Opini MOCHAMAD SYAMSIRO*

Teknologi Gasifikasi Biomassa untuk Kebutuhan Energi di Pesantren

Sen, 23 September 2013 | 00:02 WIB

Indonesia sebagai negara tropis mempunyai kekayaan yang melimpah akan bahan baku biomassa. Tanaman yang bisa tumbuh sepanjang tahun menjadikan Indonesia memiliki potensi besar akan sumber biomassa ini.
<>
Di satu sisi persoalan energi yang pasti akan dihadapi oleh seluruh negara-negara di dunia adalah semakin menipisnya cadangan energi yang ada, tetapi di sisi lain terjadi peningkatan yang cukup signifikan akan konsumsi energi seiring pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi. Sehingga perlu untuk segera dikembangkan energi dari sumber-sumber non konvensional, tidak hanya mengandalkan minyak, tetapi juga mulai memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan termasuk di dalamnya adalah biomassa.

Yang termasuk bahan-bahan biomasa meliputi kayu, limbah pertanian/perkebunan/hutan, komponen organik dari industri dan rumah tangga. Biomassa dikonversi menjadi energi dalam bentuk bahan bakar cair, gas, panas, dan listrik. Teknologi konversi biomassa menjadi bahan bakar padat, cair dan gas, antara lain teknologi pirolisis, esterifikasi, teknologi fermentasi, anaerobik digester (biogas). Dan teknologi konversi biomassa menjadi energi panas yang kemudian dapat diubah menjadi energi mekanis dan listrik, antara lain teknologi pembakaran dan gasifikasi. 

Nahdlatul Ulama sebagai lembaga ormas Islam yang cukup identik dengan kalangan santri dan pondok pesantren tentunya bisa mengambil peranan yang lebih signifikan dalam pengembangan teknologi pemanfaatan energi dari biomassa ini, khususnya teknologi gasifikasi. Banyaknya pondok pesantren yang umumnya berlokasi di daerah pedesaan dengan ratusan bahkan ribuan santrinya tentunya menjadi keuntungan tersendiri mengingat lokasinya yang berdekatan dengan sumber biomassa tersebut yang berada di pedesaan. 

Sumber-sumber biomassa yang sudah diketahui masyarakat secara luas seperti sekam dan jerami padi, ampas tebu, limbah gergajian kayu, dan masih banyak lagi berada sangat dekat dengan keberadaan pondok pesantren. Dengan memanfaatkan teknologi gasifikasi maka bisa dihasilkan listrik yang dapat mensuplai kebutuhan warga pondok pesantren, khususnya mungkin pondok pesantren yang belum mendapat pasokan listrik atau sudah mendapatkan listrik tetapi seringkali harus mengalami pemadaman. Bagi yang sudah cukup tersedia listrik, maka pemanfaatan termal untuk kebutuhan memasak sebagai pengganti kompor misalnya, juga bisa jadi alternatif yang cukup bermanfaat.

Pengertian dari gasifikasi sendiri adalah proses konversi secara termal bahan bakar padat seperti batubara dan biomassa menjadi bahan bakar gas. Pada proses gasifikasi ini, biomassa dibakar dengan udara terbatas, sehingga gas yang dihasilkan sebagian besar mengandung hidrogen, karbonmonoksida, dan metana. Gas-gas tersebut kemudian direaksikan lagi dengan oksigen (diperoleh dari udara) sehingga dihasilkan panas dari pembakaran tersebut. 

Keuntungan proses gasifikasi ini adalah dapat digunakannya biomassa yang mempunyai nilai kalor relatif rendah dan kadar air yang cukup tinggi. Efisiensi yang dapat dicapai dengan teknologi gasifikasi sekitar 30-40%, lebih tinggi dari teknologi pembakaran biasa. Beberapa metode gasifikasi telah dikembangkan seperti unggun tetap (fixed bed) dan fluidisasi (fluidized bed). Tipe unggun tetap ada dua jenis yaitu updraft dan downdraft. Pada tipe updraft aliran biomassa dari atas ke bawah sedangkan udaranya dari bawah ke atas, sedangkan tipe downdraft aliran biomassa dan udara dari atas ke bawah. Pada tipe fluidized bed ada dua jenis yaitu bubling fluidized bed (BFB) dan circulating fluidized bed (CFB). Beberapa faktor akan berpengaruh terhadap proses gasifikasi biomassa diantaranya: kandungan energi, kadar air, dimensi dan bentuk, distribusi dimensi, dan temperatur reaksi.

Salah satu desain kompor gasifikasi biomassa adalah tungku/kompor Belonio. Kompor jenis ini telah diadopsi dan dikembangkan di Jurusan Teknik Mesin Universitas Janabadra Yogyakarta. Kompor ini merupakan dari hasil rancangan Alexsis Belonio yang berkewarganegaraan Filipina. Kompor ini dapat menggunakan sekam padi sebagai bahan bakarnya. Kompor ini terdiri dari beberapa bagian yaitu burner, reaktor gasifikasi, penampung abu, dan blower/kipas.

Fungsi blower untuk mensuplai udara ke dalam reaktor. Proses gasifikasi terjadi di dalam reaktor, kemudian gas yang dihasilkan dibakar di burner. Pada bagian ini terdapat lubang-lubang udara sebagai suplai tambahan untuk proses pembakaran. Karena tidak semua sekam terbakar, artinya ada abu yang tersisa, maka pada bagian bawah diberi penampung abu. Lamanya kompor ini berkerja tergantung dari ukuran reaktor sebagai wadah bahan bakarnya. Hasil pembakaran dengan kompor ini relatif bersih dan apinya berwarna biru. Hasil pengujian menggunakan bahan bakar lain seperti kayu, briket dan arang kayu juga memberikan hasil yang sama baiknya.

Nah sudah saatnya tungku-tungku semacam ini menggantikan tungku tradisional dan kompor yang menggunakan bahan bakar fosil, sehingga akan mengurangi ketergantungan kita pada energi yang tidak dapat diperbarui serta meminimalkan polusi yang dihasilkan dan tentunya memberikan dampak positif bagi kesehatan para penggunanya. Disamping itu, masyarakat kelas menengah ke atas pun dapat menggunakannya karena faktor kebersihan dan kesehatan. Jadi, paling tidak kita bisa ikut berperan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil dan menyelamatkan generasi yang akan datang akan kelangkaan energi.


* Mochamad Syamsiro, Wakil Ketua Tanfidziyah PCI NU Jepang dan mahasiswa Doktoral di Tokyo Institute of Technology, Jepang

Foto: Skema pemanfaatan teknologi gasifikasi untuk menghasilkan listrik