Opini

Stop RUU KUHP

Sen, 23 Juli 2018 | 19:00 WIB

Oleh: Roziqin

Perdebatan terkait RUU KUHP terus mengemuka di masyarakat sejak awal pembahasan hingga kini. Salah satu tema perdebatan adalah terkait dengan dimasukkannya tindak pidana khusus dalam RUU KUHP. Berbagai kalangan mulai dari akademisi, praktisi, aktivis, kompak menolaknya. Bahkan penegak hukum mulai dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnasham), Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai pelaksana aturan nantinya, tegas menolak dimasukkannya tindak pidana khusus dalam RUU KUHP tersebut. 

Perdebatan semakin luas ketika tindak pidana korupsi, yang merupakan extra ordinary crime, dan menjadi musuh sehari-hari masyarakat, juga masuk dalam RUU KUHP. Meski ditentang berbagai pihak, Pemerintah bersikukuh untuk terus melanjutkan revisi KUHP. Pemerintah beralasan hal tersebut dalam rangka kodifikasi atau pembukuan berbagai pengaturan tindak pidana dalam satu kesatuan. 

Namun demikian, penulis melihat setidaknya terdapat empat alasan untuk menolak masuknya tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP tersebut. Pertama, belum ada kejelasan politik hukum pemberantasan korupsi. Mengutip Mahfud MD, politik hukum adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak atau cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. 

Meski Pemerintah telah membuat strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi dan sejumlah inpres, namun di sisi lain, terdapat upaya sistematis dari berbagai pihak untuk terus mengurangi kewenangan KPK. Mulai dari kriminalisasi pimpinan dan pegawai, mempersoalkan penyadapan, judicial review UU KPK, permasalahan anggaran, dan pembatasan umur KPK. Bahkan hingga kini, pelaku kriminalisasi terhadap Novel Baswedan, salah satu penyidik KPK yang ditengarai sebagai teror terhadap KPK pun belum terungkap. Oleh karena itu, keluarnya rancangan KUHP yang memasukkan tindak pidana korupsi di dalamnya, langsung dibaca oleh masyarakat sebagai upaya perlawanan terhadap KPK dalam bentuk yang lain, setelah bentuk lainnya gagal.

Selain itu, argumen memasukkan tindak pidana korupsi dalam KUHP sebagai bagian upaya kodifikasi, agak janggal mengingat upaya kodifikasi KUHP sebenarnya sudah lama digagas. Tepatnya, saat digelarnya Seminar Hukum Nasional pertama di Semarang pada 1963. Namun untuk delik korupsi baru beberapa tahun belakangan dimasukkan dalam RUU KUHP, yang “kebetulan” terjadi di kala banyak anggota DPR ditangkap KPK. Oleh karena itu, wajar bila revisi KUHP dicurigai sebagai upaya pelemahan KPK.

Memang benar bahwa dalam RUU KUHP draft 9 Juli 2018 ada penegasan suatu perbuatan yang diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus hanya dijatuhi aturan pidana khusus sebagaimana dalam Pasal 137. Namun aturan tersebut tidak berarti apa-apa karena ada Pasal 673A yang mengatur batas keberlakuan UU yang bersifat khusus paling lama lima tahun. Artinya, sesudah itu, pemberantasan korupsi juga harus tunduk pada KUHP.

Kedua, kodifikasi KUHP terkesan dipaksakan. Pemerintah seolah lupa bahwa kodifikasi bukan suatu keharusan. Kodifikasi hanya dikenal pada sistem hukum Eropa kontinental (civil law), dan tidak dikenal pada sistem hukum Anglo Saxon. Di era modern seperti saat ini, dimana perkembangan hukum sangat dinamis, kodifikasi menjadi sulit dilakukan. Pemaksaan kodifikasi justru akan menghilangkan keluwesan hukum dalam mengatur perilaku masyarakat. Bahkan Undang-Undang yang mengatur tindak pidana khusus, pun sering tertinggal zaman. Apalagi bila dipaksakan dalam bentuk kodifikasi, yang menyulitkan bila diperlukan perubahan nantinya. 

Terlebih, kodifikasi pengaturan tindak pidana tidak memiliki nilai tambah di Indonesia. Pandangan sebagian kalangan bahwa KUHP menjadi semacam 'konstitusi' yang mengatur pokok-pokok tindak pidana, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU lain, adalah tidak tepat. Dalam sistem hukum di Indonesia, KUHP maupun UU tindak pidana khusus memiliki kedudukan yang sama. KUHP tidak lebih tinggi dari UU tindak pidana khusus, demikian pula sebaliknya. Dalam konteks demikian, mengatur tindak pidana korupsi dalam KUHP, menjadi hal yang sia-sia karena sudah diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat khusus.

Ketiga, revisi KUHP justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Esensi hukum sebenarnya adalah ada pada tugasnya untuk mengatur perilaku masyarakat. Untuk itu, diperlukan kepastian hukum dalam masyarakat. Kepastian hukum juga menjadi syarat pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 
Alih-alih mewujudkan kepastian hukum, RUU KUHP justru akan menimbulkan dualisme pengaturan tindak pidana korupsi yang akan membingungkan masyarakat dan penegak hukum. Dalam RUU KUHP draft 9 Juli 2018, masih terdapat bab khusus mengenai Tindak Pidana Korupsi, meski tindak pidana tersebut telah diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi).

Tim penyusun RUU KUHP berdalih bahwa RUU KUHP tersebut hanya mengatur core crime, serta tidak mengurangi kewenangan KPK dalam penegakan hukum dan tidak mengurangi keberlakuan UU Korupsi yang bersifat khusus. Namun demikian, ternyata hukuman yang diancamkan untuk pidana korupsi berbeda dalam antara UU Korupsi dan RUU KUHP.

Keempat, revisi KUHP akan menyenangkan koruptor. Hal ini karena RUU KUHP mengatur sanksi lebih rendah. Misalnya pidana untuk percobaan melakukan tindak pidana adalah 2/3 (dua per tiga) dari ancaman pidana pokok yang diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan, yang dalam UU Korupsi dianggap sama dengan tindak pidana yang sempurna. Dalam RUU KUHP juga dimungkinkan hakim tidak perlu menjatuhkan pidana penjara bia tidak ada korban, dan cukup denda saja, sesuatu yang bisa dimanfaatkan oleh para advokat koruptor. 

Semangat memperbaiki UU Korupsi dalam RUU KUHP sebagaimana didalilkan oleh Tim Penyusun RUU KUHP, juga belum terlihat. Hal ini misalnya terlihat dari RUU KUHP, yang mengancam denda minimal hanya sebatas Kategori II (Rp10 juta). Denda maksimal untuk korupsi pun sebatas kategori VI, masih sama dengan UU Korupsi sebesar Rp1 milyar. Penyusun seolah lupa bahwa nominal tersebut relatif besar saat ditetapkan pada tahun 1999, namun menjadi relatif kecil bila dirumuskan sekarang. 

Akhir pekan kemarin, terjadi penangkapan Kepala Lapas Sukamiskin dan penyuapnya oleh KPK. Lapas Sukamiskin adalah Lapas khusus untuk pelaku korupsi. Masyarakat mungkin berpikir para koruptor akan jera bila dipenjara. Sayang, ternyata dari berbagai laporan, temuan dan dikonfirmasi dari penangkapan KPK, diketahui bahwa koruptor masih bisa menikmati fasilitas mewah dan bersenang-senang setelah dipenjara. Bila RUU KUHP terus dipaksakan seperti saat ini, bisa jadi, calon koruptor akan tambah senang dan semakin bercita-cita meniru jejak pendahulu mereka. 

Penangkapan Kepala Lapas Sukamiskin sebenarnya bukan merupakan berita yang mengejutkan, karena perbuatan ini sudah menjadi rahasia umum di Lapas. Pembenahan yang berkelanjutan dan terintegrasi antar lambaga penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi menjadi PR yang harus segera diselesaikan. Bila berniat memberantas korupsi, mari stop RUU KUHP yang terkait pengaturan tindak pidana korupsi.

Penulis adalah peneliti pada Pusat Pendidikan dan Kajian Antikorupsi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia).