Opini

Sistem Kaderisasi KH Ali Maksum

Rab, 13 Mei 2015 | 04:05 WIB

Muhammadun* Kaderisasi dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU) selalu menjadi perbincangan yang menarik. Menjelang muktamar ke-33, perbincangan soal kader terkait dengan status PMII. Entahlah, masuk dalam struktur atau di luar, itu waktu yang akan menjawab. Tunggu saja dalam muktamar di Jombang, 1-5 Agustus mendatang.
<>
Yang mesti dipahami bersama adalah bagaimana kaderisasi yang dibangun dalam NU? Banyak pendapat bisa disuguhkan. Salah satu yang memberi inspirasi dalam melakukan proses kaderisasi adalah almarhum KH Ali Maksum, Pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta, Rais Aam PBNU 1981-1984.

Lahir di Lasem, 2 Maret 1915 Ali muda dikenal cerdas dan kutu buku, apapun buku dibaca. Gurunya, Syekh Dimyati Tremas sama sekali tidak khawatir dengan berbagai bacaan Ali muda, tahu bahwa sang murid sudah kuat pondasi ilmunya. Kiai Munawir AF, santri Kiai Ali yang sekarang menjadi Mustasyar PWNU DIY, bersaksi bahwa Kiai Ali ketika membaca tulisan Arab jauh lebih cepat dari pada tulisan Latin.

“Karena bersentuhan dengan berbagai literatur klasik dan moderat, putra Mbah Maksum Lasem, salah satu pendiri NU, menjadi kiai moderat, toleran dan mengayomi,” tambah KH A Malik Madany, salah satu santrinya yang kini menjadi Katib Aam PBNU.

Dalam konteks PMII, Kiai Ali Maksum mempersilahkan santrinya mendirikan Komisariat PMII di Pesantren Krapyak. Bukan hanya berdiskusi dan berdebat, santrinya yang di PMII mempunyai wadah bernama Kodama (Korp Dakwah Mahasiswa), yang selalu terjun di masyarakat memberikan pengajian. Masjid dan musola dipenuhi santri PMII Krapyak, sehingga PMII bukan saja hadir dalam diskusi (juga demonstrasi), tetapi kesehariannya justru hadir di masjid, musolla, dan majlis taklim. Fakta ini sangat penting dipahami bersama di tengah tarik ulur PMII dan NU.

Apa yang dijalankan Kiai Ali Maksum, menemukan gerak yang selaras dengan Bung Karno, sang proklamator. Pekik suara Bung Karno sangat menggelegar: “berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Pernyataan Bung Karno ini sangat menyanyat hati. Berkobar dan mendebarkan. Penuh semangat dan gairah menatap masa depan.

Kaderisasi yang Efektif
Kiai Ali dikenal mempunyai sistem dan strategi yang sangat efektif dalam melakukan kaderisasi. Ini yang mesti dipelajari bersama, karena kaderisasi seringkali mandek karena mungkin saja yang dilakukan salah sistem dan strateginya. Kaderisasi sendiri itu apa menurut Kiai Ali?

A.Zuhdi Muhdlor (2013), salah satu santrinya yang menulis biografinya menjelaskan bahwa Kiai Ali itu mewajibkan adanya kaderisasi dalam semua hal umat Islam, termasuk NU. Bahkan, beliau mengibaratkan pentingnya kaderisasi itu sama pentingnya dengan salat sunah rawatib yang muakkad. Jadi, kalau orang itu hanya melakukan shalat wajib (fardhu), tidak memiliki salat sunah, ya, salatnya banyak kekurangan, banyak bolong-bolong. Karena salat sunah itu ‘kan yang akan menyempurnakan.

“Sama dengan tataran sosial atau organisasi. Jika orang yang tidak memperhatikan kaderisasi, hanya dia sendiri yang ingin selalu “jadi”, itu diibaratkan dengan orang yang tidak pernah menganggap penting salat sunah rawatib,” tegas Zuhdi yang saat ini menjadi Wakil Ketua PWNU DI Yogyakarta.

Kaderisasi ini dibuktikan Kiai Ali ketika beliau datang ke Krapyak, tahun 1943. Tahun 1941, Kiai Munawwir, pendiri pesantren wafat, sehingga kondisi pesantren sempat menurun. Apa yang beliau lakukan pertama kali di Krapyak ?

Zuhdi melanjutkan bahwa yang dilakukan Kiai Ali adalah membuat kader kiai. Kalau tidak salah, selama mendidik kader sekitar dua atau tiga tahun, beliau tidak menerima santri. Kalau toh ada satu atau dua orang diterima, tapi sosialisasi dan yang lain itu belum. Jadi, beliau konsentrasi selama dua atau tiga tahun itu untuk mengkader putra-putra Mbah Kiai Munawwir agar dia bisa diandalkan dan memiliki ilmu yang kuat.

Kemudian dididiklah anak-anak kecil itu. Lahirlah anak-anak itu menjadi ulama’ yang hebat, seperti Kiai Zainal, Kiai Warson, Kiai Dalhar, dan lainnya. Kiai-kiai ini bersama kiai lainnya kemudian menjadi ulama’ yang bukan saja mumpuni, tetapi juga mencetak sejarah besar. Kiai Warsun, misalnya, menulis Kamus Al-Munawwir yang sampai saat ini menjadi kamus pegangan utama dalam kajian Islam. Kiai Zainal banyak menulis kitab-kitab fiqh.

Lalau resep apa alias sistem dan strategi apa yang digunakan Kiai Ali?

Kiai Munawir AF, salah satu santrinya yang menulis kamus, menjelaskan bahwa sistem kaderisasi Kiai Ali adalah sorogan. Sorogan adalah sistem belajar dengan "nyorog", maju secara individu kehadapan Ustadz/Kiai. Kiai Ali menyelenggarakan "sorogan" ini sesuai dengan kapasitas santrinya. Karena sorogan ini juga, Kiai Ali hafal nama semua santrinya. Ribuan saat itu santrinya.

Ada santri yang tingkat Tsanawi, 'Aly, Takhassus. Umumnya diambilkan dari santri yang betul-betul dititipkan orangtuanya kepada beliau. Kiai Ali juga meminta guru-guru senior untuk adik-adik di bawahnya. Nyatanya mereka yang "nyorog" kepada Kiai Ali umumnya mereka berhasil.

“Memang sorogan membawa manfaat sangat besar. Lebih dari itu, dalam sorogan ada semangat, kesungguhan, percaya diri, dan kasih sayang.” Tegas Kiai Munawir.

Selain sistem sorogan, lanjut Kiai Munawir, Kiai Ali juga pintar mengolah santri menjadi santri yang berkualitas. Sebagaimana layaknya seorang manajer, Kiai Ali pandai memanfaatkan guru yang tamat dari Madrasah Aliyah, untuk mengajar di Madrasah Ibtidaiyah. Sudah tentu dengan aplikasi khusus. Kemudian menaikkan guru-guru yunior yang dipandang cakap untuk mengajar di Tsanawiyah. Dan guru-guru yang mengajar di Tsanawiyah di tingkatkan lagi ke Madrasah Aliyah. Jadi, guru-guru dengan secara otomatis dapat meningkatkan jenjangnya manakala ia mau mengkualitaskan dirinya.

“Tinggal Kiai Ali memolesnya dengan sorogan-sorogan khusus guru, dan atau dengan pengajian-pengajian khusus guru, dengan kitab-kitab kuning yang belum pernah dikaji di Tsanawiyah atau Aliyah. Yang lebih cerdas lagi, Kiai Ali menugaskan guru-guru senior untuk menjawab masalah-masalah yang diperolehnya dari pengajian di kampung-kampung atau luar daerah yang nantinya beliau tinggal menambah hujjah-hujjah yang diperlukan. Kadang malah beliau mengarah : ‘cari di Muhadzdzab cung...! Cari di Mughni cung...! cari di Majmu' cung...! dan hal ini sekaligus meningkatkan kualitas setara kiai kampung.” Lanjut Kiai Munawir yang sampai saat ini masih rajin menulis.

