Opini Masriyah Amva

Puisi Perdamaian dari Sang Nyai

NU Online  ·  Selasa, 4 April 2017 | 06:15 WIB

Oleh Ngarjito Ardi Setyanto

Sastra selalu memberikan ruang terbuka pada kepada siapa saja. Salah satu yang bisa masuk dalam dunia sastra adalah perempuan, baik sebagai subjek atau objek. Keberadaan perempuan selalu memberikan warna yang berbeda dalam dunia sastra. Ironinya, kebanyakan keberadaan perempuan dalam sastra sebagai objek.

Perempuan tidak pernah habis dibahas dalam karya. Keberadaan perempuan sebagai salah satu menu tema yang paling banyak dipilih oleh sebagai karya sastra telah mendorong lahirnya banyak penelitian terhadap karya sastra bertema perempuan. Banyak faktor perempuan selalu menjadi objek, namun faktor yang paling mempengaruhi adalah kebanyaknya pengarang adalah laki-laki. 

Dalam perjalanannya, keberadaan pengarang perempuan di Indonesia tidak banyak. Keberadaan pengarang perempuan bisa dihitung dengan jemari. Di masa-masa terlepasnya Indonesia dari penjajahan, kita mengenal beberapa pengarang perempuan saja. Seperti, Fatimah Hasan Delais yang menulis Kehilangan Mestika. Kemudian Selasih, Saleguri atau Sariamin yang melahirkan karya Kalau Tak Untung (novel, 1933), Pengaruh Keadaan (novel, 1937), Rangkaian Sastra (1952), sejumlah cerita anak-anak, legenda, dan sejumlah puisi yang tersebar dalam berbagai antologi.

Pada tahun 1945 kita mengenal S. Rukiah yang melahirkan karya Tandus (kumpulan sajak, 1952 memenangkan Hadiah Sastra Nasional BMKN), Kejatuhan dan hati (novel, 1950), Si Rawun dan Kawan-kawannya (cerita anak, 1955), dan lain-lain. Kemudian Siti Nuraini yang melahirkan karya berupa sejumlah puisi yang tersebar dalam berbagai antologi dan terjemahan Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupéry tahun 1952.

Sastra Indonesia makin meriah oleh pengarang perempuan, ini terlihat makin banyaknya perempuan makin banyak pengarang perempuan yang dikenal. Pada priode 1950 diwakili dengan Agnes Sri Hartini Arswendo, Aryanti, Asnelly Luthan, Boen S. Oemaryati, Diah Hadaning, Farida Soemargono dan masih banyak lainnya. 

Setelah dekade 1970-an, perjalanan pengarang perempuan Indonesia dalam sejarah kesusastraan dilanjutkan oleh munculnya pengarang wanita baru seperti Ayu Utami lewat Saman (1998), dan Larung (2001). Diikuti oleh gebrakan Dewi Lestari dengan Supernova (2001), Akar (2002), dan Fira Basuki dengan Jendela-jendela (2001) yang merupakan bagian pertama dari trilogi Pintu (2002) dan Atap (2002).

Gerakan sastra di Indonesia masih mengalami sejumlah benturan kultural, sosial hingga spiritual. Belum lagi dengan benturan sesama penganut dan penikmat sastra yang masih terkotak-kotak dalam perbedaan; sastra klasisisme, sastra neoklasisisme, sastra praromantisme, sastra ghotik, sastra dadaisme, sastra naturalisme, sastra realisme-sosialis, sasatra utilitarian, sastra pascaromantisisme, sastra art for art’s sake, sastra simbolisme, sastra impresionisme, sastra dekaden, sastra absurdisme, dan sastra eksistensialisme..  Menariknya, sastra di Indonesia yang berkultur religius, dengan didominasi oleh agama Islam melahirkan model sastra baru yang bercorak Islami ala Indonesia.

Dinamika sastra Islam di Indonesia, ditandai dengan semakin meningkatnya karya sastra yang bertemakan Islam, terutama berlatar dalam kehidupan pesantren. Kemudian diiringi dengan meningkatnya jumlah pesantren putri pada masa pra-kemerdekaan hingga pasca-reformasi sebagai tanda perempuan memiliki tempat di masyarakat.

Dalam perjalanan waktu, karya-karya sastra bertemakan Islam bermunculan. Terlebih sastra Islam berlatar belakang pesantren menghiasi kesusastraan Indonesia. Kemudian muncullah istilah sastra pesantren. Wacana ini berkembang sekitar tahun 2000-an, tepatnya ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat sebagai presiden RI. Besar kemungkinan, kepresidenan Abdurrahman Wahid menjadi pertanda bagi bangkitnya kelompok masyarakat yang bergerak di jalur kultural (pesantren) yang selama Orde Baru mereka tidak memiliki kesempatan. Gus Dur menjadi juru bicara orang-orang pesantren untuk masyarakat non-pesantren, termasuk masyarakat asing.

