Opini

Tradisi Lokal Keagamaan di Bumi Cirebon

Sab, 10 September 2016 | 02:01 WIB

Oleh: Mohamad Ramdhany
Budaya adalah cipta rasa karsa manusia yang terbentuk dalam setiap daerah. Budaya akan terus berkembang karena mengakomodir banyak hal dimulai dari kehidupan sosial masyrakat yang hidup di daerah tersebut maupun budaya baru yang datang dan bersosialisasi bersama dalam satu daerah.

Dalam perkembangannya budaya Cirebon sangat kental dipengaruhi oleh agama Islam sehingga melahirkan adat yang dijaga oleh masyarakat Cirebon. Berbagai praktik ritual adat di Cirebon dipahami sebagai warisan turun temurun dari para leluhur sehingga pantas untuk dilestarikan dan dijaga. Beberapa adat yang masih bisa disaksikan di Cirebon yaitu; Suroan, Saparan, Mauludan, Rajaban, Ruwahan, Syawalan, Slametan, Khitanan, pernikahan, kematian dan lain sebagainya.

Suroan adalah salah satu adat yang dilakukan masyarakat Cirebon pada saat bulan asyura. Kata suro sendiri merupakan kata yang berasal dari kata suro dalam bahasa jawa kuno (kawi) berarti ‘raksasa’ dalam bahasa sansekerta berarti ‘dewa’ atau ‘dewi’. Dalam prakteknya, memang agak sulit untuk menghubungkan arti keduanya dengan konteks adat yang dilakukan.

Adat membiasakan pembuatan bubur suro untuk peringatan suroan menghubungkan kemuliaan bulan asyura sebagai wujud syukur kepada Tuhan. Pada bulan yang mulia ini banyak sekali peristiwa sejarah yang terjadi. Diatanranya persitiwa diterimanya taubat nabi Adam dan hawa oleh Allah, diselamatkannya nabi Nuh dan para pengikutnya setelah terombang-ambing lama dengan perahunnya di tengah laut lepas, pertama kalinya nabi Musa mendapat wahyu di gunung Sinai, dibebaskannya nabi Yusuf dari penjara atas tuduhan asusila terhadap Zulaikha.

Dalam sejarah Cirebon Walangsusang putra pertama Prabu Siliwangi pergi meninggalkan kerajaan juga terjadi pada bulan Asyura. Walangsungsang mengembara mencari ilmu hingga bertemu dengan Syaikh Datu Kahfi yang menuntunnya masuk Islam. Dari sinilah akhirnya masyarakat Cirebon mengadakan adat Suroan dengan membuat bubur sura dan dibagi bagikan kepada yang membutuhkan.

Tradisi lain yang hidup di masyarakat Cirebon adalah Saparan. Yakni adat yang dilakukan masyarakat Cirebon untuk memperingati  bulan shafar, bulan kedua dalam kalender Islam dan Jawa. Mereka mempercayai bahwa pada bulan shafar ini Allah memberikan banyak ujian dan cobaan baik berupa kecelakaan, kematian, kemal angan bencana dan kerugian. Dalam memperingati bulan tersebut, masyarakat mengadakan saparan dengan mengadakan ngapem, proses pembuatan apem untuk dibagikan kepada saudara, kerabat dekat, tetangga, dan orang-orang yang berada di sekitar rumah dengan niatan bershodaqoh.

Tradisi yang kedua yaitu ngirap; proses ngirap sendiri yaitu berhubungan dengan penyucian diri dari segala macam salah dan dosa dengan bertaubat agar terhindar dari marabahaya. Dan yang terakhir yakni rebo wekasan, adat rebo wekasan biasanya dimulai dari ba’da isya sampai menjelang shubuh di mana serombongan antara sempat sampai sepuluh orang laki-laki membaca Al-Qur’an di tajug (mushala) kemudian berkeliling desa dari rumah ke rumah untuk mendoakan rumah yang dikunjungi dan biasanya pihak rumah memberikan sedekah berupa apa saja pada mereka yang datang.

Tradisi lain yang hidup di Cirebon adalah Mauludan. Biasanya dilakukan pada saat bulan Mulud (Rabiul awwal). Adat ini diniatkan untuk memperingati hari kelahiran nabi Muhammad. Puncak dari mauludan yakni panjang jimat yang diadakan keraton Kasepuhan Cirebon. Tujuannya untuk menjaga keberadaan alat-alat pusaka yang dimiliki keratin. Sesuai dengan namanya, adat ini juga bertujuan untuk panjang (tiada henti) jimat (siji kang dirumat). Jadi proses adat panjang jimat ini merupakan simbol kepedulian untuk mempertahankan sepanjang hayat atau tanpa henti dari kalimat syahadat atau agama Islam.

Tradisi berikutnya adalah Rajaban. Tradisi ini dilakukan bertepatan dengan bulan Rajab. Masyarakat Cirebon memperingatinya dengan berkumpul bersama di mushala atau masjid kemudian membacakan diba’i atau asyraqalan. Asyraqalan yaitu proses pembacaan shalawat pujian kepada nabi Muhammad dengan berdiri.

Di setiap tradisi adat ini masyarakat Cirebon menilainya sebagai ritual tambahan di luar rukun Islam yang dijalankan oleh kaum muslim sebagai syiar agama. Dengan demikian, ritual tambahan ini bukan termasuk ibadah dalam pengertian sempit. Sebagian upacara adat ini tak dapat dipungkiri merupakan hasil kreasi kebudayaan yang diciptakan oleh umat muslim sendiri, sementara sebagian lain tidak jelas asalnya tapi semuanya bernuansa islami.

Dalam membaca budaya dan adat Cirebon tentu tidak hanya terbatas pada adat istiadat yang berlaku dan dijalankan oleh masyarakatnya. Perlu juga kiranya melihat bagaimana kepercayaan masyarakat Cirebon terhadap Tuhan sehingga mereka dapat melahirkan adat yang bernuansa religi baik dari segi kemanfaatan atau dari segi proses upacara adat tersebut.

Bagi masyarakat Cirebon, orang suci atau wali yang notabene membangun dan menjaga  budaya di Cirebon memiliki penilaian yang tersendiri. Masyarakat Cirebon sangat menghormati bahkan memuliakan mereka baik sebagai wali maupun sebagai pendiri kerajaan. Sehingga banyak sekali tempat-tempat wali atau leluhur yang berpengaruh di Cirebon dijadikan tempat keramat yang biasa diziarahi baik dari masyarakat Cirebon ataupun dari luar Cirebon. Termasuk di dalamnya pesantren yang merupakan poros kuat dalam proses penyebaran tradisi keagamaan semua ini saling menopang antara pemerintahan dan juga tradisi keagamaan yang dimiliki masyarakat Cirebon.


Mohamad Ramdhany, peneliti Farabi Institute, Kandidat Magister Sejarah Islam Nusantara STAINU Jakarta