Opini

Selat Malaka dan Agenda Militer Amerika di Asia Tenggara

Kam, 14 Juni 2007 | 06:38 WIB

Hendrajit

Indonesia akhirnya sadar juga bahwa Selat Malaka memang akan menjadi ajang pertarungan beberapa negara adidaya khususnya di kawasan Asia Tenggara. Belum lama ini, Minggu  3 Juni lalu, Menteri Pertahanan RI Juwono Sudarsono, entah apa perhitungan politis dan strategis yang ada di benaknya, di depan para pejabat tinggi Departemen Pertahanan 26 Negara, meminta bantuan Jepang, Cina, dan Korea Selatan untuk mengamankan Selat Malaka yang sangat vital bagi dunia.

Desakan Juwono dalam Dialog Pertahanan Asia Pasifik di Singapore tersebut terus terung merupakan peristiwa yang cukup menarik, apalagi juga dihadiri oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates.<>

Sebab dalam politik global Amerika, terutama dalam beberapa tahun teraklhir, berusaha untuk memperkuat pengaruhnya di kawsan Asia Pasifik dan Asia Tenggara dengan meningkatkan kehadiran jumlah pasukan militernya.  Dalih yang digunakan sebagai pembenaran kehadiran pasukan militernya adalah untuk memerangi perompakan/Piracy (bajak laut) dan terorisme.

Namun pada perkembangannya, strategi Bush ternyata tidak cukup berhasil, sehingga Amerika merubah strateginya dengan mengontrol situasi di Selat Malaka. Beberapa waktu berselang, di Kuala Lumpur-Malayasia Kepala Staf Angkatan Laut Amerika Serikat di Samudera Pasifik Admiral Timothy J. Keating mengungkapkan tentang rencana  Amerika untuk mengontrol Selat Malaka dari sebelah utara. Dan untuk mendukung rencana strategis tersebut, Keating sempat mengusulkan agar menggunakan pesawat mata-mata tanpa awak Global Hawk.

Bahkan pada tingkatan lebih lanjut, Amerika juga mengajukan beberapa inisiatif mengenai perlunya program pelatihan militer bersama di kawasan seputar Selat Malaka. Agenda tersembunyi Amerika kiranya cukup jelas, bagaimana agar program ini sepenuhnya berada dalam kendali Amerika. Jika kita cermati, program-program pelatihan bersama atau kerjasama militer yang sejenis, memang bisa dimanfaatkan sebagai ajang operasi intelijen Amerika dalam memetakan kekuatan angkatan laut Indonesia baik kekuatan dan kapasitas personil maupun peralatan, serta gambaran mengenai lokasi geografis.

Apalagi ketika lokasi geografis yang dimaksud adalah Selat Malaka. Selat Malaka selama ini tidak saja dikenal sebagai Sea Lines of Trade(SLOT) dan Sea Lines of Communication(SLOC), juga dipandang sebagai jalur strategis proyeksi Armada Laut negara-negara maritime besar dalam rangka forward presence dan global engagement ke seluruh dunia.

Kepadatan lalu-lintas alur pelayaran ini ditandai tingginya intensitas perdagangan global Selat Malaka, dan apabila terjadi interdiksi atas perairan ini, maka dampak negatif luar biasa yang akan dirasakan secara global adalah instabilitas perekonomian dunia.

Bisa dimengerti memang mengingat selama ini seluruh kegiatan eskpor dan impor internasional mengandalkan laut sebagai jalan raya/jalur perdagangan, sumber makanan, dan sumber mineral. Maka dari itu, bagi Amerika maupun Jepang dan Cina, sebagaimana yang uga secara tersirat diutarakan oleh Menhan Juwono, Selat Malaka sebaai SLOT dan SLOC dewasa ini sudah dianggap sebagai ajang kepentingan setiap negara di dunia yang harus diamankan.

Betapa tidak. Selat yang melewati tiga negara itu(Indonesia-Malaysia-Singapore), sudah menjadi rahasia umum bahwa tanker-tanker Cina selalu melintasi Selat Malaka dalam perjalanan mereka membawa minyak dari Timur Tengah. Karena itu dalam perspektif kepentingan Cina, selat ini harus aman dari segala gangguan yang bisa menghalanginya untuk mensuplai energi dari Cina. Sebab itu masuk akal jika Juwono mengundang partisipasi dan inisiatif Cina dalam pengamanan Selat Malaka.

Dalam perhitungan Menhan RI yang juga dikenal sebagai pakar studi hubungan internasional itu, dengan mengundang Cina untuk berpartisipasi berarti terbuka kemungkinan untuk menciptakan keseimbangan keamanan regional baru di kawasan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka.

