Opini

Refleksi 21 Tahun Pelengseran Gus Dur

Ahad, 24 Juli 2022 | 17:00 WIB

Refleksi 21 Tahun Pelengseran Gus Dur

KH Abdurrahman Wahid. (Foto: Dok. Pojok Gus Dur)

Oleh Ngatawi Al-Zastrouw

Kemarin tanggal 23 Juli adalah hari bersejarah dalam proses reformasi di negeri ini. Pada hari itu, terjadi Sidang Istimewa pelengseran Gus Dur. Peristiwa ini merupakan ujung dari keretakan hubungan antara Gus Dur sebagai Presiden dengan para politisi yang ada di parlemen karena tarik menarik kepentingan politik. 


Drama politik ini sudah berlangsung beberapa bulan sebelumnya, hingga akhirnya Gus Dur mengeluarkan Maklumat Presiden atau Dekrit yang dibacakan oleh Juru Bicara Presiden, Yahya C. Staquf, pada Senin dini hari, pukul 01.05 tanggal 23 Juli 2002. Dekrit ini berisi: (1) Membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI); (2) Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun; (3) Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.


Dekrit ini langsung direspon oleh para politisi yang ada di Senayan. Sekitar delapan jam sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden, para anggota parlemen melaksanakan Sidang Istimewa MPR (SI MPR). Di antara keputusan yang dihasilkan oleh SI MPR tersebut adalah mencabut mandat KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI dan mengangkat Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden, menggantikan KH Abrurrahman Wahid. 


Penulis melihat hari itu adalah titik pijak kekalahan reformasi terhadap kekuatan oligarkhi yang bersekongkol dengan kelompok marsose dan elit politik. Mereka mengatasnamakan demokrasi untuk membunuh demokrasi dengan menggunakan mekanisme dan prosedur demokrasi. Peristiwa pelengseran Gus memperlihatkan bagaimana demokrasi dimangsa oleh anak kandungnya sendiri. 


Tak ada yang memungkiri bahwa Gus Dur adalah pejuang demokrasi, karena peranannya yang sangat besar dalam gerakan demokrasi. Dia telah membuka berbagai sekat yang menghambat demorasi, meski untuk itu dia harus menanggung berbagai risiko. Namun setelah demokrasi terbuka dan dia sedang berusaha memertahankan demokrasi melalui jalur pemerintahan, justru dirinya yang menjadi korban. Ironisnya, gerakan itu juga menggunakan prosedur dan mengatasnamakan demokrasi.


Dalam peristiwa ini, sebenarnya telah terjadi perebutan makna demokrasi. Gus Dur mencoba memaknai demokrasi secara substansial, yaitu pemenuhan hak-hak warga negara baik secara politik maupun ekonomi. Dia berusaha menggunakan kekuasaan untuk merealisasikan makna demokrasi secara substansial, bukan sekadar prosedural dan legal formal. Inilah demokrasi yang dikehendaki oleh arus bawah (rakyat kecil). Di sisi lain, sebagian elit politik (formal) ingin menggunakan demokrasi sebagai alat legitimasi untuk mengamankan kepentingan mereka. Akibatnya mereka mengabaikan substansi demokrasi dan cenderung menerapkannya secara prosedural-formal, karena  penerapan demokrasi substansial dapat mengganggu kepentingan para elit dan mengurangi kenyamanan mereka.


Sebenarnya sudah beberapa kali loby dan negosiasi untuk melakukan kompromi atas perbedaan ini. Penulis melihat pada hal-hal yang sifatnya teknis atau tidak substansial kompromi dapat dilakukan. Tapi pada hal-hal yang prinsip dan substansial Gus Dur tidak bisa diajak kompromi. Beberapa kali Gus Dur menyatakan pada penulis, "Saya tidak bisa kompromi pada hal-hal yang secara prinsip menyangkut kepentingan bangsa dan negara. Karena ini pertaruhannya bangsa dan negara Indonesia. Saya akan berjuang sekuat negara agar cita-cita dan tujuan kita bernegara dapat terwujud." Demikian kata Gus Dur pada penulis, pada suatu wakttu.


Dan ternyata, perjuangan Gus Dur menggunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki untuk memperjuangkan demokrasi gagal karena dia kalah dalam pertarungan politik. Dan dia harus tersingkir dari panggung kekuasaan formal. Kegagalan ini membuat Gus Dur harus melanjutkan perjuangan demokrasi dari luar panggung kekuasaan. Setelah keluar dari Istana, Gus Dur kembali keliling menemui ke pelosok tanah air, mendatangi kelompok masyarakat dari berbagai lapisan untuk menyapa dan menemani mereka. Tak ada beban sedikit pun bagi Gus Gur untuk melepaskan kekuasaan, karena memang bukan itu tujuan perjuangannya.   