Munculnya istilah pesantren kemudian menjadi anugerah dan polemik bagi kesusastraan di Indonesia, hingga kini pembahasan tentang sastra pesantren tidak kunjung habis. Satu sisi sastra pesantren dianggap sebuah anugerah, sebagai nama bagi genre, meskipun tidak mendapatkan dukungan secara teoritis. Kemudian sisi lain sastra pesantren dianggap sebatas humor dari pergulatan sastra di Indonesia. Dan di sisi lain lagi, penamaan tersebut dianggap sebagai usaha para sastrawan, wartawan, juga pemerhati kesusastraan sekadar untuk menandai para sastrawan yang lahir/berlatar pendidikan di pesantren dan atau pula karya sastra, baik puisi maupun prosa, yang mengangkat tema, latar, serta visi-misi yang senantiasa mengacu pada pesantren dan nilai-nilai kesantrian.
Terlepas dari humor sastra yang beredar, sastra pesantren memiliki penikmat yang tidak terbatas dari dunia pesantren saja. Kemudian para penikmat sastra pesantren mengambil kesimpulan bahwa sastra pesantren didefinisikan sebagai produk/karya yang bertema keislaman, kesantrian, dan kepesanterenan; atau diidentifikasi sebagai karya sastra yang berurusan dengan pengalaman kehidupan pesantren, karya pengarang berbahasa Indonesia yang bermuatan tema keislaman, kesantrian, atau kepesantrenan; atau pula pengarang yang memiliki hubungan sejarah atau silsilah dengan pesantren. 

Dalam pandangan Ridwan Munawwar (Ridwan Munawwar, 2007), kategori di atas tampaknya menghendaki tema/wilayah pembahasan sastra pesantren ke arah tema-tema nilai esoterik keagamaan; cinta illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos).

Jauh sebelum munculnya istilah sastra pesantren, para pengarang yang berlatar belakang pesantren sudah bermunculan. Seperti Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani (Nihayat az-Zain, Marahu Labid/Tafsir Munir), Syekh Yasin al-Fadani (Fawaidul Janiyyah, Hasyiyah Faraidul Bahiyyah), Kiai Ihsan Jampes (Siraj at-Thalibin), Kiai Ma’shum Ali (Amtsilat at-Thashrif), Kiai Hasyim Asy'ari (At-Tanbihat al-Wajibat) dan juga, yang muncul belakangan, Shohib Khaironi El Jawy dan lainnya. Kemudian saat ini kita mengenal kyai kontemporer seperti Djamil Suherman, Gus Mus, M. Fudoli Zaini, Zainal Arifin Toha, dan seterusnya.

Dari sejumlah sastrawan besar dari kalangan pesantren, kita tidak begitu mengenal dengan pengarang perempuan. Perempuan masih menjadi hal yang tabu dalam menampilkan diri di depan publik. Bila ada perempuan Islam menjadi pengarang, kebanyakan mereka dari santri, sedangkan dari priyayi terhitung sangat sedikit. Dari fenomena ini, kemudian timbul pertanyaan di mana peran para perempuan priyayi yang masuk dalam kehidupan sastra? Hidup sebagai perempuan priyayi berkewajiban menjaga praja. Dengan simbolisme itu, seorang priyayi dalam melakukan segala hal dalam kehidupannya penuh dengan kehati-hatian. Dengan demikian terjaminlah kestabilan dan kontinuitas orde sosial, sehingga selanjutnya memperkuat status quo.

Kehidupan priyayi merupakan ideologi, tidak lain karena hal tersebut telah mempertaruhkan pertahanan status quo yang akan dapat menjamin kelangsungan hidup dirinya, maka pada hakikatnya menjadi legitimasi kedudukan kelompok. Kesemuannya berfungsi untuk memantapkan dan mendramatisasikan pelbagai peranan dan kedudukan dari semua pihak yang ikut main.

Dalam perjalannya, golongan priyayi sebagai kelompok sosial adalah golongan elit, di mana mereka yang bisa mempengaruhi, memimpin, memberikan pengaruh, mengatur, menuntun masyarakat dan berdiri di atas rakyat. Ada ministratur, yang mengatakan bahwa orang yang berpendidikan lebih baik didominasi oleh golongan priyayi, pandangan ini hanya bertahan pada tahun sekitar 1980-an. 
Ada satu hal lagi yang harus dipenuhi oleh seorang priyayi, menurut Clifford Geertz, di mana priyayi merupakan orang yang menelusuri asal-usul keturunannya sempai kepada raja-raja besar Jawa sebelumnya. Tetapi semenjak Belanda yang menguasai Belanda lebih dari tiga abad yang mempekerjakan sebagai instrumen administrasi kekuasaannya. Dari sini, dalam memahami priyayi menjadi meluas pengertiannya; baik dari seorang yang keturunan raja menjadi atau seorang birokrat yang bekerja di pemerintahan.

Terlepas dari pergolakan kehidupan priyayi, melihat penjelasan yang dilakukan oleh Clifford Geertz memberikan pandangan bahwa kehidupan seorang priyayi penuh dengan peraturan dan menjadi status quo. Seperti halnya para kehidupan para nyai-nyai (Istri para pendiri pesantren) mengandung berbagai pantangan yang berlaku, antara lain harus mengikuti semua perintah sang Kiai (laki-laki pendiri pesantren)

Dalam kultur Jawa, batas wilayah kerja perempuan tidak hanya macak (berhias untuk menyenangkan suami), manak (melahirkan anak), dan masak (menyiapkan makanan). Hal itu menunjukkan sempitnya ruang gerak dan pemikiran perempuan sehingga perempuan tidak memiliki cakrawala di luar tugas-tugas domestik. Tetapi dalam kehidupan priyayi, batas kerja ini tiada, perempuan hanya menjadi pendamping hidup suami; yakni macak dan manak. Lantaran pekerjaan masak sudah diambil alih pembantu atau orang-orang yang mengabdi kepada priyayi. 

Dalam pandangan hidup orang Jawa perangai anak ditentukan oleh tingkah laku ayah pada waktu si anak masih dalam kandungan ibunya, dalam serat Paesarakrama menjelaskan bawah saat persetubuhan dan perangai suami selama bersetubuh mempengaruhi sifat di kemudian hari. Si ibu hanyalah merupakan wadah belaka. Namun demikian dituntut faktor bobot, bebet, bibit. Bobot adalah karakter si ibu dilihat dari segi silsilah kebangsawanannya, bebet adalah karakter si ibu dilihat dari segi harga, sedang bibit adalah karakter si ibu dilihat dari keadaan fisik, kesehatan dan kecantikan rupanya. Dalam serat Nitimani dipaparkan sifat-sifat wanita yang layak diperistri, yang harus memenuhi syarat bobot, bebet, bibit.

Dari kehidupan priyayi ini kemudian peranan perempuan dari kalangan priyayi sangat sedikit dalam kontribusi kehidupan sosial. Begitu juga dengan pengarang-pengarang yang ada. Bahkan, perempuan dari kalangan priyayi bisa dihitung dengan pandangan mata. Kebanyakan pengarang-pengarang perempuan dari kalangan Islam lebih banyak didominasi oleh santri dan abangan. Dari sedikit perempuan priyayi tersebut itu adalah Masriyah Amva.

Apa yang dilakukan Masriyah Amva yang mendobrak kemapanan kultur Kyai, terutama Nyai (panggilan kepada istri Kyai), bahwa tidak hanya mendapingi dalam mengasuh pesantren. Tidak hanya itu, Masriyah Amva secara tidak langsung telah merobohkan teori Clifford Geertz tentang konsep Priyayi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, priyayi memiliki tindakan yang memiliki aturan atau tindakan tertentu demi menjaga marwa. Tetapi Masriyah Amva mencotohkan bahwa seorang Nyai (salah satu golong priyayi) memberikan tindakan yang peduli kepada orang lain, tetapi tidak melupakan bahwa ia juga memiliki tidakan untuk memerdekaan dirinya sendiri.
Masriyah Amva melalukan sesuatu tidak memperlihatkan seorang priyayi yang selalu benturkan dengan kultur atau struktur. Saat ia menikah yang pertama, Masriyah Amva pernah berjualan kerupuk demi menghidupi keluarganya tanpa haru mengadah kepada orang-orang di sekitarnya. Hal ini ia lakukan saat suami (pernikahan yang pertama) memilih jalan sufi, dan pada sang suami baru titik puncak pada cinta. Meskipun pernikahan tersebut tidak bertahan, yang kemudian ia menikah lagi.

Kebarian Sang Nyai “Masriyah Amva” tidak hanya berhenti di situ, semua perjalanan hidupnya kemudian ia ungkapkan dengan kata-kata yang indah. Masriyah meruntuhkan perasangkan tentang kehidupannya tersebut melalui sejumlah kumpulan puisi serta novel sufistiknya ; Ketika Aku Gila Cinta (2007), Setumpuk Surat Cinta (2008), Ingin Dimabuk Asmara (2009), Cara Mudah Menggapai Impian (2008) dan Si Miskin Pergi ke Baitullah (2010), Bangkit dari Terpuruk (2010), Matematika Allah (2012) dan Umrah Tiap Tahun (2012).