Sementara Kiai Afif Muhammad (2012), cucu Kiai Ali menjelaskan bahwa Simbah Kiai Ali banyak turun ke bawah sehingga ketika ada santri yang bolos tidak sorogan, beliau tahu dan kemudian memanggilnya. Santri yang tidak ngaji sorogan tersebut kemudian diberi sanksi, misalnya ikut kerja bakti, memijat, dan membersihkan lingkungan sekitar pondok.

“Dari sinilah Mbah Ali mengakrabi santri. Karena itu, aura pribadi Mbah Ali kemudian banyak yang turun kepada para santrinya.” Tegas Gus Afif, panggilan akrabnya.

“Saya saja yang saat itu masih kecil, merasa bahwa ada tanggung jawab bahwa saya pernah ngaji ke Mbah. Tentu tanggung jawab saya jangan memalukan guru, karena gurunya bukan orang sembarangan. Di sisi lain, santri akan cenderung untuk berbuat hal-hal yang sembodo (berkualitas) karena merasa menjadi santri Mbah Ali. Mbah Ali tidak menentukan kitab apa yang menjadi sorogan setiap santri. Mereka bebas memilih sendiri, kecuali kalau terlalu tinggi, Mbah Ali akan memberi referensi. Hal seperti ini juga mendidik agar santri berpikir kitab apa yang sesuai dengan kemampuan dirinya. Ini yang sekarang tidak terpikirkan,” lanjut Gus Afif.   

Strategi inilah yang digunakan Kiai Ali untuk mendidik KH Mustofa Bisri, almarhum KH Kholil Bisri, KH Said Aqil Siraj, KH Malik Madany, KH Aziz Masyhuri Denanyar, almarhum KH Masduqi Mahfudz, termasuk juga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).  

Dalam kesaksian Kiai Said Aqil Siraj, Kiai Ali mempunyai perpustakaan yang dibuka 24 jam buat santrinya. Dalam pintu masuk tertulis: “oleh diwoco, haram digowo” (boleh dibaca, haram dibawa). Perpustakaan yang berisi berbagai kitab klasik dan modern ini dibaca dengan lahap para santrinya. Disinilah ada kenikmatan ilmu pengetahuan yang disuguhkan Kiai Ali kepada santrinya.  

Kiai Ali juga tidak kerso (bersedia) untuk dipilih lagi menjadi Rais Aam pada Muktamar di Situbondo, 1984. Buat apa? Tentu saja karena ketawadluannya, juga karena prinsip Kiai Ali dalam melakukan kaderisasi. Kiai Ali menginginkan kader muda diberi “tempat” untuk memajukan NU. Lahirlah kemudian KH Ahmad Siddiq sebagai Rais Aam dan Gus Dur sebagai Ketua Umum.

Catatan untuk Muktamar ke-33
Apa yang sudah dilakukan Kiai Ali menjadi “PR” bagi NU dan pesantren dalam melakukan kaderisasi. Muktamar ke-33 NU di Jombang, 1-5 Agustus nanti menjadi refleksi serius masyarakat pesantren dan warga NU untuk melakukan kaderisasi. Jangan sampai Muktamar menjadi “pertarungan” antar kiai, karena yang mesti dilakukan NU adalah menciptakan kader yang siap untuk membangun peradaban Indonesia dan dunia berdasarkan nilai-nilai ke-NU-an yang sudah dibangun para ulama’ Nusantara.   

Muktamar adalah momentum sangat strategis untuk kembali menggaungkan semangat kaderisasi, karena saat ini NU mempunyai kader yang beragam (lintas batas). Kaderisasi harus dibangun untuk mengoptimalkan dan memaksimalkan kader yang ada hari ini dalam menjawab berbagai problem global. Juga memikirkan kader-kader ulama’ yang siap meneruskan perjuangan para ulama.

“NU lahir untuk memberi manfaat, bukan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi,” tegas KH Asyhari Abta, santri Kiai Ali yang sekarang menjadi Rais Syuriah PWNU DI Yogyakarta.


*Penulis aktif di Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU DIY, guru TPA Masjid Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul.