Opini

Sarbumusi, Dari Ulama untuk Kaum Buruh Indonesia

Ahad, 1 Mei 2016 | 06:00 WIB

Oleh Irham Ali Saifuddin

Hari ini, seperti setiap tanggal 1 Mei tahun-tahun sebelumnya, selalu diperingati oleh kalangan buruh di dunia sebagai Hari Buruh Sedunia. Penetapan 1 Mei sebagai harinya kaum buruh sedunia ini tidak terlepas dari sejarah pergerakan kaum buruh di Amerika dan Eropa di akhir 1800-an yang lahir sebagai koreksi atas dominasi dan kerakusan kapitalisme dan industrialisasi. Demikian juga, gerakan buruh di Indonesia sebenarnya juga sudah lahir jauh sebelum Indonesia berdiri. Sebagai negeri penghasil berbagai kekayaan alam termasuk rempah-rempah, kepulauan nusantara sudah menjadi incaran pedagan-pedangan dari negeri lain semenjak Abad ke-14. Salah satunya adalah serikat dagang dari negeri Belanda yang bernama Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1596. Dalam perjalanannya, VOC ini bekerja sama dengan organisasi-organisasi feodal lokal untuk memulus misi eksploitasi ekonominya.

Mulailah timbul pergerakan perlawanan dari kaum tani dan buruh yang tertindas oleh kerakusan serikat dagang VOC. Perlawanan yang massif dan marak di seantero Nusantara saat itu telah memaksa Pemerintah Belanda untuk membubarkan VOC pada tahun 1800 dan otoritasnya dialihkan langsung di bawah kendali Pemerintah Belanda. Penghisapan kapitalistis atas kekayaan alam Nusantara ini semakin menemukan kulminasinya seiring dengan praktik imperialisme yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda. Maka, semakin tersebarlah kelahiran industri-industri di berbagai belahan Nusantara seperti industry gula, industri perkebunan, tambang, dan transportasi, sehingga semakin menimbulkan kesadaran kolektif pada kelas kaum buruh bahwa golongan mereka telah lahir, yakni “kelas buruh”.

Pada tahun 1905 lahirlah Serikat Buruh pertama di negeri Nusantara ini yang bernama Staatspoorwegen Bond (SS Bond) yang diinisiasi pendiriannya oleh para buruh yang bekerja di sektor transportasi kereta api saat itu. Namun demikian, serikat buruh ini tidak dianggap progresif atau tidak berhasil menelorkan gerakan yang berarti bagi dunia perburuhan. Kemudian pada tahun 1908 lahir serikat buruh perkereta-apian yang lain, bernama Vereeniging van Spooor-en Tramweg Personeelin Nederlandsch Indie(VSTP)yang ditujukan sebagai koreksi atas diamnya SS Bond. Berbeda dari SS Bond yang eksklusif dan didominasi oleh warga Negara Belanda, VSTP ini tidak membatasi keanggotaannya pada ras atau etnis tertentu, atau jenis pekerjaan dan jabatan tertentu, ini berhasil membuat VSTP berkembang pesat.

VSTP semakin menunjukkan progresivitasnya semenjak di bawah duo-kepemimpinan Semaun dan Sneevliet yang saat itu sudah menyuarakan mengenai kondisi layak di dunia kerja melalui gerakan-gerakan kampanye kesadaran di lingkungan pabrik. Hal inilah yang menjadikan VSTP memiliki pengaruh paling dominan sekalipun serikat-serikat buruh yang lain mulai berlahiran seperti Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB)pada tahun 1912,Opium Regiebond pada tahun 1915, Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB)pada tahun 1916, Vereeniging Inlandsch Personeel Burgerlijk Openbare Werken (VIP BOW) pada tahun 1916, Personeel Fabriks Bond (PFB) pada tahun 1919, serta Sarekat Boeroeh Onderneming (SBO) pada tahun 1924. Selain itu, mulai bermunculan serikat-serikat buruh kecil lainnya di sektor perkebunan, pelabuhan, pendidikan, pertambangan, percetakan, dan pakaian. Sehingga pada tahun 1920-an di Nusantara yang masih dalam cengkeraman kolonial itu sudah terdapat lebih dari seratus serikat buruh dengan total anggota lebih dari serratus ribu buruh.