Masriyah Amva merupakan sosok yang lahir dari kultur priyayi dan santri. Ia dilahirkan dalam suasana lingkungan dan keluarga pesantren, tetpatnya di Babakan, Ciwaringin Kabupaten Cirebob pada 13 Oktober 1961. Apa yang dilakukan Masriyah Amva merupakan cerminan dari kedua orang tuanya. Masriyah Amva kecil selalu disuguhi dengan kegigihan kedua orang tuanya yang berjuang dalam dunia sosial dan dakwah.

Sang ibu, Hj. Fariatul ‘Aini, merupakan seorang wanita yang gigih, tidak hanya mendidik anak tetapi hidupnya diabadikan bagi masyarakat sekitarnya. Sedangkan Ayahnya al-maghfurllah K.H. Amrin Khanan merupakan  sosok ulama pesantren traditional, yang istiqamah mengajar dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Kedua Kakeknya K.H. Amrin dan K.H. Abdul Hannan adalah juga dua ulama karismatik , yang disegani bukan hanya karena kedalaman ilmunya tetapi juga karena ketekunan dan kesabarannya dalam membimbing para santri dan masyarakat setempat.

Dalam kehidupannya, Masriyah Amva selalu memiliki kekuatan dan kegigihan dalam usaha memetik ilmu yang kemudian ilmu tersebut ia sebarkan ke masyarakat sekitarnya. Ini terlebih dari pendidikannya, Masriyah Amva tidak puas dengan pendidikan di kampung halamannya, ia kemudian melanjutkan pendidikan di pesantren Al-Muayyad Solo. Dari pendidikan di Solo ini kemudian perjalanan dalam menjelajah ilmu kemudian dilanjutkan ke pesantren Al-Badi’iyah di bawah bimbingan Ny. Hj. Nafisah Sahal dan K.H. Sahal mahfudz, di Pati Jawa tengah. Sempat juga mengikuti pendalaman di pesantren Dar al-Lughah wa da’wah di Bangil dan berguru langsung pada Habib Hasan Al-Baharun. Pada saat belajar di Bangil ini beliau di pinang K.H. Syakur Yasin dan berangkat bersama suami untuk menetap di Tunisia selama hamper 4 tahun . Dari pernikahannya ini, ia di karuniai dua orang putra , Robert Hasymi, dan Mohammad Ibdal.

Masriyah Amva tidak puas dengan ilmu-ilmu yang berada di pesantren. Demi memenuhi kehausannya tentang ilmu, ia akhirnya melanjutkan pendidikan di STAIN Cirebon, tetapi tidak selesai. Setelah delapan tahun rumah tangga , sayangnya harus berpisah. Setahun kemudian pernikan yang kedua di tempuh dengan seorang ulama yang bersahaja dan istiqamah, K.H. Muhammad, Pendiri pesantren Kebon Melati. Kemudian mereka berdua bersama sama merintis pondok pesantren Kebon Jambu , Babakan Ciwaringin. Ia sendiri lebih banyak mendampingi santri-santri putri di pesantren ini.

Seperti ibunya, Masriyah Amva tidak hanya aktif di dunia dakwah dalam bidang pemberdayaan masyarakat khususnya penguatan Ekonomi masyarakat bawah, ia juga aktif dalam kegiatan kegiatan Muslimat Fatayat NU, Pendampingan untuk perempuan Mawar Balqis dan kajian kajian keagamaan Fahmina Institute. Dari berbagai kisah kehidupan yang ia alami ini yang kemudian ia tuangkan dalam bentuk bait-bait puisi yang indah. Kemaharinnya dalam merangkai kata ini kemudian ia tidak hanya dikenal sebagai sosok seorang Nyai tetapi seorang sastrawan yang lahir dari golongan priyayi yang melahirkan berbagi karya.

Sang Nyai dalam Puisi
Karya-karya yang disajikan tidak hanya sebatas curahan hati, tetapi untainkan kata yang indah dan bermakna. Beberapa karyanya memiliki kata yang sederhana yang sering dipakai dalam keseharian, tetapi memiliki rangkain kata yang memperlukan imajinasi dan filosofis tinggi. Dalam karyanya merupakan cerminan dalam kehidupannya, terutama kehidupan Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin Cirebon.

Seperti dalam puisi yang berjudul Ajari Aku Menarik Pesonamu; //Tuhan…/Aku sangat polos dan lugu/Tak tahu cara untuk menggoda-Mu/Aku terlalu miskin dan lusuh/Takkan/mungkin bisa menarik perhatian-Mu//Aku tak punya daya dan upaya/Untuk membuat-Mu jatuh cinta//Tuhan…/Ajari aku untuk menarik pesona-Mu/Aku sungguh tak mengerti dan tak tahu/Ajari aku…/Untuk berbedak dan bergincu/Ajari aku…/Untuk menari tarian-tarian kesukaan-Mu/Ajari aku…/Untuk membuat-Mu selalu ingin menyayangiku/Selamanya…//
Seperti karya sastra pesantren, selalu indentik dengan keagungan yang Maha Kuasa. Dalam puisi ini Masriyah Amva memberikan cerminan pada dirinya bahwa dalam kesehariaanya ia selalu “bercumbu” dengan Tuhan. Bagaimana ia mencoba “merayu” Tuhan. Di lain sisi, Masriyah Amva juga mengajarkan sebuah kesederhanaan dan kerendahan hati seorang hamba yang tak memiliki daya kepada seorang Maha Kaya dan Berkuasa.

Dalam puisi ini, Masyriah menggunakan bahasa yang sederhana, seperti ajari, menari berbeda, dan sebagainya, sehingga setiap pembaca sekali membaca akan paham pesan yang disampaikan. Meskipun menggunakan kata-kata yang sederhana, kemudian dibalut dengan rangkaian yang pas dan tepat, membuat pembaca ingin selalu membacanya. Sastra yang baik adalah sastra yang mengajak pembaca selalu ingin membacanya dan paham arti yang disampaikan. 

Selain itu puisi-puisi yang dihadirkan tidak menggurui pembaca, hal ini terlihat menggunakan sudut pandang orang pertama. Di mana memperlihatkan curhatan hati penulis, tetapi ketika orang membaca akan merasakan sebuah pesan moral yang bisa di ambil setiap pembaca. Dalam puisi Ajari Aku Menarik Pesonamu, dari pemahaman penulis, memberikan sebuah pesan moral dalam memuja Tuhan agar kita selalu belajar dan rendah hati.

Tidak hanya itu, dalam puisi-puisinya selalu menggambarkan tentang cinta kepada Tuhan sebagai seorang Nyai itu menjadi hal biasa. Tetapi dalam pengungkapan cinta dalam beberapa puisi agak malu. Masriyah terlihat mengalihkan cinta terhadap laki-laki yang mengilhaminya itu kepada Tuhan “Tuhan, aku sangat mencintainya, tapi bukan cintanya yang kudamba...” (“Cinta yang Ku Damba” dalam Ketika Aku Gila Cinta).

Dalam lingkungan priyayi, ketika jatuh cinta kepada seseorang yang menurutnya sangat tidak mungkin untuk ia cintai, ia harus bersembunyi karena cinta di lingkungan pesantren sama tabunya dengan seks. Jika ia bercerita pada seseorang, hanya cibiran yang didapatnya.

Masriyah Amva memang tidak seberani pengarang-pengarang lainnya, seperti Abidah yang menceritakan kedudukan perempuan di dalam pesantren. Tetapi apa yang dilakukan Masriyah revolusi dalam kalangan Nyai. Bahwa Nyai tidak hanya membantu kyai dalam mengurus pesantren, tetapi memiliki pengaruh yang luar biasa. Masriyah berhasil mengurus pesantren dan menjadi pengarang yang luar bias.

Dalam keberhasilannya, ia tetap rendah hati. Ia mengajarkan kepada semua orang (tidak hanya golongan kyai) bahwa seorang Nyai tidak hanya memberikan semangat kepada keluarganya saja. Melainkan kepada seluruh orang-orang yang ada disekitarnya. Masriyah juga memberikan pelajaran tentang menghargai dan menghormati, meskipun ia berhasil menjadi orang besar baik sebagai pengasuh tunggal di pesantren dan pengarang, ia tetap menghargai kultur yang berkembang di sekitarnya.

Tidak jauh berbeda dengan puisi sebelumnya, puisi yang berjudul Beda Selera, //Aku suka PDIP/Engkau suka GOLKAR//Aku suka Syafi’i/Engkau suka Hambali//Aku suka Mu’tazilah/Engkau suka Asy’ari//Aku suka Muhamadiyah/Engkau suka NU//Aku suka pedas/Engkau manis//Itu adalah perbedaan/Kita tak perlu gontok-gontokan//Mustahil/Semua manusia punya selera sama//Buktinya/Aku dan engkau berbeda selera!/Dan surga/Milik kita semua//.

Dalam ungkapan puisi-puisi Masriyah Amva sangatlah sederhana yang penuh makna. Keterbukaan yang dilakukan olehnya dalam karya-karya merupakan ciri khas dari Masriyah Amva. Dalam puisi Beda Selera, merupakan cerminannya seorang manusia dalam berpasangan. Di sini Masriyah Amva mencoba menyelami dalam perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungan yang paling dekat.
Dalam puisi ini Masriyah Amva menceritakan bagaimana setiap orang memiliki perbedaan satu sama lain tentang selera. Bahkan perbedaan yang terjadi tidak hanya kita dan tetangga. Tetapi perbedaan itu juga bisa terjadi kita dan pasangan kita, aku dan kamu, ibu dan anak, dan setiap orang memiliki ciri khas yang tersendiri. Masriyah Amva mencoba, bahwa membokar perbedaan-perbedaan itu menjadi sebuah anugerah yang bisa dinikmati setiap orang, bukan sebuah konflik yang membunuh dan mematikan sebuah kemerdekaan seseorang.

Tulisan-tulisan Masriyah Amva tidak pernah terlepas dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Tersebut pun menjelaskan bahwa perbedaan itu dibuat oleh Tuhan agar disyukuri dan dirawat. Ini tercermin dalam firman Allah Swt, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah Menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami Jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujjurat: 13).

Secara tegas, bahwa Tuhan menciptakan manusia tidak hanya satu karakter, satu suku, satu bangsa, melainkan Tuhan menciptakan banyak karakter, suku dan bangsa. Firman Tuhan ini kemudian diambil sedikit makna oleh Masriyah Amva  kemudian dibahasakan dengan bahasa sederhana yang familiar bagi masyarakat Indonesia. Ini bisa terlihat dari kata Golkar, PDIP, NU, Muhammadiah dan sebagainya.

Dalam kehidupannya, Masriyah Amva mengalami dilema dan tekanan dari lingkungan sekitarnya. Tekanan terhadap Masriyah digambarkan semakin meningkat ketika ia menikah dengan seorang pelaku sufi yang mengalami ‘jadzab’ atau ekstase kecintaan tertinggi kepada Ilahi, sehingga ‘mengabaikan’ kebutuhan keluarganya. Dalam kondisi tersebut, Masriyah sebagai putri kyai yang sangat dihormati oleh lingkungannya harus rela ‘turun kelas’ berjualan krupuk demi memenuhi hajat hidupnya. Konflik batin yang dialami Masriyah semakin meningkat ketika harus bercerai dari sang sufi. Ia semakin terasing dari lingkungannya

Dari kehidupan yang penuh dengan pergolakan batin, ini mempengaruhinya dalam pembuatan puisinya. Salah satu tercermin dalam puisi yang berjudul Doa Kepasrahan. //Aku mengatur hidupku/Dengan segala rencana/Dengan segala cita/Dengan segala harapan/Tanpa campur tangan-Mu//Aku berjalan dan berlari/Tanpa menyapa-Mu/Aku duduk dan berdiri/Tanpa mengingat-Mu//Aku hidup/Telah meninggalkan-Mu/Aku ada/Telah melupakan-Mu//Engkau kuabaikan/Dalam hari-hariku/Engkau kupinggirkan/Dalam langkah-langkahku//Ternyata…/Kutemui duka/Kecewa/Nestapa//Aku telah kehilangan diri/Aku telah kehilangan arti//Semua pergi meninggalkanku sendiri/Aku jatuh terpuruk/Aku jatuh tertubruk/Remuk/Hancur//Bangunan kokoh itu/Runtuh…/Bangunan cinta itu/Luruh//Aku tercabik-cabik/Dengan luka parah berdarah//Kucoba bangkit/Menggapai tangan-Mu/Kucoba menengadah/Melihat wajah-Mu//Aku pasrah…/Tertunduk malu (atas kesombonganku)/Aku pasrah…/Menunggu titah-Mu/Aku jera…/Mengatur dan menata hidupku//Lalu aku berdesah…/Aku pasrah dan menyerah/Aku ingin Kau mengatur hidupku//Aku jera dengan kebodohanku/Selama ini aku buta/Bahwa Engkau adalah/Sang Pengatur ulung/Sang Manajer andal//Tuhan…/Aku ingin Engkau/Menjadi manajerku/Yang selalu mendampingiku/Mengaturku/Mengarahkanku/Agar aku/Tak lagi seperti dulu/Agar aku/Tak pernah lagi runtuh//Aku ingin berdiri kokoh/Tegar/Hingga/Tak ada satu pun/Yang mampu merobohkanku//Karena Engkau selalu ada/Di depanku/Di sampingku/Di belakangku/Di atasku/Di tanahku/Di darahku/Di nadiku/Di nafasku/Di jiwaku/Selalu bersatu//.

