengan faktor kondisi tersebut, di tengah-tengah terus rusaknya akhlak dari ;atap langit' sampai 'akar bumi' bangsa kita ini, pondok pesantren akan sangat memungkinkan untuk tetap survive menjadi 'transmisi' atau agen pendistribusi akhlak karimah, untuk 'memfilter' keluar-masuknya budaya.

Senada dengan Gus Dur, adalah opini Clifford Geertz dalam bukunya The Javanese Kyai: The Changing Role of a Cultural Broker. Bahwa kiai pesantren punya peran besar sebagai 'makelar budaya' (cultural broker). Menganalisa pendapat Geertz tersebut, saya berpendapat 'memfilter budaya' itu, dalam konteks upaya menuju penerapan akhlakulkarimah dalam kehidupan manusia lintas zaman. Pesantren akan tetap berfungsi 'memfiter budaya', bila di masing-masing pondok pesantren pendidikan akhlak masih dominan dan dimaksimalkan.

Sejatinya hal itu merupakan syarat utama kiai bisa berperan sebagai 'makelar budaya”, sehingga dari sekian banyak arus gelombang budaya yang terus deras mengalir dan membanjiri manusia modern, tetapi komunitas pesantren, utamanya santri yang menetap di masing-masing pesantren, dengan mudah menerima hasil 'penyaringan' budaya oleh kiainya. Kemudian para santri langsung menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Otomatis setelah para santri kembali ke daerah masing-masing, mereka mengalirkan budaya  yang telah 'disaring' itu kepada lingkungannya sesuai rumus akhlakulkarimah. 

Kebalikannya, jika akhlak terpuji (al-karimah) telah bias di dalam kehidupan pesantren, dikalahkan oleh akhlak tercaci (as-syayi’ah), maka pesantren dalam konteks 'makelar budaya' tidak akan lagi  berperan maksimal. Atau bahkan sama sekali tidak akan bisa berperan. Hal ini, bisa dilihat dan dibuktikan di kalangan akademisi  di luar pesantren, yang free expression, baik di dalam, utamanya di luar kampus (kost-kostan) dengan lingkungan (kost) yang  tidak mendukung. Dengan sendirinya tidak memungkinkan suasana pergaulan dunia kampus untuk bisa berfungsi menjadi 'medium budaya', tetapi lebih tepat dan lebih empuk menjadi 'objek' atau 'mangsa' budaya. Kecuali, jika secara individual komunitas akademisi punya kemampuan untuk melakukan hal itu.

Merespons fenomena tersebut, sangatlah tepat dasawarsa ini, banyak bermunculan pesantren sebagai asrama mahasiswa. Menjadi salah satu faktor cukup signifikan untuk membangun moralitas generasi berakhlak karimah (Mengenai hal ini, bisa lihat tulisan saya Mengkaji Ulang Pondok Pesantren Mahasiswa, pesantrenvirtual.com, 2/11/2004 ). Sesuai opini Albert Schweitzer, dalam bukunya The Philosophy of Civilization; bahwa pembentukan budaya manusia harus dilandasi dengan pendidikan akhlak.

Di tengah runtuhnya akhlak bangsa kita, seiring dengan dahsyatnya wabah hedonisme, pondok pesantren yang selama ini identik dengan religiusitas, dalam kapabilitasnya sebagai markas akhlak karimah, jelas harus eksis dan survive mengajarkan, menuntun para santri dan publik modern untuk secara perlahan menerapkannya dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.

Akhlak karimah harus dibangun horisontal (sesama mahluk) maupun vertikal (mahluk dengan Tuhan) dalam berbagai aspek dan unsur. Sesuai sabda Nabi Muhammad SAW “Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak”( HR. Malik). Pada konteks ini, jika Nabi diutus di tengah kebodohan dan kekeliruan publik dunia kala itu, di sini sesuai kondisi awal hadirnya pesantren, ketika itu bangsa Indonesia juga dalam kondisi hewani atau jahiliah (sebelum datangnya Islam). Pesantren, dengan ajaran Islam, hadir untuk membangun manusia Indonesia kala itu ke arah yang bermoral atau manusiawi. 