Seiring dengan semakin kuatnya gerakan buruh di Hindia Belanda, Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun 1920-an mulai melakukan tekanan kepada gerakan buruh. Bahkan tidak jarang tekanan tersebut berujung pada represi dan penindasan kepada tokoh-tokoh serikat buruh dan anggotanya saat itu, seperti, penangkapan, penganiayaan, pelarangan, pembubabaran, hingga pembunuhan. Kondisi pengekangan terhadap gerakan buruh ini semakin memburuk dan dilanjutkan tradisinya oleh kekuasaan Kolonial berikutnya, yakni Penjajah Jepang.

Gerakan Buruh Pasca Kolonial: Buruh Elemen Penentu Partai Politik

Perjuangan anti-kolonialisme adalah perjuangan kaum buruh. Karenanya, ketika puncak perjuangan kemerdekaan telah tercapai pada tahun 1945, para aktivis buruh berkumpul di Jakarta untuk membicarakan landasan gerakan buruh pasca kolonial, untuk turut menentukan arah negeri yang baru merdeka beberapa hari. Kemudian didirikan organisasi bernama Gerakan Barisan Boeroeh Indonesia (BBI). Sementara itu, di beberapa tempat lainnya juga mulai bermunculan organisasi-organisasi berbasis buruh lainnya seperti Persatoean Pegawai Negara Indonesia (PPNRI), Laskar Boeroeh Indonesia (LBI), juga ada organisasi buruh perempuan yang bernama Barisan Boeroeh Wanita (BBW). Pada bulan November 1945 BBI mengadakan kongres pertama dan memunculkan rekomendasi untuk mendirikan partai politik berbasis buruh, dan kemudian lahirlah Partai Boeroeh Indonesia (PBI). Inilah sejarah pertama kali bagaimana gerakan buruh menjelma menjadi partai politik setelah proklamasi kemerdekaan.

Pada tahun-tahun berikutnya, gerakan buruh di Indonesia sangat sulit dilepaskan dari afiliasi politiknya masing-masing. Pada November 1946, misalnya, berdiri Sentral Organisasi Boeroeh Indonesia (SOBSI) yang didukung penuh oleh partai-partai koalisi pendukung Pemerintahan Sjahrir saat itu seperti Partai Sosialis, Pesindo, Barisan Tani dan PBI. SOBSI pada perkembangan politik Indonesia berikutnya memiliki keterkaitan yang erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada tahun 1951 melakukan comeback di panggung politik Indonesia di bawah kepemimpinan DN Aidit. Serikat buruh berikutnya yang memiliki afiliasi ke partai politik adalah Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) yang didirikan tahun 1948 oleh tokoh-tokoh Partai Masyumi. Berikutnya, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) juga memainkan peran kunci atas lahirnya Kesatoean Boeroeh Kerakjatan Indonesia (KBKI) pada tahun 1952. Partai politik berikutnya yang mendirikan serikat buruh adalah Partai Nadhlatul Ulama (Partai NU).

Didirikan pada 27 September 1955 di Pabrik Gula Tulangan Sidoarjo dengan nama Sarekat Buruh Muslimin Indonesia, Sarbumusi lahir sebagai respons para ulama terhadap dunia perburuhan di Indonesia, utamanya untuk memperjuangkan buruh Muslimin wa bil khusus buruh Nahdliyin. Faktor pendorong kuat berikutnya adalah konsolidasi buruh saat itu dipandang strategis bukan saja sebagai media konsolidasi gagasan parpol bagi kalangan buruh, tetapi juga sekaligus untuk mendulang suara di kalangan buruh. Faktor utama ketiga adalah Partai NU ingin menandingi dominasi pengaruh Sentral Organisasi Boeroeh Seloeroeh Indonesia (SOBSI) yang hingga pada pertengahan 1950-an diperkirakan mendominasi 60 persen dari total anggota serikat buruh di Indonesia atau lebih dari 2,6 juta.

