Opini

Satu Abad NU, Bayang-bayang Stunting pada Nahdliyin

Rab, 11 Januari 2023 | 20:30 WIB

Satu Abad NU, Bayang-bayang Stunting pada Nahdliyin

Perhatian terhadap stunting pada warga NU tidak bisa hanya berbentuk kekhawatiran semata sambil menyampaikan imbauan untuk menjaga kualitas hidup. (Ilustrasi: NU Online/Freepik)

Nahdlatul Ulama akan memasuki usia Satu Abad. Pada 7 Februari 2023 mendatang, puncak peringatan Satu Abad NU akan ditandai dengan peringatan akbar yang diselenggarakan di Stadion Delta Sidoarjo, Jawa Timur yang berpotensi dihadiri jutaan warga NU. Sebagai warga NU, tentu kita patut berbahagia dengan masuknya organisasi ini ke Abad Kedua. Sebab berusia satu abad bukan pekerjaan mudah.


Ini merupakan hasil dari kerja konsisten semua kalangan bersama-sama selama seratus tahun terakhir. Belum lagi dampak yang dilahirkan NU pada bangsa dan agama yang juga tak sedikit. Oleh karenanya kita harus berbangga dengan ini. Namun kebahagiaan dalam menyambut Abad kedua ini juga harus dibarengi dengan sejumlah refleksi atas capaian dan tantangan NU ke depan.


Salah satu tantangan NU dalam menghadapi satu abad adalah dengan memastikan bahwa warga NU (Nahdliyin) di masa depan siap menjadi penerus kita. Pada titik ini, ada satu ancaman yang cukup serius, yakni memastikan kader NU masa depan memiliki kesiapan jasmani dan rohani. Pasalnya, pada tahun 2021 prevalensi stunting di Indonesia adalah 24,4 persen (stunting.go.id, 2022). Artinya, sekitar satu dari empat anak Indonesia mengalami gagal tumbuh maksimal akibat kekurangan gizi kronis. 


Anak yang stunting ini bisa jadi merupakan anak dari warga NU. Kesimpulan ini bukan klaim. Sebab jika dilihat dari peta sebarannya, stunting di Indonesia beririsan erat dengan kantong warga NU. Sebut saja lima (5) provinsi dengan jumlah balita stunting terbanyak, yaitu (1) Jawa Barat; (2) Jawa Timur; (3) Jawa Tengah; (4) Sumatera Utara dan (5) Banten.


Walaupun belum ada data yang menyebut demografi warga NU, namun sekilas dapat kita lihat bahwa sebagian besar dari wilayah ini adalah kantong terbesar warga NU. Empat dari lima provinsi di atas; Jawa Timur, Jawa Tengah Barat, Jawa Barat, dan Banten merupakan provinsi yang banyak warga NU-nya. Di provinsi tersebut, pesantren, sekolah, hingga langgar ngaji yang terafiliasi baik langsung maupun tidak dengan NU bercokol subur hingga ke desa-desa. Artinya, besar kemungkinan bahwa sebagian besar dari anak stunting di provinsi tersebut adalah anak NU. 


Nah, kondisi ini harus menjadi perhatian serius oleh kita semua. Sebab dampak stunting pada anak sangat besar. Anak yang stunting berpotensi tidak tumbuh secara maksimal baik fisik dan kognitifnya, sehingga berpotensi mengganggu kecerdasan dan kelak masa depannya. Perhatian kita pada generasi NU masa mendatang harus konkret dan langsung menjangkau masyarakat NU.


Perhatian kita terhadap stunting pada warga NU tidak bisa hanya berbentuk kekhawatiran semata sambil menyampaikan imbauan untuk menjaga kualitas hidup. Perhatian kita sebaiknya berbentuk aksi nyata dengan terlibat dalam program penanganan stunting yang multi-stakeholder.


Keterlibatan NU dalam program stunting memiliki peluang besar, mengingat stunting adalah agenda nasional yang dikerjakan dari level pusat hingga desa. Program ini ditopang oleh Perpres 72/2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting dan Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting (RAN PASTI). Selain itu penyelenggara program juga multi-stakeholder, mulai dari Wakil Presiden sebagai Ketua Dewan Pengarah dan Kepala BKKBN sebagai ketua pelaksana.


Penyelenggara dan pendekatan strukturalnya juga banyak, mulai dari Sekretariat Wakil Presiden, Kementerian Kesehatan, Kementerian Desa, Kementerian PUPR, Kementerian Agama dan kementerian dan lembaga lain. Belum lagi pemerintah dari level provinsi, kabupaten/kota, hingga desa yang memiliki tim yang bekerja untuk penurunan stunting. Ini adalah peluang besar bagi warga NU untuk terlibat dalam program demi warganya di masa depan tak stunting.


Oleh karena itu, sangat penting bagi pengurus dan warga NU untuk memastikan bahwa keluarga NU menjadi sasaran dari program penurunan stunting. Rencana ini sebenarnya sudah dilaksanakan PBNU yang telah menandatangani nota kesepahaman dengan Kementerian Kesehatan yang dilakukan langsung oleh Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf dan Menkes Budi Gunadi Sadikin akhir tahun lalu.


Walaupun belum berbentuk sebuah program intervensi secara langsung, namun setidaknya dapat menjadi contoh bagi komunitas NU yang lain untuk menapaki langkah yang sama. Pengurus wilayah dan kabupaten/kota juga perlu mendesain kerja sama di level masing-masing, baik dengan pemerintah langsung, Tim Percepatan Penurunan Stunting, BKKBN, atau Dinas terkait lain di level pemerintahan yang relevan. 


Walhasil, dengan merancang program percepatan penurunan stunting untuk warga NU, kita berharap agar warga NU yang akan lahir dan meneruskan perjuangan dan pengabdian untuk bangsa dan agama merupakan warga dengan fisik dan intelektualitas yang baik. Sebab bagaimanapun, kader yang tumbuh sehat dan cerdas akan lebih mudah membawa organisasi ke arah yang lebih baik dalam memasuki abad kedua.


Semangat ini relevan pula dari sisi pemerintah. Keterlibatan NU bisa menjadi tenaga baru untuk menggenjot kesuksesan program stunting yang prevalensinya akan turun hingga 14 persen pada tahun 2024 yang akan sulit tercapai tanpa keterlibatan kelompok keagamaan sebesar NU.


Ahmad Rozali, Pengurus LTN PBNU