Opini

Ujung 2 Bulan Lebih Kerusuhan di Iran

Sel, 13 Desember 2022 | 07:00 WIB

Ujung 2 Bulan Lebih Kerusuhan di Iran

Gelombang protes atas kematian Mahsa Amini di Iran. (Foto: Reuters)

Pergolakan di Iran mereda setelah pemerintah pada awal Desember ini menyatakan menghentikan keberadaan polisi moral yang selama ini berpatroli mengawasi peraturan busana wanita. Pemerintah juga menyatakan akan meninjau ulang aturan wajib jilbab bagi wanita yang selama 2 bulan lebih menjadi sebab maraknya demonstrasi yang memangsa 400-an nyawa dan ribuan orang ditahan.


Mereka kaum demonstran sudah kepalang basah. Sudah terlalu banyak nyawa melayang yang membuat kata mundur menjadi mustahil. Dalam demonstrasi itu para wanita dengan berani melepas jilbab dan membakarnya sambil menari-nari. Mereka kaum demonstran tidak lagi ada rasa takut dalam diri mereka meski tahanan dan siksaan menanti. 


Para mullah (sebutan ulama syiah) menyadari bahwa aksi berani ini tertuju pada mereka. Mereka yang selama ini menjadi sosok yang serba benar menjadi sosok tertuduh. Dominasi para mullah (velayat al-faqih) mendapat serangan keras dari kerusuhan yang menunjukkan kebencian atas mereka.


Seorang diplomat Iran di luar negeri mengatakan bahwa selama ini Islam menjadi jargon negara dan selama itu pula mereka merasakan sifat otoriter pemerintah. Dasar Islam menjadikan pemimpin mereka, para mullah, tidak bisa dikritik  suatu hal yang bertentangan dengan demokrasi.


Kata kelompok anti pemerintah, sistem yang ada justru tidak Islami. Sistem Islam memberikan hak menentukan nasib negara oleh rakyat bukan oleh pemimpin spiritual Syiah Ali Khamenei. Pemimpin tertinggi ini seolah wakil tuhan pengganti imam ke-12 yang raib. Ini adalah sistem teokrasi (kekuasaan agamawan) bukan demokrasi (kekuasaan rakyat), kata oposan. 


Gelombang demonstrasi pasca kematian Jina Mahsa Amini (22 tahun) setelah diinterogasi di tahanan kepolisian moral karena dianggap berbusana tidak patut, akhirnya menuai hasil. Aturan wajib jilbab ditinjau ulang dan polisi moral dibekukan. Sayap polisi ini dibentuk semenjak presiden Ahmadinejad, 2006.


Aturan wajib jilbab ada semenjak 1983 namun baru pada 2006 ada patroli busana muslimah. 16 tahun kemudian, saat ini, saat negara dipimpin Ebrahim Raisi, gelombang kerusuhan ini muncul. Mungkin sudah terlalu lama rakyat memendam ketidaknyamanan dengan aturan ini dan baru saat ini keberanian melawan itu muncul. Dan kenekatan semakin tinggi seiring ratusan nyawa berjatuhan. 


Pihak pemerintah Iran terpaksa menuruti aspirasi demonstran dan menyatakan bahwa aturan wajib hijab bagi muslimah tetap ada tapi penerapannya bertahap.


Bagi sebagian pengamat, seperti media India yang kontra rezim Iran, keputusan itu dianggap sebagai kemenangan besar kaum demonstran. Sementara bagi pengamat lain ada yang mengatakan bahwa ia masih menyimpan potensi konflik sebab ia tidak secara jelas mencabut aturan busana dan menyerahkan sepenuhnya kepada kesadaran individu. Tapi mengatakan hanya penerapannya yang bertahap. 


Ketaatan beragama memang harus bermodalkan kesadaran. Tanpanya, pengamal terpaksa melakukannya sehingga kehilangan nilai yang sebenarnya. Dan yang pasti, dia merasa  gerah dengan busana yang dipakai. Apalagi bagi olahragawan wanita, penggunaan jilbab sungguh tidak ringan.


Selain gerakan yang kurang leluasa, keringat yang mengucur deras tidak lepas keluar. Untuk itu salut buat atlet putri pemanjat tebing Indonesia yang tetap memakai jilbab dalam laga internasional dan meraih medali. Itu adalah contoh bagaimana kesadaran menjadi modal utama dalam menjalankan ajaran agama.

 

Betapa pun beratnya aktivitas yang dilakukan, dengan tingkat kesadaran tinggi, dia tetap tidak menanggalkannya. Berbeda dengan yang tanpa kesadaran, jangankan jilbab, suruh pakai training celana legging saja perempuan tidak mau. 


Untuk menciptakan kesadaran perlu proses panjang pembiasaan. Syekh Yusuf al-Qardawi dalam lamannya, al-qaradawi.net, menjawab pertanyaan, bagaimana sikapnya terhadap muslimah yang tidak berjilbab? Beliau menjawab, perkara jilbab adalah perkara furu’ (cabang) bukan pokok (ushul). Pewajiban semacam ini melalui peraturan pemerintah bisa berakibat penolakan atau perlawanan yang bisa berakibat fatal, ketidaksenangan terhadap agama. Pada level ini, akibat yang ditimbulkan lebih berbahaya karena bisa mencerabut iman seseorang.


Tidak jarang karena terlalu ditekan seseorang justru berbalik arah bahkan hingga keluar dari Islam. Kaidahnya, janganlah pelarangan terhadap mungkar mengakibatkan sesuatu yang lebih mungkar: shart nahy ‘an munkar an la yu’addi ila munkar a’dam. Perlu menjadi catatan bersama, bahwa ada kejadian di negara kita, seorang ustadz, qari’, hafidz menceraikan istrinya dikarenakan sang istri memakai celana di luar rumah. Sang istri syok dan memberontak hingga akhirnya pindah ke agama lain. Sungguh ironi. 


Di sinilah barangkali rahasia Nahdlatul Ulama menolak formalisasi hukum Islam di Indonesia. Yaitu karena pertimbangan beranekaragam tingkat ketaatan dan pengetahuan agama umat Islam Indonesia. Belum lagi jika dikaitkan dengan perbedaan pandangan antar kelompok Islam dalam menyikapi sebuah isu seperti jilbab tentu sangat beragam.


Mulai dari yang paling ekstrem, mewajibkan menutup semua tubuh wanita termasuk wajah  hingga menyisakan satu mata saja, kemudian yang membolehkan kerudung yang lehernya tampak, hingga yang membolehkan tanpa tutup rambut (tanpa jilbab) yang penting baju yang dipakai sopan pantas, seperti yang sekarang diperbolehkan di Saudi Arabia di bawah kepemimpinan Muhammad bin Salman.


Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya