Opini

Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 2)

Rab, 8 April 2020 | 21:00 WIB

Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 2)

Peta Athena (greelane.com)

Oleh Warsa Suwarsa
 
Kecuali disebabkan oleh proses alamiah, mutasi mahluk mikrobiologis seperti virus, menjadi sesuatu  yang lebih dapat menyesuaikan diri dengan kondisi tubuh dan memiliki kemampuan menyembunyikan diri dari imunitas tubuh, beberapa catatan sejarah menyebutkan kemunculan wabah juga sering diakibatkan oleh konflik berkepanjangan. Isu yang sering berkembang saat wabah terjadi pascaperang atau di saat terjadi perang yaitu penggunaan senjata bilogis oleh pihak yang sedang berkonflik. 
 
Baca: Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 1)

Di saat Perang Asia-Pasifik yang melibatkan beberapa negara pernah terbongkar sebuah isu,  seperti diungkapkan oleh Christopher Hudson dalam artikel Doctors of Depravity yang dimuat oleh Daily Mail: The place where these atrocities occurred was an undercover medical experimentation unit of the Imperial Japanese Army. It was known officially as the Anti-Epidemic Water Supply and Purification Bureau - but all the Japanese who worked there knew it simply as Unit 731. Tempat di mana kekejaman ini terjadi berlangsung di unit eksperimen medis tentara Jepang dikenal dengan Biro Anti-Epidemic Water Supply and Purification, orang-orang Jepang yang bekerja di sana lebih mengenalnya dengan sebutan Unit 731. Jepang menggunakan senjata biologis untuk melemahkan wilayah jajahan agar masyarakat terserang penyakit yang belum dikenal sebelumnya.

Isu penggunaan senjata biologis tersebut dapat saja terjadi di Indonesia pada masa pendudukan Jepang, penggunaan sarung karet (samping karet) terpaksa dilakukan oleh  rakyat Indonesia waktu itu, salah satunya untuk menghindari wabah kutu atau tuma yang dapat menyebabkan penyakit gatal-gatal, koreng, hingga mengakibatkan  kematian bagi penderita.  

Wabah kutu atau tuma menjadi ancaman serius bagi rakyat Indonesia pada tahun 1942-1945. Kondisi ini diperparah oleh sanitasi lingkungan yang buruk, asupan makanan bergizi sangat kurang, dan semakin menggilanya para tentara Jepang melakukan berbagai aksi kekerasan  di luar batas kemanusiaan. 

Wabah Athena (430 SM)
Memang terlalu naif bagi kita untuk mengajukan sebuah hipotesa bahwa penggunaan senjata biologis telah digunakan oleh manusia dalam berbagai perang di tahun-tahun sebelum masehi seperti beberapa peperangan antara bangsa Sparta, Troya, dan Athena sekitar tahun 450 SM. Tetapi sumber-sumber sejarah menginformasikan bencana kemanusiaan, ratusan hingga ribuan nyawa melayang tidak sepenuhnya disebabkan oleh sabetan pedang, tusukan tombak dan panah. Ribuan nyawa melayang justru terjadi karena wabah telah menjadi epidemi dan menyerang wilayah-wilayah yang dilanda perang atau setelah perang usai.

Pada bagian pertama tulisan ini telah disebutkan, perang antarras manusia terjadi sebagai akibat semakin melemahnya koordinasi serta interaksi antarsuku, ras, dan klan. Koordinasi dan melehanya hubungan ini telah melahirkan sikap kehati-hatian sekaligus saling curiga. Saling percaya antarsesama manusia berubah menjadi sikap chauvinis dan kebanggaan terhadap identitas kelompok. Hal ini dialami oleh dua bangsa besar di zaman Yunani Kuno: Troya dan Sparta.

