Opini AMIRUL ULUM*

Transmisi Silsilah Keilmuan di Pesantren

Kam, 5 September 2013 | 03:01 WIB

Saat menapakkan kaki di kota Sarang (salah satu kecamatan di Kabupaten Rembang), kita akan menemukan bagaimana keindahan sisa-sisa peninggalan ulama kuno yang masih dilestarikan. Bait-bait dari syair Al-Fiyah karya ulama Andalus masih disenandungkan oleh santri-santri dengan suara yang merdu dan orisinil di aula-aula pesantren.
<>
Padahal di luar sana, banyak orang sedang sibuk dalam berkompetisi untuk mengejar pangkat dan formalitas ijazah. Namun, Santri Sarang masih enjoi-enjoi saja, seolah-olah tidak ada beban berat yang mengganjal di benak pikiran mereka untuk menyongsong sebuah masa depan yang penuh dengan misteri.

Kebanyakan Santri Sarang lebih mementingkan pemahaman keilmuan dari pada selembar kertas. Hal ini bisa dibuktikan ketika para santri yang belajar di Lembaga Pendidikan Muhadloroh Al-Anwar telah menamatkan studi belajarnya, banyak dari mereka yang tidak mengambil ijazahnya. Padahal ijazah made in Muhadloroh Al-Anwar itu di-mu'adalah-kan (disetarakan) dengan Tsanawiyah dan Aliyah yang bisa digunakan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Ijazah mereka masih banyak yang tersimpan di kantor madrasah yang tertata dengan rapi. Hal ini dilakukan oleh Santri Sarang semata-mata karena keikhlasannya dan mereka ingin meniru jejak-jejak ulama terdahulu yang mendahulukan ilmu dibanding dengan yang lainnya. Mereka ingin mencari ilmu ikhlas karena Allah.

Sudah teruji bagaimana kualitas keilmuan yang didapatkan di Pesantren Sarang. Hal ini bisa dilihat dari para alumni yang pernah mengenyam pendidikan ilmu agama di Pesantren Sarang, seperti KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), KH. Bisri Syansuri (pendiri NU), KH. MA. Sahal Mahfudz (Rais ‘Am PBNU) dan KH. Hasyim Muzadi (mantan Ketua Umum PBNU) dan sederetan ulama yang tidak terhitung yang bertebaran di wilayah Nusantara. Bahkan ada alumni Sarang karena kealimannya, ia menjadi rektor dan dosen tanpa harus mengeyam pendidikan di bangku akademisi terlebih dahulu seperti DR. KH. MA. Sahal Mahfudz dan KH. Sadid Jauhari.

Metode Ulama Sarang ketika mentransfer ilmu-ilmu agama kepada santri-santrinya selain berupa metode ngaji bandongan (collective learning process)  dan sorogan (individual learning process), mereka juga mempunyai sebuah metode sanad atau isnad keilmuan yang bersambung dengan seorang Muallif (pengarang kitab). Sanad ini dibaca saat pelajaran kitab usai ditamatkan oleh kiai yang menjadi pengampu kitab tersebut.

Sanad mempunyai sebuah pengertian tentang sebuah rentetan rantai-rantai riwayat dari seorang perawi (orang yang meriwayatkan) atas suatu hadis atau kitab hingga kepada sumbernya. Atau bisa diberi pengertian tentang silsilah keilmuan dari seorang murid kepada gurunya hingga kepada sumbernya. Seperti sanad hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari hingga berujung kepada Rasulullah Saw. Atau sanad dari kitab Shahih Bukhari dari seorang ulama yang berujung kepada Imam Bukhari.

Sanad merupakan perkara yang penting dalam agama, terlebih dalam masalah ilmu hadis. Ibnu Mubarak berkata, “Sanad bagiku merupakan bagian dari agama. Jikalau tidak ada sanad, niscaya orang akan mengucapkan sesuatu dengan seenaknya sendiri.”

Dengan adanya sanad, dapat diketahui kalau hadis itu dha'if atau shahih. Sebab, dalam hal ini sosok seorang perawi akan menjadi obyek bahan kajian sanad. Jika terdapat perawi yang tidak tsiqah (tidak dapat dipercaya) dan tidak dhabith (tidak kuat hafalannya), maka akan berdampak pada lemahnya hadis yang disampaikannya kecuali didukung perawi lain yang tsiqah dan dhabit yang meriwayatkan hadis yang sama.

Karena pentingnya sebuah sanad, maka sangat dianjurkan bagi thullab (orang yang mencari ilmu) yang mencari ilmu agama agar mencari seorang guru yang alim dan wirai (menjaga dari perkara yang diharamkan). Sebab, ilmu yang kita ambil dari seorang ulama adalah termasuk dalam kategori agama, maka dari itu lihatlah dengan siapa engkau mengambil agama tersebut.

Memang, mengetahui sanad dari suatu disiplin keilmuan mulai awal hingga terakhir bukanlah perkara yang wajib secara individual. Namun jika sanad ini disia-siakan, akan dikhawatirkan berdampak agama ini menjadi tersia-sia. Sebab, sudah teruji ketika kaum Yahudi dan Nashrani menyia-nyiakan pentingnya sanad, agama mereka menjadi tersia-sia sebab banyak oknum yang mengubah kitab suci kedua kaum tersebut dengan sesuka hatinya. Abdullah bin Mubarak berkata, “Perumpamaan seorang yang mencari perkara yang ada kaitannya dengan agama tanpa dibarengi dengan sanad itu bagaikan seorang yang ingin naik ke atap rumah tanpa perantara sebuah tangga.”

Sanad yang diambil dari seorang ulama yang alim dan wirai akan menjadi kebanggaan tersendiri, terlebih dari ulama yang lebih dekat dengan asalnya. Dengan sanad pula, seseorang dapat diketahui kalau belajarnya dibimbing seorang guru. Sebab, orang yang tidak mempunyai syaikh (guru), maka gurunya dianggap setan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikh Abu Yazid Al-Busthami.

Tradisi membacakan sanad hingga ke Muallifnya telah dibiasakan di Pesantren Sarang. Kebanyakan kitab-kitab yang diajarkan di Pesantren Sarang mempunyai sanad yang sambung. Sanad-sanad tersebut kebanyakan diambil dari Timur Tengah terlebih Mekah Al-Mukaramah. Sebab, banyak Ulama Sarang sebelum menjadi kiai kebanyakan telah belajar ilmu agama di sana. Seperti belajar kepada Syaikh Muhammad Yasin bin Isa Al-Fadani, Sayyid Alawi bin Abbas, Syaikh Bakir Al-Jukjawi dan Sayyid Muhammad bin Alawi.

Terkadang Santri Sarang juga memperoleh sanad tidak dari ulama yang ada di Sarang. Akan tetapi, dari ulama luar negeri yang berkunjung di Sarang. Seperti dari Habib Salim As-Syathiri dari Yaman (2007) dan Dr. Syaikh Muhammad Ali As-Shabuni dari Mekah (2012) yang berkunjung di kediaman KH. Maimoen Zubair (salah satu pengasuh di Pesantren Sarang). Kedua ulama ini memberikan ijazah beberapa disiplin keilmuan secara ammah (secara umum) kepada Santri Sarang.



* Esais dan Maha Santri di Ma’had Aly PP. Al-Anwar Sarang, Rembang