Opini

Tanpa Tebuireng Boleh Jadi Tak Ada NKRI

Sel, 25 Juli 2017 | 14:50 WIB

Oleh Ibnu Abdurrahman

Mungkin ada yang menertawakan tajuk atau judul tulisan ini. Bahkan, menebar sinisme dan sarkasme. Karena dianggap mengada-ada, melebih-lebihkan dan glorifikasi Tebuireng belaka. Padahal, munculnya sikap nyinyir ihwal berdirnya pesantren Tebuireng dalam pentas sejarah Indonesia, lantaran ketakjujuran penulisan sejarah selama ini. Sejarah telah dikaburkan, ditutup-tutupi, dan sengaja dihilangkan.

Serupa, sebagaimana eksistensi dan peran pesantren yang dipotong oleh Belanda. Kelak, sebagaimana yang terbukti secara empiris keberadaan pesantren justru mencerminkan eksedusnya kaum santri ke pedalaman, desa atau pinggiran kota. Pesantren tumbuh dan berkembang di lingkungan “rural society”.

Kalau saja Belanda tidak menghalau dan kondisinya berlangsung normal, barangkali kita bisa menyaksikan pesantren-pesantren besar yang kini berada di daerah pedesaan atau pinggiran kota, keberadaan pesantren bertebaran di lingkungan kota.

Bisa dimengerti, jika jalannya sejarah pesantren berlangsung linier, maka universitas yang kondang dan menjadi impian masyarakat untuk studi adalah Universitas Tebuireng, Universitas Tremas, Universitas Krapyak dan lainnya yang berdiri di pusat-pusat kota. Bukannya perguruan yang saat ini dikenal seperti Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, dan lainnya.

Bukankah “teori pesantren” sebagaimana dinarasikan di depan memiliki bukti yang kuat dan terjadi di mancanegara. Sebutlah misalnya, Universitas Harvard yang justru cikal bakalnya bermula dari model pendidikan sejenis pesantren dan didirikan oleh pendeta Harvard. Perguruan tinggi pemegang rekor dalam menghasilkan elit penting di Amerika Serikat semula melulu mempunyai orientasi pendidikan keagamaan dan kemudian berkembang menjadi perguruan tinggi ternama di dunia.

Kendati pesantren tak berdiri di lingkungan pusat kota, ternyata ada blessing in disguise atau hikmah yang menyembul di balik itu. Balutan ilmu keagamaan, integritas, kemandirian dan watak nasionalistik (hubbul wathan) justru sangat kental di kalangan santri dan alumni pesantren.

Di sini pertanyaan penting yang patut diajukan, mungkinkah kemerdekaan Indonesia bisa dipertahankan jika tidak muncul kebulatan tekad ulama, santri dan pesantren yang dipelopori hadratus syaikh yang kemudian melahirkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945? Terlepas kelak, tercium ada yang hendak menghapus peran Tebuireng yang historis itu dan bahkan hingga kini setengah hati sejarawan menuliskan peristiwa sejarah itu.

Padahal, kondisi seputaran pra 10 November 1945, tokoh elit nasional dibekap oleh keletihan dan kebingungan yang luar biasa menghadapi berlabuhnya kembali tentara sekutu di Indonesia. Konsolidasi baru merangkak dan suka cita atas kemerdekaan baru dirasakan, bumi pertiwi kembali dalam bahaya penjajahan. Soekarno dan Soedirman menaruh harapan besar atas peran Kiai Hasyim Asy’ari.

Ekspektasi kapada hadratusy syekh dijawab kontan dengan mengkonsolidir ulama, santri dan pesantren. Buahnya adalah : Resolusi Jihad. Bagai suntikan energi yang luar biasa. Pelecut dan pemantik nasionalisme santri. Kekuatan teologis dan pembenar kesyahidan jika bertaruh nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Wujudnya, heroisme pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Satu lagi, perseteruan atau konflik antara kalangan nasionalis Islam dan nasionalis Pancasila bahkan nyaris mengalami jalan buntu dan NKRI diambang perpecahan jika tak tampil KH Wahid Hasyim. Dengan visi yang tajam dan kepiawaian mendekati kedua kubu yang vis a vis, ketegangan keduanya mampu dicairkan.

Agaknya, Indonesia tanpa kehadiran dan perpanjangan tangan Tebuireng, boleh jadi kita tidak mendapatkan NKRI. Tetapi tercabik-cabiknya Indonesia dan menjadi negara yang terpecah-pecah, misalnya Negara Bali, Negara Sulawesi, Negara Jayapura dan seterusnya. Tentu saja, sulit menepis dan benar belaka adanya Tebuireng bagian penting Indonesia. Bukti sejarah ini mestinya tak menjadi beban bagi Ikapete (Ikatan  Alumni Pesantren Tebuireng), justru seharusnya memompa motivasi berperan strategis. Ikapete memiliki modal historis yang luar biasa dan seharusnya mengaliri semangat dan kiprahnya. Selamat ber-Munas V Ikapete!

Penulis adalah alumni Pesantren Tebuireng yang kini berdomisili di Jawa Tengah