Opini

Santri: Generasi Millennial-Vertikal

Sab, 30 September 2017 | 11:02 WIB

Santri: Generasi Millennial-Vertikal

(Copyright Sindonews.com)

“Berpikirlah maka engkau akan laik”
Saya tertarik mengangkat tema ini diawali dari beberapa pemberitaan NU Online mengenai “generasi milenial”. Kurang lebih ada dua pemberitaan, Pertama, cletukan dari Haidar Bagir, kalau Rasulullah menghormati generasi milenial, dan Kedua, adu guyon antara Gus Yaqut dan Tsamara Amany.

Rasa penasaran muncul, apa sih generasi milenial? Maklum, saya tidak begitu kekinian. Saya hanya sering mendengar dan membaca konten-konten berita mengenai generasi milenial (tapi belum begitu memahami arti dari milenial itu sendiri), setelah saya telusuri lebih dalam—ternyata, generasi milenial adalah kajian dan wacana ilmiah cukup menarik dipergunjingkan.

Mari kita bedah dulu apa dan siapa generasi milenial? Generasi milenial sebagai pengganti istilah “generasi Y”—lazim disebut milenials. Istilah milenial generation peletak batu pertamanya adalah dua pakar sejarah dan penulis Amerika William Strauss dan Neil Howe. milenials juga dalam beberapa sumber ialah kelompok demografi setelah generasi X (Gen X). Tidak ada batasan waktu awal dan akhir dari generasi ini. Peneliti biasanya menggunakan ukuran dari kelahiran awal 1980-an sampai tahun 2000-an sebagai akhir dari kelahiran kaum milenial ini. Artinya, generasi milenial rata-rata berusia 13 – 35 tahun. Apakah Anda termasuk?

William Strauss dan Neil Howe adalah peneliti sejarah Amerika Serikat, menurutnya, sejarah Amerika merupakan rangkaian dari biografi generasi 1584, bisa dilihat dari karyanya bertajuk Generations dan dikembangkan pada karya selanjutnya The Fourth Turning. Dalam hal ini, kita tidak akan membahas masalah tersebut panjang lebar. Tidak sedikit juga peneliti mengkritisi Strauss dan Howe, corak teorinya terlalu mengedepankan pandangan umum (makro), tapi kecolongan pada peristiwa khusus (mikro). seperti; faktor keluarga, faktor pendidikan non-formal, dan sejenisnya. Dua sejarawan itu sempat sukses dalam memprediksi perilaku generasi milenial. Selain itu, Strauss dan Howe pun mempunyai keberhasilan dalam meramalkan peta politik dan ekonomi di Amerika yang membuat teorinya menjadi “tenar”.

Sekarang kita tinggalkan Strauss dan Howe. Di Indonesia istilah millennials sedang ngetrend. Stempel generasi milenial biasanya disematkan kepada mereka yang terlalu sibuk dengan “alam maya”, sekaligus dianggap sebagai generasi instan. Generasi yang ingin maju tapi tidak mau bersusah payah. Tidak ada yang salah dengan tudingan itu. Internet, smartphone, dan barang semacam gadget tidak bisa dipungkiri dewasa ini telah menjadi kebutuhan dasar. Lumrah mereka gandrung dengan perkembangan teknologi. Hanya saja, meminjam istilahnya Gus Nadirsyah Hosen, “Smartphone tidak lantas membuat kita menjadi pintar”. Kita kadang terjebak. Kalau boleh saya tambahkan, kecerdasan atau kepintaran kita dikalahkan oleh smartphone.

Sebagai buktinya, muncul istilah “yang dekat berasa jauh, dan yang jauh berasa dekat”. Inilah, pergaulan sosial kita terbatasi oleh kepintaran gadget sehingga kita terlihat bodoh di sekitar teman, saudara, bahkan keluarga kita sendiri.

Bagaimana kabar santri di tengah arus gelombang ini? Apa kabar? Kita sama-sama tahu, di pesantren, santri tidak diperbolehkan membawa gadget (hp, tablet, dan sejenisnya), terkecuali laptop (mungkin). Gerak aktivitas santri berselancar di dunia maya dibatasi oleh aturan-aturan yang mengikat. Bagi santri kedapatan membawa handphone, handphone-nya akan disita keamanan—baru akan dikembalikan ketika orang tuanya datang atau santri mau pulang (mudik). Ada lagi pesantren yang memberikan aturan, boleh membawa seperangkat gadget tapi hanya difungsikan pada saat hari libur, selebihnya dititipkan pengurus.