Sarbumusi: Dari Santri untuk Gerakan Buruh Dunia

Sejak kelahirannya, Sarbumusi berhasil mendapatkan sambutan positif dari kalangan buruh. Sekalipun berafiliasi pada kelompok politik Islam, dalam perkembangannya Sarbumusi tidak saja memperjuangkan kepentingan buruh Islam. Perkembangannya yang masih pada era 60-an telah menjadikannya sebagai gerakan buruh inklusif yang tidak saja berkontribusi pada arah gerakan buruh di Indonesia, melainkan juga memainkan peran penting dalam isu-isu strategis kebangsaan. Dalam masalah keamanan misalnya, Sarbumusi bersama-sama serikat buruh lainnya seperti KBKI, SOBSI, GASBIINDO, GOSII dan SOBRI membentuk Sekretariat Bersama yang salah satunya adalah untuk merespons perebutan Irian Barat. Sarbumusi juga tercatat sebagai salah satu gerakan buruh yang kritis terhadap pemerintahan Orde Baru yang masih tetap mempertahankan beberapa gaya Pemerintahan Orde Lama terkait dengan kebijakan perburuhan nasional seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang dilakukan oleh beberapa perusahaan milik Negara. Sarbumusi juga menjadi pengkritik berat atas beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru yang merugikan buruh seperti pelarangan pemogokan massal.

Peran Sarbumusi saat itu tentu tidak bisa dipisahkan oleh haluan PBNU yang dipimpin oleh Subhan ZE. Tidak saja melakukan konsolidasi di dalam negeri melalui pengorganisiran, forum-forum perburuhan hingga aksi mogok, serta penerbitan publikasi perburuhan yang bernama “Berkala Sarbumusi”. Tabloid Berkala Sarbumusi ini bahkan memuat banyak sekali artikel-artikel penting mengenai posisi Sarbumusi bukan saja di gerakan perburuhan nasional melainkan juga di regional dan internasional.

Dalam perkembangannya, Sarbumusi tidak saja menjadi salah satu Serikat Buruh besar dan berpengaruh di Indonesia, peran politik perburuhan Sarbumusi dikancah internasional saat itu pun sangat diperhitungkan. Kulminasinya, pada tahun 1950an Sarbumusi bersama GASBIINDO menjadi inisiator berdirinya sebuah konfederasi serikat buruh dunia yang bernama International Confederation of Free Trade Union (ICFTU) seiring dengan segregasi gerakan buruh dunia kedalam dua kelompok besar di masa perang dingin, yakni gerakan buruh yang berafiliasi ke komunis dan gerakan buruh non-komunis. Saat itu, ICFTU tercatat sebagai salah satu Konfederasi Buruh yang dominan di dunia. ICFTU inilah yang pada tahun 2006 bersama-sama dengan the World Confederation of Labour (WCL) melebur dan bertransformasi menjadi International Trade Union Confederation (ITUC). ITUC inilah yang setiap tahunnya mewakili buruh di forum tertinggi perburuhan dunia, yakni International Labour Conference yang digelah setiap bulan Juni di Genewa, Swiss.

Seiring dengan kebijakan unifikasi semua gerakan sosial dan politik oleh Rejim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, gerakan Sarbumusi pun dipaksa mati oleh penguasa Orde Baru. Sarbumusi menjadi kontributor yang sangat penting bagi Partai NU di Pemilu 1971, sehingga NU berhasil menjadi pesaing utama Golkar. Tidak mengherankan, Sarbumusi saja saat itu beranggotakan lebih dari 2,5 juta buruh!