 

Penulis tidak bisa membayangkan kalau saat itu Gus Dur ngotot mempertahankan kekuasaan atas nama demokrasi dan agama. Sebagai seorang pemimpin yang memiliki jumlah massa pendukung miliitan yang sangat besar, Gus Dur bisa saja menggerakkan mereka atas nama membela demokrasi. Sebagai seorang ulama besar, Gus Dur juga dapat menggerakkan umatnya dengan mengatakan bahwa dirinya dizalimi, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa orang yang merasa dirinya pemimpin umat. Atau bilang, pelengseran dirinya adalah penistaan ulama dan Islam yang dilakukan oleh kelompok Islamphobia, sebagaimana fenomena yang muncul akhir-akhir ini. Gus Dur memiliki kemampuan dan kesempatan untuk melakukan semua itu, namun tindakan seperti itu tidak dilakukan oleh Gus Dur.


Kenapa Gus Dur tidak melakukan semua itu? Pertama, karena ini adalah urusan politik. Gus Dur tahu bahwa semua yang terjadi adalah pertarungan politik antaraktor untuk mengamankan kepentingan masing-masing. Gus Dur berupaya bertarung di medan politik untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan ternyata dia kalah, maka tidak seharusnya dia menggunakan kekuatan rakyat untuk membelanya dengan cara bermain di luar medan pertarungan (inkonstitusional). Tindakan seperti itu akan merugikan rakyat karena pada ujungnya rakyat yang akan jadi korban. Selain itu, kalau Gus Dur melibatkan massa dalam pertarungan politik yang inkonstitusional, itu sama saja dengan tidak mendidik rakyat menghargai konstitusi. Dan jika itu terjadi, hampir bisa dipastikan risikonya negeri ini akan hancur sehingga membawa kemadlaratan yang lebih besar. 


Dari sini kita belajar pentingnya kearifan dan kesabaran dalam perjuangan. Gus Dur selalu menyatakan berjuang menegakkan kebenaran harus dilakukan dengan cara yang benar. Tidak boleh menyalahi dan melanggar konstitusi yang telah disepakati. Selain itu, berjuang tidak boleh ngotot, tanpa perhitungan hingga mengorbankan banyak orang. Sebagaimana yang dicontohkan Nabi, beliau tidak melakukan perlawanan ketika menghadapi kekuatan yang mengandung resiko besar. Nabi tidak ngotot ketika diusir dari suatu tempat, tidak melawan ketika dilempari batu, padahal Nabi sedang memperjuangkan kebenaran dan membawa misi mulia dari Tuhan. Saat Perjanjian Hudaibiyah Nabi mengalah dengan menerima butir-butir perjanjian yang sudah jelas-jelas merugikan umat Islam. Padahal saat itu Nabi bisa saja menolak atas nama kebenaran, kemudian memerintahkan umat Islam untuk menyerang kaum jahiliyah Qurays atas nama agama. Tapi hal itu tidak dilakukan oleh Nabi, karena risiko kerusakannya akan sangat besar.  


Menurut penulis, lengsernya Gus Dur adalah pintu masuk kekuatan oligarkhi dan beberapa kelompok elit yang terganggu kenyamanan dan kepentingannya karena berbagai pernyataan dan  kebijakan Gus Dur. Mereka khawatir kalau Gus Dur terlalu lama berkuasa dapat menghancurkan 'tatanan' yang telah dibangun yang banyak menguntungkan mereka. Buku Menjerat Gus Dur karya Firdika merupakan 'jendela kecil' yang dapat digunakan melihat lebih jauh berbagai kepentingan yang ada di balik pelengeseran Gus Dur. Data-data yang ada di buku itu mengindikasikan adanya 'persekongkolan' antara kekuatan oligakhi dan para elit politik yang memiliki kekuatan di Parlemen. 


Gus Dur dan seluruh pendukungnya sudah ikhlas kekuasaan itu diambil dan direbut kembali. Mereka, para pendukung telah belajar dengan baik untuk menjadi warga negara yang taat asas, meskipun itu pahit. Yang membuat mereka tidak terima adalah kembalinya para oligarkhi dan politisi busuk menguasai negeri ini dan menbajak jalannya reformasi, sehingga membuat rakyat merasa pahit hingga saat ini.


Merenungkan peristiwa pelengseran Gus Dur, mengingatkan penulis pada kisah segerombolan kera yang saling cakar berebut sebutir pisang sambil membuang bongkahan emas dan berlian yang digenggamnya karena dianggap tidak berguna dan tak ada harganya. Kera memang lebih peduli pada sebutir pisang untuk memenuhi perut dan nafsunya daripada sebongkah emas dan berlian, karena kera memang tidak dapat melihat dan mengerti tingginya nilai logam mulia.


Penulis adalah budayawan, Dosen Fakultas Islam Nusantara Unusia.