Aturan tersebut, bukan berarti pesantren dan santri menutup diri dari dunia luar, tidak! Santri masih punya kesempatan berselancar, ketika sekolah, ketika di ruang komputer, ketika hari libur menonton tv di kantin, atau ketika dia pulang ke rumah. Tujuannya untuk apa aturan tersebut? Agar para santri fokus dalam belajar, mengaji, menghapal, dan mengikuti aktivitas pondok.

Kita tahu sendiri, efek dari gadget cukup mengkhawatirkan walaupun di sisi lain mempunyai manfaat tinggi. Namun, berbeda cerita ketika berada di lingkungan pesantren. Oleh kiai—kita ditekankan untuk belajar istiqamah dan terlepas dari hal-hal yang membuat kita malas dan tidak fokus. Kiai selalu berpesan, “belajar dulu saja yang rajin, nanti dunia akan ikut dengan sendirinya.” Telah jelas, santri oleh kiai tidak disuruh untuk instan, melainkan harus ada usaha yang sungguh-sungguh, berbeda dengan karakter generasi milenial yang didefinisikan pada umumnya.

Dalam hal ini, santri termasuk generasi milenial (jika ditilik dari usianya), rata-rata usia santri 13-20 tahun, darahnya masih darah muda. Di sinilah peran pesantren, mendidik santrinya untuk menjadi “generasi milenial-vertikal”. Maksudnya, generasi yang selalu berhubungan dengan Tuhannya (Hablum Minallah), menjauhi larangan-Nya dan menjalankan perintah-Nya. Rasulullah berpesan, “Tiada sesuatu yang lebih disukai Allah daripada seorang pemuda yang beratobat,” (HR Ad-Dailami).

Tidak hanya itu, santri juga di didik menjadi “generasi milenial-horizontal”, di mana dalam pesantren kita diajarkan kebersamaan, persaudaraan, dan menghomati orang lain (Hablum Minannas). Di pesantren kita selalu diingatkan, saudara yang bukan seiman adalah saudara dalam kemanusiaan. Tidak pandang bulu, apapun madzhab, golongan, agama, budaya, dan negaranya. Menghormati manusia jelas merupakan sebuah anjuran agama.

Sudah jelas sekarang, di sinilah letak kesalahan dari dua sejarawan di atas tadi, pergolakan zaman tidak melulu berimbas pada seluruh generasi milenial. Faktor-faktor seperti pesantren harus diperhatikan juga dalam menimbang sebuah wacana. Mungkin secara umum, kita kena imbas dari zaman, namun secara prinsip terdasar, santri tetap sama tingkah dan perilakunya. Kenapa? Perkembangan zaman hanya ngiming-ngimingi kita dalam hal teknologi (itu yang paling dominan).

Sedangkan teknologi sendiri, dalam kajian budaya merupakan lapisan terluar dan paling sedikit nilai budayanya. Teknologi hanya mengandung nilai kegunaan. Dengan itu, walaupun teknologi masuk secara besar-besaran, tidak akan mengubah hakikat dari karakter tradisi kita. Kita pasti bisa menilai mana nilai terluar dan mana nilai terdalam. Jadi, teknologi hanya mengubah pola perilaku, kebiasaan hidup, dan cara berkomunikasi. Buktinya apa?

Buktinya, kita bisa lihat di pesantren, bagaimana santri beraktivitas. Sama sekali tidak mencirikan generasi milenial (yang didefinisikan di pergaulan kita). Itulah bedanya, generasi milenial tok dengan generasi milenial-vertikal (horizontal akan ikut dengan sendirinya). Kenapa? “milenial-vertikal” berbanding lurus dengan “milenial-horizontal”.

Oleh sebab itu, menghadirkan generasi milenial-vertikal harus terus digiatkan, tugas ini tidak hanya dibebankan pada pesantren, melainkan seluruh elemen masyarakat, khususnya orang tua, guru, dan tokoh masyarakat untuk terus mengingatkan kepada pemuda (anak/anak didiknya), fungsikan segala sesuatunya dengan baik, gunakan pikiran sehat maka akan laik (sehat spiritual, sehat sosial, sehat intelektual, dan sehat emosional). Yang penting jangan terlibat “isu-isu murahan yang berharga mahal itu” (hoaks).

Rasulullah SAW bersabda, “Pergunakanlah yang lima sebelum datang masa yang lima; Masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa miskinmu, masa kosongmu sebelum datang masa sibukmu dan masa hidupmu sebelum datang masa kematianmu,” (HR Hakim).


Aswab Mahasin, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.