Pemerintah Orde Baru pasca Pemilu 1971 langsung berbenah untuk memperkuat determinasi politiknya. Salah satunya adalah mengeluarkan tiga kebijakan di sektor perburuhan. Salah satunya adalah pemaksaan wadah tunggal bagi gerakan buruh. Kebijakan ini tentu mendapatkan pertentangan yang besar-besaran, termasuk dari Sarbumusi. Sebagai realisasi dari kebijakan tersebut, pada 20 Februari 1973 didirikan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). 12 tahun kemudian FSBI bertransformasi menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

Kebijakan wadah tunggal ini sejalan dengan kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan ekonomi dan stabilitas pertumbuhan sebagai panglima. Dampaknya bisa ditebak, SPSI sebagai wadah tunggal buruh di Indonesia secara meyakinkan menunjukkan keberpihakannya kepada pemerintah dan kepentingan modal. Sampai awal 90-an, SPSI tetap dominan menjadi satu-satunya organisasi buruh yang direstui oleh pemerintah. Sisanya mati suri, bahkan banyak yang mati permanen karena sikap represif Soeharto terhadap gerakan apapun yang tidak direstui pemerintah.

Pasca Reformasi: Ikhtiar Kebangkitan Sarbumusi

Tumbangnya rejim otoriarian Orde Baru telah menumbuhkan kembali organisasi-organisasi yang sebelumnya dimatikan oleh Soeharto, bahkan banyak tumbuh organisasi baru yang sebelumnya tidak perna ada. Sarbumusi tentu ingin memanfaatkan momentum tersebut. Ini tidak terlepas dari pemerintah pasca reformasi yang pada tahun 1998 meratifikasi Konvensi 87 ILO mengenai Kebebasan Berserikat.

Kini organisasi tersebut sedang berbenah sembari berikhtiar menemukan kembali momentum kejayaannya. Beranggotakan lebih dari 150 ribu buruh yang tersebut di 8 Federasi di 9 Provinsi dan 212 kabupaten/kota, Sarbumusi beberapa waktu lalu telah bertransformasi dari Federasi menjadi Konfederasi serikat buruh. Menurut saya, transormasi menjadi Konfederasi ini tentu menyertakan beberapa implikasi yang harus dijawab oleh Konfederasi Sarbumusi kedepannya.

Pertama, Sarbumusi harus melakukan konsolidasi di basis secara terstruktur dan massif. Saat ini diperkirakan anggota Jamiyyah Nahdlatul Ulama lebih dari 60 juta jiwa. Bila 20 jita jiwa diantaranya menyandang profesi buruh, maka angka 150 ribu anggota tentu masih jauh panggang dari api. Saat ini Konfederasi Sarbumusi tersebut di 385 basis, tentu ini harus terus dikembangkan di masa-masa mendatang. Salah satu indikator keberhasilan Sarbumusi adalah seberapa banyak Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang bisa dibuat di masa-masa mendatang. PKB ini sangat penting untuk memastikan perlindungan terhadap anggotanya di tingkat pabrik/perusahaan.

Kedua, Sarbumusi sebagai Konfederasi dan sekaligus sebagai perwakilan dari Indonesia yang menginisiasi berdirinya konfederasi tingkat dunia ICFTU (yang sekarang menjadi ITUC) harus segera membenahi pergaulan internasionalnya bersama gerakan buruh lainnya di dunia. Salah satunya, Sarbumusi perlu untuk mendapatkan keanggotaannya kembali di ITUC. Keterlibatan di ITUC ini sangat penting dan strategis mengingat ITUC-lah yang setiap tahun mewakili suara buruh dunia di Sidang Perburuhan di ILO Genewa yang biasanya melahirkan Konvensi dan Rekomendasi penting dan mengikat bagi dunia ketenagakerjaan. Saat ini ada 2 konfederasi serikat buruh Indonesia yang menjadi anggota ITUC, yakni Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI). Sarbumusi harus membangun komunikasi konstruktif dengan keduanya untuk mendapatkan dukungan keanggotaan di ITUC.