Sebab dalam perspektif lain, yaitu dari sisi kepentingan strategis Amerika dalam menguasai dan mengontrol kawsasan Asia Tenggara secara militer, sejak awal menyadari betul jika Selat Maolaka merupakan urat nadi Cina. Maka, dalam konstalasi yang kian menajamnya persaingan Amerika-Cina dalam beberapa tahun ke depan, menguasai Selat Malaka merupakan langkah strategis Amerika menjinakkan Cina di kawasan Asia Tenggara. Itu pula sebabnya gagasan membentuk persekutuan militer di Asia Tenggara yang berada dalam kendali Amerika, nampaknya merupakan agenda strategis Amerika. Namun hingga saat ini, Indonesia dan Malaysia belum ada tanda-tanda menyetujui pakta militer semacam itu.

Kembali ke upaya Amerika menguasai Selat Malaka melalui kehadiran militernya, upaya untuk mengembangkan opini bahwa Selat Malaka tidak aman gara-gara terorisme dan perompakan, nampaknya memang cukup gencar.

Dalam beberapa waktu yang lalu, Pusat Pelaporan Perompakan Internasional (International Maritime Bureau-IMB), sempat merilis data insiden perompakan di perairan seluruh dunia untuk periode Januari-Maret 2007. Menurut laporan IMB, perairan Indonesia masih termasuk ranking paling tinggi dari segi ketidakamanan seperti  adanya sembilan insiden berstatus armed theft atau pencurian bersenjata.

Dalam laporan IMB, Perairan di Selat Malaka, Balongan, Belawan dan Tanjung Priok adalah wilayah perompakan. Bahkan IMB, memasukkan Selat Malaka dalam kategori the most dangerous water atau wilayah hitam.

Wajar saja jika kita beranggapan bahwa laporan dan kesimpulan IMB ini bisa dijadikan alasan pembenar bagi otoritas pertahanan dan keamanan nasional Amerika untuk meningkatkan jumlah personil dan kewaspadaan militernya di kawasan tersebut.

Tentu saja dalam menanggapi laporan IMB tersebut, TNI Angkatan Laut RI menganggap IMB terlalu membesar-besarkan angka perompakan, apalagi jika terkait dengan keinginan negara-negara besar untuk ikut campur dalam pengamanan Selat Malaka. Bahkan Menhan Juwono kabarnya sudah bertindak lebih jauh lagi, dengan berniat melayangkan protes kepada IMB. Juwono beranggapan publikasi IMB dimaksudkan untuk memperlemah citra dan daya saing kekuatan TNI Angkatan Laut dalam menjaga perairannya.

Tapi ya itu tadi. Untuk menguasai secara militer Selat Malaka, Amerika dan kekuatan-kekuatan global di negara-negara maju, sepertinya tidak punya cara lain kecuali pengembangan opini bahwa Selat Malaka dan perairan laut Indonesia sekitarnya dalam keadaan tidak aman gara-gara meningkatkan perompakan dan terorirsme. Padahal, yang namanya armed theft sebenarnya masih bisa diperdebatkan lagi kebenarannya apakah sudah bisa dikategorikan sebagai perompakakan, apalagi aksi terorisme.

Tapi Amerika nampaknya menyadari betul bahwa Selat Malaka saat ini tergolong jalur tersibuk di dunia yang mengangkut 11 juta barel minyak dan 30 persen nilai perdagangan dunia terpusat di Selat Malaka.

Bisa dimengerti juga mengapa Juwono pun merasa perlu mengundang Jepang dalam keikutsertaannya mengamankan Selat Malaka. Disamping termasuk negara kaya di Asia seperti Cina, Jepang pun ternyata 80 persen kebutuhan minyaknya diangkut melalui selat tersebut.

Menghadapi ambisi Amerika menguasai Selat Malaka dan kawasan Asia Tenggara secara militer, Jepang dan Cina nampaknya tidak tinggal diam. Menurut informasi mereka berdua tengah memperluas dan memperkuat jangkauan maritime mereka agar mempunyai kemampuan lebih besar untuk mempengaruhi keamanan di sejumlah rute laut melalui mana suplai energi mereka lewat.

Rencana Amerika Mengontrol ASEAN

Strategi Amerika mengontrol ASEAN dalam menentukan arah kebijakan dan prioritas pertahanan nampaknya dilakukan secara bertahap. Dan tujuan terakhirnya adalah memiliki kendali penuh terhadap tentara-tentara Negara ASEAN, terutama Malaysia, Filipina dan Thailand.  Dan sasaran utama Amerika dalam pengendalian tentara ASEAN adalah dengan mengontrol dan mempengaruhi  Angkatan Laut.

Salah satu celah yang bisa digunakan Amerika adalah melalui kerjasama pertahanan yang ditandatangani baru-baru ini dalam satu paket dengan perjanjian esktradisi. Melalui kesepakatan bertajuk Defense Coperation Agreement (DCA) dan Military Training Area(MTA), kedua negara menyepakati untuk menyediakan wilayahnya untuk latihan militer.