Ketika para elite pesantren menyelewengkan institusi pesantren untuk 'dimanfaatkan' sebagai alat di dalam gelanggang politik praktis, komunitas pesantren harus tetap menjadikan akhlak karimah sebagai salah satu senjata peperangan di gelanggang yang semestinya harus demokratis itu, demi menjaga identitas pesantren, dan menanamkan benih demokrasi yang bermodal moralitas bersih dan terpuji.

Metode Mentradisikian Akhlak Karimah

Sangat tidak tepat, jika sebagian golongan beranggapan pendidikan akhlak adalah sebuah konservatisme demi mengkultuskan sang kiai atau guru belaka. Kitab karya Syeikh Ibrohim bin Ismail, sebuah syarah dari kitab Ta’lim al-Muta’allim; Thoriq at-Ta’alum karya syeikh al-Zarnujy; atau Akhlaq al-Banin (ibtida’iyyah) karya Umar Bin Ahmad Baradja, dan buku pelajaran-pelajaran akhlak lainnya, yang masih eksis diajarkan di berbagai pesantren, utamanya pesantren tradisional. Hal itu, sama sekali tidak 'menggoyang' terhadap eksistensi pendidikan akhlak yang masih dan harus dominan dilaksanakan di pesantren.

Efektivitas tertanamnya akhlak karimah di institusi pendidikan, muaranya akan turut melancarkan peredaran ilmiah, di antaranya anak manusia. Ia akan mengetahui posisi dirinya dalam siklus interaksi masyarakat ilmiah, sebagai guru, atau murid, atau pendengar, dan atau hanya berposisi sebagai pecinta ilmu saja. Juga berbagai fungsi (akhlak) lainya,  tidak memaksakan diri sebagai 'ustadz dadakan'. 

Di sisi lain, marak bermunculan pesantren, yang didirikan oleh orang-orang 'tidak kenal' dengan pesantren; seperti para politisi, pengusaha dan lainnya, bermodal mengutamakan kemewahan fisik bangunan, kondisi di dalamnya antara santri putra-santri putri, tidak beda dengan SLTP/SLTA di luar pesantren,--yang siswa-siswinya terbiasa dengan suasana pergaulan kost-kostan remaja di luar pesantren itu--, ditambah lagi santri putra-putri, tinggal dalam satu lingkup, asrama berdekatan.

Dalam konteks ini, saya tidak memposisikan diri sebagai kalangan pesantren tradisionalis atau pesantren modernis, tetapi memaparkan di antara realitas memilukan profil pondok pesantren yang ada dewasa ini. Dengan kondisi demikian, selain tidak bisa menjadi 'filter budaya', pondok pesantren juga tidak lagi bisa ikut berperan dalam membangun bangsa, dengan cara melahirkan generasi yang berakhlak mulia.

Tidak bisa dipungkiri, akhlakulkarimah generasi muda di tengah arus modernitas, dunia pendidikan akademisi semakin terpuruk. Terutama jika dilihat konteks pergaulan antara laki-laki dan perempuan di kalangan akademisi perguruan tinggi yang berlabel Islam sekalipun. Alasan mereka singkat saja, “Kita ingin jadi Muslim moderat.” Meskipun banyak kedapatan yang tidak jelas landasan hukum yang dipegangnya, dan juga dalam ketidaktahuan terhadap pegangan hukum, serta kurang siapnya untuk melakukan kewajiban agama itu.

Ironinsnya, mereka banyak yang mengatakan, “Kita ini manusia biasa, bukan Nabi yang ma’shum (terjaga dari maksiat)”. Memang benar hal tersebut. Tapi, kenapa kita tidak berpikir dan mengatakan, ‘’Mari kita sama-sama untuk terus berusaha meningkatkan ketakwaan kita, dengan cara yang menunjangnya. Misalnya menjauhi tempat-tempat yang dikenal sangat jauh dari akhlak terpuji, berpotensi melahirkan akhlak tercaci (kemaksiatan)."

Bukankah berfikir demikian itu, jauh lebih ilmiah? Mak mari lebih bersemangat menghidupkan gairah pesantren, menjaga pesantren sebagai tempat menumbuhkan akhlakulkarimah.

Penulis adalah Pengasuh Pesantren Asy-Syafi'iyyah Kedungwungu Krangkeng Indramayu. Pengajar senior Ushul Fikh Pesantren Balekambang Jepara. Meraih Doktor Maqashid Syariah Universitas al-Qurawiyin Maroko.