Opini

Sisi Kemanusiaan Ibadah Haji

Kam, 8 Agustus 2019 | 07:00 WIB

Sisi Kemanusiaan Ibadah Haji

Foto Haji Kemenag

Oleh Warsa Suwarsa
 
Tidak semua Muslim bisa menunaikan ibadah haji. Bukan hanya orang Indonesia, kaum Muslimin yang tinggal di Saudia Arabia saja belum tentu dapat menunaikan ibadah haji secara keseluruhan.
 
Ada orang yang memandang, itulah alasan kenapa ibadah haji merupakan panggilangan langsung dari Allah, yang lain lagi menyebutkan sebagai undangan dari Tuhan. Bisa saja orang biasa, secara kasat mata dia tidak mungkin dapat memenuhi biaya pelaksanaan ibadah haji namun toh dia berangkat ke Mekah juga. Sebaliknya, tidak sedikit orang kaya dan mampu membayar biaya haji namun sama sekali sampai tahun ini belum berangkat ke Mekahjuga, bahkan mendaftar dan menabung ONH saja tidak terpikir sama sekali. 
 
Pandangan orang tentang hal di atas dapat saja benar. Namun yang paling hakiki dari kenyataan dan realitas kehidupan ini, saya tetap berpegang tegung pada pandangan bahwa hidup memang selalu diliputi oleh misteri. Pada sisi lain, hidup memang absurd, dan manusia hebat adalah manusia yang dapat larut dan melawan abrusditas dalam kehidupan tersebut. 
 
Islam memandang –bahkan jika kita telaah ayat-ayat di dalam al-Quran- ibadah haji merupakan salah satu ibadah yang melintasi dimensi-dimensi realitas. Haji merupakan jenis ubudiyah dengan corak multi dimensi, dipenuhi oleh berbagai simbol yang dapat saja ditafsirkan melalui pendekatan syariat, tarekat, dan hakikat. Ayat-ayat al-Quran tentangnya juga dapat saja ditakwilkan dengan berbagai sudut pandang.
 
Adanya alternatif dalam menakwilkan dan banyaknya simbol dalam haji mengunguhkan betapa mudahnya Islam ini diterapkan oleh umat dengan pendekatan-pendekatan yang tidak kaku. Banyak sekali hadits yang menjelaskan varian kebaikan jika dilakukan oleh kita ekses yang ditimbulkannya memiliki makna dan kebaikan yang sebanding dengan pelaksanaan ibadah haji. Orang-orang yang tinggal di Indonesia dan belum memiliki kekuatan –terutama finansial – tetapi dia bersikap baik dan menolong tetangga, teman, lebih hebat lagi berbakti kepada kedua orangtua, kebaikan-kebaikan tersebut sebanding dengan kita menunaikan ibadah haji.
 
Haji dalam perspektif ahli syariat dapat saja hanya sebatas penyelenggaraan ritual-ritual yang telah dipraktikkan selama proses manasik sebelum para jamaah berangkat ke Mekah. Sementara itu, menurut Nasarudin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal, haji dalam perspektif ahli hakikat lebih dalam lagi. Dalam perspektif hakikat, haji tidak sekadar mengamalkan rukun-syarat disertai penghayatan mendalam. Namun, mereka memaknai ritualitas haji dan umrah sarat dengan peristiwa simbolis. Karena itu, kelompok ini mungkin tidak berbeda dengan cara pengamalan Jamaah haji lain, tetapi pemaknaan terhadap simbol-simbol hajinya yang berbeda (Nasarudin Umar: 2019).
 
Di antara kita mungkin pernah mendengat kisah-kisah orang hebat, para wali, para ajengan yang dapat pergi dan menunaikan shalat Jum’at langsung ke Mekah. Dapat dibayangkan, untuk berangkat ke Mekah pada awal abad ke 20 saja orang Indonesia memerlukan waktu selama enam bulan dalam satu kali keberangkatan. Lantas ada orang yang mengatakan, dia menunaikan shalat Jum’at langsung di Mekah pada hari dia menceritakan pengalamannya tersebut. Narasi seperti ini tentu saja merupakan takwil yang harus dibuka secara rasional. 
 
Dalam pandangan para ahli hakikat hal tersebut merupakan fenomena yang dapat saja terjadi, karena secara hakikat Kabah dan Masjidil Haram ini terletak pada hati sanubari manusia, rumah Tuhan merupakan simbol tempat terpancarnya kebaikan, yaitu hati. Dalam hati inilah seluruh nilai kebaikan mengendap, ia merupakan sebongkah batu yang dapat dicium aroma kebaikannya, sumber kejujuran sejati yang tidak akan pernah berdusta. Oleh para ahli hakikat, ibadah haji diartikan hadirnya kebaikan dalam setiap aktivitas, itulah arti haji mabrur, haji yang memancarkan segala kebaikan.
 
Simbol lain dan sangat penting dalam pelaksanaan haji adalah kemanusiaan. Manusia diharuskan melepaskan segala atribut yang menempel dalam diri, secara syariat tentu saja pakaian yang kita kenakan sehari-hari harus diganti dengan kain ihrom, tanpa jahitan, cukup dibalutkan. Kaum perempuan pun harus melakukan hal yang sama mengenakan kain ihrom yang dapat saja tiba-tiba terbuka, atau jika terlalu ketat akan memperlihatkan lekuk tubuh, dengan kata lain mengundang birahi. Dalam ibadah haji itulah angkara, egoisme, dan birahi dileburkan. 
 
Secara hakikat, bagi umat Islam yang belum dapat menunaikan ibadah haji ke Mekah, simbol-simbol tersebut dapat ditakwilkan dengan menghilangkan ashobiyyah, kesukuan, dan merasa identitas entis atau chauvisnisme kita lebih unggul dari entis dan ras lain. Mengedepatkan kemanusian dalam keseharian, memandang setiap orang meskipun berbeda keyakinan, etnis, bahasa, buda, dan suku bangsa tetap merupakan manusia, sama dengan kita. Dalam konsep kemanusian tidak lagi dikenal aku dan dia, atau kita dan mereka, ia telah melebur menjadi kami sebagai manusia.
 
Fasisme yang pernah meradang di era Kekaisaran Romawi dan dibangkitkan kembali oleh Nazi sebetulnya bukan hendak menempatkan manusia pada landasan kemanusian melainkan untuk menempatkan manusia pada ketuhanan. Manusia yang tetap lemah, memiliki varian berbeda, ras berbeda, dan kemampuan berbeda dipaksa oleh fasisme, naziisme menjadi tuhan yang serba sempurna. Hitler tentu saja memiliki pandangan tentang manusia sempurna ini atas ide ubermench-nya Nietzsche, ras manusia super, ras Aria. Ras yang pernah tampil sebagai penguasa sejarah di muka bumi, sapiens yang telah berhasil melakukan evolusi ke tingkat manusia unggul dibandingkan ras-ras lainnya. Ras yang telah melahirkan Julius Caesar di Romawi, Rostam Farrokhzād atau Rustum di Persia, Vikramanditya di India, dan Hitler di Jerman. Pandangan ini tentu saja tidak sejalan dengan kenyataan hidup yang plural, multi etnis, dan heterogen. 
 
Manusia haji tidak akan penah bercengkerama dengan rasisme seperti di atas, bahkan untuk mengakui dirinya sebagai manusia super atau unggul pun akan dibatasi oleh ketawadluan, sikap rendah hati. Perang dan pertumpahan darah lebih banyak terjadi baik dilandasi oleh motivasi harta atau keagamaan ketika sekelompok manusia lebih memunculkan identitas SARA kepada pihak lain. 
 
Masih banyak simbol lain dalam haji  yang memerlukan penakwilan secara komprehensif agar ritual-ritual dan setiap ubudiyah dalam Islam ini dapat dilakukan oleh umat Islam secara utuh dan berbagai sudut pandang. Itulah makna yang tersirat bahwa Islam merupakan agama yang mudah dan tidak memberatkan. Sebab pengabdian kepada Allah bukan perlombaan angkat berat atau beban yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang mampu dan kuat secara fisik. Pengabdian kepada Allah merupakan kewajiban asasi setiap manusia.
 
 
Penulis adalah guru di MTs-MA Riyadlul Jannah, Staf Wakil Wali Kota Sukabumi