Revolusi Sang Nyai 
Kehadiran Masriyah Amva merupakan tonggak revolusi kesastraan perempuan yang berdarah priyayi. Perempuan yang bisa menyuarakan hati meskipun dalam kultur priyayi. Perempuan yang berani memecahkan stigma tentang kelas. Dia tidak hanya menjadi pengasuh pondok pesantren, tetapi dia juga sanggup mengemban ibu dan sastrawan. 

Kesenian dan kesusastraan merupakan revolusi: secara langsung atau tak langsung ia memperjuangkan kembali untuk hati nurani yang pada suatu masa dikaburkan, atau belum ditemukan, oleh sejarah. Masriyah Amva merupakan cermin seorang perempuan berdarah priyayi yang memiliki perjuangan tentang hati nurani.

Nurani seorang Nyai ketika ia dalam lingkungan priyayi. Rasa yang dirasakan seorang Nyai dalam kondisi santri. Keadaan seorang Nyai yang menjadi panutan setiap santri. Menjaga kehormatan diri di hadapan masyarakat sebagai orang yang tertinggi. Menjaga amanah setiap emban yang diberi. Semua itu Masriyah Amva perjuangkan melalui tulisan sastra.

Sastra merupakan sebuah alat komunikasi yang indah dan bersahabat. Sastra membutuhkan faktor kemerdekaan, agar sifatnya tetap otentik. Masriyah memerdekan dirinya saat menulis karya-karyanya. Ia melepaskan semua jabatan dan status yang didapatkannya, hingga akhirnya kata-katanya selalu mengandung sebuah kemurnian dan ke-Tuhan-an.

Dari paparan puisi-puisi tersebut, Masriyah Amva terungkap begitu kuatnya dominasi patriarki di lingkungan pesantren yang didobrak oleh Masriyah. ‘Pemberontakan’ terhadap tradisi dengan tetap bertahan di tengah lingkungannya.  Meskipun demikian, ia berhasil meruntuhkan dominasi patriarki, dengan menunjukkan kesuksesannya dalam memimpin pesantren tanpa didampingi suami, namun tetap menjunjung citra kepesantrenan melalui sufisme yang dilakoni dan ditunukkannya dalam karya sastra.

Dalam keberhasilannya itu, seraya tetap bersikap rendah hati – dengan mengakui peran para lelaki di lingkungannya- Masriyah telah melahirkan gaya pemikiran baru, bahwa seorang perempuan dalam lingkup priyayi memiliki kekuatan yang luar biasa. Meskipun sastra yang dihadirkan oleh Masriyah Amva merupakan sastra yang sederhana, tetapi apa yang dilakukan olehnya melampaui sastrawan-sastrawan lainnya. 

Di sisi lain, kehadiran seorang Masriyah Amva dalam dunia letrasi memberikan gambaran bawah seorang ibu tidak hanya jago di kamar dan dapur. Tetapi seorang ibu juga bisa jago dalam menjaga martabat keluarga dihadapan masyarakat sekitarnya. Terlebih dalam dunia menulis. Menulis tidak hanya pekerjaan seorang laki-laki, bukan juga perkerjaan seorang santri atau abangan, tetapi menulis adalah pekerjaan semua manusia yang harus dilakukan, termasuk priyayi.

Tulisan merupakan bentuk curhatan hati yang tidak bisa dikhianati. Apa yang diungkapkan hati akan tercermin dalam tulisan. Berbeda dengan curhatan hati ke seseorang, akan berbeda dengan apa yang terucap kemudian hari dari mulut orang yang kita curhati. Dengan tulisan itulah kemudian seseorang akan abadi dan dikenang. Seperti, Kartini. Kartini itu bukan siapa-siapa dalam memperjuangkan kaum marjinal, pengorbanannya tidak lebih tinggi dari Cut Nyak Din. Tetapi yang membedakan Kartini dengan wanita lain adalah menulis. 

Masriyah Amva juga mengajarkan kepada setiap wanita, apapun status kelasmu, maka menulislah. Dari tulisan sederhana itu, perempuan akan diketahui keberadaannya. Perempuan bisa menyuarakan isi hatinya. Dengan menulis pula, manusia akan dikenang dalam sejarah. Hal ini akan dibuktikan oleh Masriyah Amva, meskipun ia ada pulau Jawa, semangat dan perjuangannya dalam dunia sastawa dan pesantren bisa dirasakan ujung pulau Borneo, bahkan dibelahan negara.

