Oleh Azhim Ahdar
Rasionalitas bukan berarti anti-tekstualitas atau tidak menerima teks sebagai sumber dan landasan pengetahuan. Rasionalitas dalam konteks ini adalah mempertimbangkan aspek rasional-logis terhadap pembacaan serta pemaknaan terhadap teks agama sehingga mampu menghasilkan pandangan universal dan menghindari kontradiksi dalam menyikapi perbedaan pandangan yang muncul dari pemahaman teks yang berbeda.
Kadang kita keliru menempatkan dalil naqli (Al-Qur’an & Al-Hadits) dalam menetapkan hukum terkait muamalah. Karena permasalahan muamalah berbeda dengan Ibadah, baik dari sisi dasar hukum maupun nilai hukumnya. Dalam Ilmu usul fiqh ada satu kaidah yang berbunyi, “asas dari permasalahan muamalah adalah boleh (halal/mubah) selama tidak ada dalil naqli yang menunjukkan ketidakbolehannya”. Sedangkan “asas permasalahan ibadah adalah ketidakbolehan (haram) selama tidak ada dalil yang mendasarinya”.
Sehingga, dalam masalah muamalah yang harus ditekankan ketika ingin memutuskan suatu hukum adalah aspek realitas dan rasionalitas. Mengapa? Karena Islam datang untuk memberikan maslahat bagi manusia dan maslahat dalam spektrum sosial hanya bisa tegak seiring dengan ditegakkannya keadilan. Al-Qur’an yang merupakan usaha untuk mendokumentasikan wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril as kepada Nabi SAW berisi petunjuk umum yang membahas asas beragama serta petunjuk khusus yang membahas permasalahan yang tidak mampu dicapai oleh rasio dan indra manusia.
Masalah ekonomi seperti jual-beli, sewa-menyewa, uang, lembaga keuangan, dan lain-lain merupakan pembahasan muamalah. Muamalah adalah aturan yang bertujuan untuk mengatur hubungan dan aktivitas manusia sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu muamalah semestinya bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Ketika sudah mengandung aspek ini, keadilan, maka sistem ekonomi apa pun namanya adalah sistem ekonomi syariah secara nilai.
Berbicara tentang ekonomi syariah bukan hanya tentang profit, tapi lebih dari itu juga bicara tentang landasan dalam menentukan hukum dari setiap permasalahan yang muncul sehingga mampu membawa ekonomi syariah pada tujuannya, yaitu upaya untuk menyingkap hukum syariah dalam permasalahan ekonomi yang menjadi sebab utama terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat yang berbasis keadilan. Realitasnya, lembaga keuangan syariah masih jauh dari tujuan ini, bahkan kalau kita lihat data perkembangan lembaga keuangan syariah maka yang nampak justru penurunan, baik dari sisi profit maupun dari sisi kesesuainnya dengan Syariah itu sendiri. Bisa jadi hal ini disebabkan karena adanya ketimpangan epistemologis, yaitu memandang teks sebagai rujukan utama tapi melupakan realitas dan rasionalitas.
Merupakan hal yang sangat mendasar bahwa tujuan sistem ekonomi syariah adalah mewujudkan kesejahteraan bukan hanya bagi umat Islam tapi juga bagi seluruh manusia. Karena aktivitas ekonomi bukan hanya dijalani oleh sesama umat Islam sehingga kesejahteraan itu muncul dengan menegakkan keadilan. Dalam konteks keindonesiaan misalnya, terdapat berbagai macam agama, sehingga yang harus dikedepankan adalah aspek keadilan agar seluruh agama menerima sistem ekonomi syariah.
Pertanyaannya kemudian adalah di mana peran dalil naqli dalam ekonomi sehingga melahirkan sistem ekonomi syariah? Ketika kita renungkan lebih dalam, bahwa Islam diturunkan kepada manusia untuk memberikan petunjuk terhadap hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh akal, maka hakikat dan esensi Islam adalah petunjuk tentang permasalahan yang akal tidak mampu mencapainya.
Hal ini sejalan dengan Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 113 yang artinya; “Dan Allah menurunkan Kitab serta Hikmah dan mengajarkan kalian apa yang tidak kalian ketahui”. Dari sinilah Islam yang berisi dalil naqli memainkan perannya yang kemudian memunculkan satu sistem baru dalam sistem ekonomi yang dinamakan dengan sistem ekonomi syariah, yaitu sistem ekonomi yang menjadikan dalil naqli dalam hal ini Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai salah satu landasan penetapan hukumnya.
Terus di mana posisi rasio dalam sistem ekonomi syariah serta bagaimana melibatkan rasionalitas dalam permasalahan ekonomi syariah? Dari sisi epistemologis posisi rasio sebagai media yang menjembatani teks dan realitas. Pemahaman terhadap teks harus dilandasi dengan pemahaman yang benar terhadap realitas. Dari sisi metodologis rasio menjadi timbangan dalam memahami teks. Artinya, pemahaman terhadap teks bukan hanya karena kita mengimaninya, menerima karena yang menurunkannya adalah Allah dan yang menyampaikannya adalah Nabi SAW.
Akan tetapi tolok ukur utamanya adalah bagaimana kita mampu mengurai preposisi yang ada dalam teks sehingga mampu dibuktikan kebenarannya sehingga menghasilkan keyakinan yang kuat terhadap kebenaran preposisi tersebut. Melibatkan rasio bukan berarti melepaskan keimanan tapi lebih kepada penalaran yang mendalam terhadap kebenaran teks agama dalam hal ini Al-Qur’an dan Hadits sehingga pemahaman yang lahir darinya adalah pemahaman yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Ini tidak berarti menghilangkan esensi syariah dalam sistem ekonomi syariah, mengapa? Karena teks tetap menjadi landasan utama dalam menyingkap hukum Syariah, sedangkan akal hanya menjadi media atau perantara dalam usaha memahami teks yang menghasilkan hukum syariah.
Dalam sejarahnya, sistem dalam ilmu ekonomi tidak lahir begitu saja, dia merupakan hasil penalaran para pemikir yang mencoba untuk memberikan solusi terhadap ketimpangan yang terjadi dalam tatanan masyarakat, ekonomi sosialis yang diprakarsai oleh Karl Marx misalnya lahir dari semangat menumbangkan kesenjangan antara kelas buruh dan pemilik modal. Sistem dalam ilmu ekonomi selalu lahir dari sebab yang dialami oleh masyarakat pada saat itu. Begitupun dengan kelahiran sistem ekonomi syariah, dia merupakan upaya untuk mengurai ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat yang menjadi halangan terhadap terwujudnya kesejahteraan dalam masyarakat. Dan memasukkan aspek rasionalitas merupakan langkah baru untuk sistem ekonomi syariah.
Penulis adalah Mahasiswa Program Magister Ekonomi dan Keuangan Syariah, SKSG UI.