Opini

Tafsir Salah Kaprah

Ahad, 13 Agustus 2017 | 08:03 WIB

Tafsir Salah Kaprah

Ilustrasi (serze.com).

Saya teringat sebuah novel dengan judul To Kill a Mockingbird karya Harper Lee, tokoh dalam novel tersebut bernama Miss Maudie bertutur, “Kadang-kadang, Al-Kitab (dan kitab suci agama apapun) di tangan seseorang lebih buruk, daripada botol wiski di tangan orang lain.”
 
Kalimat tersebut bukan berarti menghina kitab suci dan mengagungkan wiski (minuman keras) melainkan nada nyinyir semata. Ada dua argumen, Pertama, Kitab suci yang disalah artikan penafsirannya sehingga agama bukan menjadi rahmat, dan Kedua, Kitab suci hanya dijadikan pegangan bukan pedoman. Kedua argumen tersebut mempunyai korelasi yang saling bersautan. 
 
Agama manapun adalah rahmat bagi seluruh alam, agama tentu mengajarkan kebaikan, keadilan, dan kesantunan. Praksisnya ada oknum-oknum yang membuat agama nampak garang. Kejadian di Myanmar, di mana umat Islam Rohingya diberangus oleh kelompok Buddha Ortodok, dan di Indonesia sendiri sentimen gesekan agama mulai nampak di permukaan. Dibarengi dengan isu ISIS yang selalu mengahantui. Ini membuktikan agama menjadi alat pertentangan yang strategis, dengan mengobral firman-firman Tuhan/ayat-ayat Tuhan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
 
Negara belum berani membendung hal tersebut. Dilemanya adalah dua unsur besar dibenturkan, seakan-akan agama berlawanan dengan negara dan negara berlawanan dengan agama. Tidak jauh-jauh kita ambil contoh, kasus bendera merah-putih yang bertuliskan La ilaha Illallah—sempat menjadi isu yang seksi dan pertentangan oleh banyak kalangan.
 
Mengapa gerakan atas nama agama mudah mendapatkan ekspresinya dan modus pelaksanaannya? Karena janji kebahagian di surga, janji mengenai penguasa baik dan berkuasanya kebaikan, inilah jubah ideologis yang penafsirannya harus diluruskan.  
Berangkat dari hal tersebut, isu terhangatnya ialah menjamurnya kelompok anti-NKRI dan anti-Pancasila. Gerakannya cukup masif, terutama di kampus-kampus. Dan bagi pandangan saya gerakan ini harus segera dibendung aktivitasnya. Namun sampai sekarang pemerintah belum berani untuk mengambil tindakan tegas, padahal telah pasti kelompok tersebut melakukan aktivitas makar.
 
Di mana kelompok tersebut ingin merubah sistem negara kita kepada sistem negara Islam (daulah Islamiyah). Baru saja saya membaca surat edaran dari Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, beliau menginstruksikan agar seluruh elemen kampus harap tidak bergabung atau berpartisipasi dalam gerakan tersebut. Seharusnya sikap ini tumbuh juga secara nasional.
 
Tafsir salah kaprah
 
Kata Al-Qur’an Nabi Muhammad Saw diutus tidak lain untuk membawakan amanat persaudaraan dalam kehidupan (Al-Anbiya [21]: 107), jelas visi budayanyanya adalah persaudaraan, bukan pertentangan, apalagi perpecahan. Dalam model lain Allah SWT menggambarkan, serulah dengan bijaksana. 
 
Konsep agama seperti ini yang harus disemarakan bukan konsep agama yang ditafsirkan pada kekerasan semata. Dalil-dalil jihad dicomot sebagai alat untuk pertentangan agama, ayat memilih pemimpin yang bukan dari golongannya dicatut untuk memuluskan aksi politik. Tentu, ini bukan wajah agama sebenarnya, karena sejatinya agama itu menyenangkan dan teduh (jika ditafsirkan secara operasional). 
 
Agama menjadi kacau karena penafsirannya normatif tidak filososfis dan teoritis. Meminjam bahasa Kuntowijoyo seharusnya Dalil agama sebagai grand theory harus ditafsirkan pada tingkatan yang operasional, bukan pada pertentangan normatif belaka. 
 
Selain itu penafsiran tentang negara Islam tentu salah kaprah. Menurut Gus Dur, pengertian negara dari kata “daulah”, yang tidak dikenal oleh al-Qur’an. Dalam hal ini, kata tersebut mempunyai arti lain, yaitu “berputar” atau “beredar”, yaitu dalam ayat “agar harta yang terkumpul itu tidak berputar dan beredar antara orang-orang kaya saja di lingkungan anda semua” (Al-Hasyr [59]: 7). 
 
Dalam konteks kebudayaan juga, negara Islam tidak tepat, negara Islam adalah basis ideologi, teori Radiasi Budaya Arnold Toynbee mengatakan, aspek budaya yang di tanah asalnya tidak berbahaya akan menjadi berbahaya di tempat yang baru didatangi. Melihat bentang sejarah Indonesia dulu hingga kini, tentu bertolak belakang. 
 
Jalan tengah
 
Transformasi sistem berketuhanan kita yang harus dibenahi. Karena dewasa ini sistem teologi agama yang berkembang nampaknya tidak cukup relevan memberikan jawaban terhadap permasalah-permasalah kemanusiaan. Dengan demikian, sistem berketuhanan harus dipahami sebagai ajaran yang menambah nilai guna, guna spiritual, guna emosional, guna sosial, guna kultural, dan guna intelektual. Tidak hanya sebatas tataran seremonial atau formal belaka.
 
Transformasi menuju masyarakat yang damai dan menyenangkan di Indonesia seharusnya dipahami juga sebagai urusan penting, kita tidak bisa menunggu proses natural (bim sala bim). Kita membutuhkan peran pemerintah/negara, guru bangsa, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan semua elemen warga, memberikan pemahaman untuh tentang arti nasionalisme, arti kesatuan, dan arti keharmonisan.
 
Dan kita semua sepakat bahwa kita tidak mau membawa NKRI ini pada permasalahan disintegrasi. Dengan demikian konsistensi (istiqomah) dalam merawat bangsa harus ditumbuhkan demi pembangunan manusia paripurna. 
 
Aswab Mahasin, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.