Saya teringat, sewaktu mondok di salah satu pesantren di Pati, Jawa Tengah. Saya sangat jarang melihat Nyai ikut mengurus para santri. Kebanyakan yang menggang kendali dalam pesantren adalah Kyai. Tidak jarang, sosok seorang Nyai jarang dikenal dari seorang Kyai, kultur semacam ini kemudian kita –seorang santri, lebih familiar dengan seorang Kyai ketimbang dengan sosok seorang Nyai.
Tidak jarang, seorang Kyai bisa melenggang di area pesantren putra, sedangkan seorang Nyai yang di area putra dianggap tabu. Dengan keadaan semacam ini, terlepas apa yang terjadi di keluarga Kyai, memperlihatkan ada peran yang dibagi kepada Kyai dan Nyai. Tetapi pembagian peran itu terkadang membuat Nyai berada di balik layar. 

Dalam konsep orang Jawa, perempuan diidentikkan dengan konsep konco wingking (teman belakang). Konsep ini tergantung siap yang mengartikannya. Dalam konsep kesetaraan perempuan dan laki-laki juga terlihat dari konsep konco wingking. Dalam konsep itu terkadang disalahpahami sebagai merendahkan perempuan. Konco wingking yang memiliki arti teman di belakang, di mana seorang perempuan tidak bisa menentukan keputusan. Sebenarnya lebih dari itu, konsep konco wingking sebenarnya pembagian tugas dalam pekerjaan rumah tangga.

Semisal, ketika ada tamu yang datang ke rumah, seorang laki-laki yang menyambut tamu kemudian perempuan yang di belakang menentukan makan atau hidangan apa yang harus disajikan kepada tamu di depan. Di sini, laki-laki tidak bisa menentukan apa yang harus disajikan kepada tamu, tetapi perempuanlah yang menentukannya. Selain itu, konsep konco wingkin bisa diartikan sebagai sigaraning nyawa (belahan jiwa/ separuh dari jiwa). Makna sigaraning nyawa ini tampak jelas memberikan gambaran posisi sejajar dan lebih egaliter daripada konco wingking. Karena suami dan istri adalah dua yang telah menjadi suatu masing-masing  adalah separuh dari entitas. Hal ini jelas digambarkan dalam simbol patung Ardhanari.

Dari konsep di atas bisa ditarik definisi tentang kekuasaan perempuan Jawa. Kekuasaan perempuan Jawa adalah kemampuan perempuan Jawa untuk mempengaruhi, menentukan, bahkan mendominasi suatu keputusan. Kemampuan perempuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut bukan semata-mata pada saat keputusan itu diambil, melainkan merupakan sebuah proses yang panjang dari proses adaptasi, pemaknaan kembali, hingga strategi diplomasi.

Konsep kesetaraan perempuan dalam kebudayaan Jawa sudah sejak lama, bahwa sebelum konsep gender menjadi idola. Peranan penting perempuan tidak hanya dalam lingkungan rumah tangga tetapi dalam bidang politik. Sejarah mencatat, nama-nama seperti Ratu Sima, Sanggramawijaya Dharmaprasodotunggadewi (tangan kanan Erlangga) dan sederet lainnya nama-nama yang sangat terkenal di seluruh Jawa, bahkan pelosok Nusantara.

Dalam dunia Jawa peran perempuan yang paling jelas memiliki pengaruh adalah kisah Wangsa Isyana, yang kemudian keturunannya mendirikan kerajaan Singhasari dan Majapahit. Kerajaan Singhasari, dengan Ken Dedes sebagai tokohnya, memperlihatkan bagaimana seorang wanita menjadi dalam bagi peralihan kekuasaan dari Tunggul Ametung ke Ken Arok. Ken Dedes menjadi otak yang menyusun strategi untuk memperlancar langkah Ken Arok menduduki kedudukan Tunggul Ametung (yang menjadi suaminya).

Masriyah Amva mengambil konsep konco wingking dengan sundut pandang positif. Ia menjadi perempuan yang bisa berperan di belakang, tetapi ia juga mencotohkan bahwa perempuan juga siap menggantikan laki-laki tanpa harus merendahkan laki-laki. Dalam keberhasilannya itu, seraya rendah hati, ia tetap mengakui keberadaan orang di sekitarnya.

Dalam perjalannya, Masriyah Amva tidak frontal dan cenderngn mengalah, namun pada akhirnya, ia dapat membuktikan bahwa seorang perempuan priyayi juga bisa menjalankan peranan pengarang. Bahkan, dalam karya-karya memiliki ciri khas yang berbeda dengan karya-karya sastra yang lainnya. 

Penulis adalah pengiat sastra. Tinggal di Pati, Jawa Tengah.
Tulisan ini menjadi juara ketiga kompetisi Esai NU Online-INFID