Ketiga, Sarbumusi sebagai serikat buruh berbasis NU, harus merefleksikan kepentingan persebaran profesi kaum nahdliyin. Berbeda dengan serikat buruh kebanyakan yang lebih fokus pada sekctor formal seperti pabrik dan industry, Sarbumusi hendaknya juga memberikan perhatian yang lebih kepada mereka yang berada di sector informal. Harus diakui, nahdliyin selama ini identik dengan masyarakat kelas bawah, sebagian besar mereka terlibat di informal economy. Sebagai organisasi yang anggotanya berkarakteristikkan kaum bawah, kita patut bersyukur saat ini Konfederasi Sarbumusi memiliki Federasi khusus untuk Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Tetapi kita tentu, juga ingin Konfederasi ini memperhatikan pekerja informal lain seperti buruh rumahan (home workers) yang mendapatkan pekerjaan borongan dari industry sementara mereka menanggung sebagian faktor produksi dengan biaya sendiri, atau pekerja rumah tangga (PRT) yang hingga kini belum mendapat perlindungan hukum padahal PRT merupakan salah satu pekerjaan paling purba. Kita juga ingin melihat bagaimana organisasi mengorganisir kaum nelayan, petani, buruh tambang, atau buruh harian lepas yang benar-benar minim perlindungan hukum maupun jaminan mata pencaharian.

Keempat, Sarbumusi harus bisa melepaskan dirinya dari kepentingan politik Parpol. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat organisasi induknya, NU, saat ini juga sudah kembali menjadi organisasi kemasyarakatan (Ormas). Berbeda dengan NU ketika Sarbumusi didirikan tahun 1955. Kita tentu gembira saat ini ada beberapa aktivis Sarbumusi yang tercatat aktif di beberapa Partai Politik, dan sebagian besar lainnya tidak partisan. Kondisi ini perlu dipertahankan. Perjuangan buruh memang butuh afirmasi politik, tetapi menyalurkan kanal politik tentu tidak bisa dibatasi pada satu atau dua partai politik.

Kelima, Sarbumusi perlu terus berbenah dan menguatkan kepasitas gerakannya untuk merespons perkembangan ekonomi dunia dan tata pola hubungan kerjanya. Saat ini, misalnya, bagaimana Sarbumusi perlu memberikan perhatian kepada pola kerja baru, bukan saja di dunia industri yang memiliki hubungan industrial. Kita bangga ketika Sarbumusi sebagai sebuah konfederasi baru-baru ini gagah dan istiqamah dalam memperjuangkan PHK sepihak yang dilakukan oleh Cevron Indonesia yang akan mem-PKH 1.500 karyawannya. Sarbumusi tercatat sebagai Serikat Buruh terakhir yang bertahan menolak kebijakan PHK di Chevron Riau, di saat serikat buruh lainnya di perusahaan tersebut menyerah. Tetapi, bagaiamanakah sikap Sarbumusi terhadap hubungan kerja pola kemitraan seperti di sektor transportasi (baik yang konvensional seperti taksi, maupun yang berbasis aplikasi) yang beberapa waktu lalu menimbulkan gejolak?

Semoga Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) yang kebetulan sedang melaksanakan hajatan tertingginya dalam Kongres Akbar ke-V tanggal 29 April-1 Mei ini bisa menemukan jatidirinya, untuk mengembalikan kejayaan di masa lalu ketika sebelum dimatikan oleh rejim Orde Baru. Pengurus Sarbumusi saat ini memiliki hutang kepada para pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dan pendiri Sarbumusi, untuk mengkibarkan tegak panji keadilan dalam dunia ekonomi baru.

Selamat berkongres, selamat Hari Buruh Sedunia!

Penulis adalah pengurus Departemen Pendidikan dan Ketenagakerjaan Pimpinan Pusat GP Ansor