Berarti, secara teknis Singapore diperbolehkan mengadakan latihan militer maupun menyimpan persenjataannya di wilayah RI.

Lucunya, Presiden SBY tidak mau belajar dari sejarah ketika Indonesia membekukan program MTA pada 2003 karena Singapore dianggap sering melakukan pelanggaran di wilayah Indonesia. Bukan itu saja. Bahkan dalam setiap latihan militer, seringkali mengikutsertakan pihak ketiga seperti Amerika Serikat dan Australia. Dan celakanya, dalam poin perjanjian tersebut, pihak ketiga seperti Amerika atau Israel diperbolehkan untuk ikut berlatih perang di Indonesia.

Berarti, perjanjian pertahanan Amerika melalui DCA maupun MTA ini, sebenarnya rawan terhadap adanya infiltrasi dan penetrasi intelijen pihak Amerika maupun kepentingan negara-negara besar lainnya. Karena dengan adanya program pelatihan bersama, baik para pihak yang ikut dalam pelatihan militer maupun pihak ketiga yang diundang ikut serta, praktis akan memiliki akses informasi mengenai kondisi kemiliteran kita baik dari segi kekuatan personil, kemampuan peralatan militer dan juga lokasi geografis. Disamping fakta bahwa melalui kesepkatan DCA dan MTA ini Singapore telah menyediakan dirinya untuk menjadi  satelit Amerika dalam melayani kepentingan negara Paman Sam.

Satu hal lagi yang perlu menjadi catatan kita semua. Jangan-jangan doktrin Jenderal Mac Arthur pada perang dunia masih berlaku hingga sekarang sebagai acuan Amerika dalam menyusun strategi menguasai Indonesia secara geostrategis maupun geopolitik.

Waktu itu Mac Arthur sempat membelah Indonesia menjadi tiga,yaitu kawasan timur yang akan dikuasai  Amerika dan digabung dengan Australia dan Filipina. Kawasan Barat akan digabungkan dengan negara-negara persemakmuran seperti Malaysia dan Singapore. Dan terakhir Pulau Jawa yang menurut rencana akan dijadikan ajang operasi intelijen menggantikan peran strategis Singapore.

Beberapa Implikasi Serius

Jika situasi ini semakin berkepanjangan, maka situasi di kawasan Asia Tenggara akan semakin tegang, dan ini bisa membawa dampak pada ketegangan di bidang ekonomi, perdagangan dan pasar modal. Sehingga akan tercipta situasi dan kondisi yang tidak aman di kawasan Asia Tenggara, yang pada perkembangannya bisa menjalar ke kawasan Asia Pasifik.

Rekomendasi Menhan RI Juwono Sudarsono untuk mengundang serta Cina, Jepang dan Korea Selatan, harus dibaca sebagai upaya untuk menciptakan keseimbangan politik dan keamanan regional dengan mengakomodasikan kepentingan strategis Amerika, Cina dan Jepang yang semakin menajam.

Dampak lain yang perlu diperhatikan adalah, kemungkinan meningkatnya radikalisme dari kelompok-kelompok Islam garis keras yang sebenarnya berskala kecil dan minoritas, namun seakan bisa membesar karena adanya provokasi kehadiran militer Amerika di kawasan ini. Bahkan juga bisa memicu manajamnya radikalisasi kelompok Islam yang tidak puas dengan politik Amerika seperti di Timur Tengah, Afghanistan, dan sebagainya.

Bahkan separatisme di Filipina Selatan dan Thailand Selatan pun bisa saja berkobar kembali dengan dalih sebagai reaksi nasionalistik terhadap arogansi dan ambisi imperium Amerika.

Namun terlepas dari itu, ada suatu kecenderungan baru yang terlihat dalam Dialog Pertahanan Asia Pasifik 3 Juni lalu. Bahwa pada umumnya negara-negara Asia bersepakat dan sepaham bahwa Cina tidak dianggap sebagai ancaman serius secara militer sebagaimana menjadi kekhawatiran Amerika Serikat dan Jepang, kecuali sekadar sebagai tantangan di bidang ekonomi dan perdagangan.

Apapun alasan dan pertimbangannya, mau tida mau sikap ini bisa dibaca sebagai adanya solidaritas ke-asiaan(The Spirit of Asianess) di sebagian besar negara-negara Asia. Minimal mereka memulai dengan adanya satu pandangan dan penilaian bahwa Cina saat ini bukanlah ancaman serius bagi Asia, kecuali Jepang yang hingga kini masih terikat persekutuan militer dan keamanan dengan Amerika.   

Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Institute(IFI).