Perang tanding dua kekuatan besar ini seperti ditulis oleh Homer dalam Iliad tidak lepas dari kisah-kisah mitologis Dalam mitologi diceritakan, dengan cara melemparkan “apel emas”, Aphrodit terpilih sebagai dewi tercantik. Peristiwa ini membawa pengaruh terhadap kehidupan  baik di kahyangan atau di bumi. Athena, Hera, dan Aphrodit memiliki tugas mendatangi Helena. Kedatangan mereka mengakibatkan Helena mewujud menjadi perempuan tercantik di bumi. Dalam Illiad dikisahkah Helena diculik oleh Paris saat perempuan itu telah menjadi permaisuri Menelaos.

Peristiwa penculikan tersebut telah mengganggu bangsa Sparta, mereka merasa harga dirinya diinjak-injak oleh bangsa Troya. Pasukan Sparta mengepung Troya selama sepuluh tahun dan mendapatkan dukungan dari Ares, dewa perang dalam mitologi Yunani Kuno. Dalam peperangan tersebut, Sparta membuat strategi bagaimana cara mereka memasuki kota Troya yang memiliki benteng pertahanan sangat kokoh. Sparta membuat patung kuda berukuran besar, bala tentaranya memasuki patung kuda tersebut.

Sampai saat ini, patung kuda yang digunakan untuk menyusupkan tentara Sparta ke kota Troya disebut sebagai “Kuda Troya”. Dengan sukarela, warga Troya mempersilakan pasukan Sparta memasuki kotanya sendiri. Troya menjumapi takdirnya sendiri,  memang seharusnya kota ini dimusnahkan oleh Sparta. Perang Troya  telah mengakibatkan bencana kemanusia yang sangat hebat.

Ibnu Khaldun memberikan pandangan, berdirinya sebuah negara memiliki maksud agar sikap agresif umat manusia dapat terkendali dan terkoordinir dalam satu kekuasaan. Saat sekumpulan manusia tidak dapat lagi dikoordinir oleh kekuasaan yang akan lahir dalam kondisi seperti itu adalah kecamuk pertikaian dan perang tanding. Sesama manusia saling cakar.

Fase selanjutnya, konflik antara dua kekuatan besar itu harus belangsung lama, desain-desain baru tercipta, kelompok yang terlibat dalam perang membentuk liga-liga baru. Sparta membentuk liga Peloponnesos yang mendapat dukungan dari wilayah-wilayah terdekat seperti Thebes dan Argos. Sementara itu, Athena, Argos, dan Troya membentuk Liga Delos. Perang Peloponnesos terjadi pada tahun 460-445 SM.

Dapat dibayangkan, peradaban besar seperti Athena yang lebih mengedepankan penggunaan akal sehat, rasio, atau nalar pada akhirnya terjerembab juga ke dalam kancah peperangan selama 15 tahun. Masalah yang timbul darinya adalah ribuan mayat tentara yang bergelimpangan  di dalam dan luar kota rata-rata tidak dimakamkan secara layak. Dibiarkan begitu saja sampai akhirnya membusuk, dikerubuti lalat, dan menumbuhkan mahluk mikrobiologis yang belum dipercayai keberadaannya karena ukurannya yang sangat kecil. Pengetahuan manusia saat itu baru sampai pada pemikiran, sakit dan wabah yang terjadi lebih dipengaruhi oleh masuknya roh-roh jahat ke dalam diri manusia. Orang sakit tifus, badan panas, dan menceracau dikatakan kesurupan.

Sekitar tahun 430 SM, tidak lama setelah perang antara Athena dan Sparta dimulai, epidemi menghancurkan rakyat Athena dan berlangsung selama lima tahun. Wabah yang muncul ini diperkirakan karena mengganasnya penyebaran bakteri di Athena. Sekitar 100 ribu orang menjadi korban, seperti ditulis oleh Thucydides, orang-orang sehat dan baik-baik saja tiba-tiba diserang oleh panas, radang pada bagian mata, lidah tiba-tiba mengeluarkan darah dan napas menjadi tidak wajar. Anehnya, meskipun wabah benar-benar menyerang fisik dan mental masyarakat Athena, perang tetap berlangsung, sampai pada akhirnya, Athena menyerah kepada Sparta pada tahun 404 SM.

Beberapa ahli kesehatan memperkirakan wabah ini digolongkan ke dalam demam tifus dan Ebola. Kepadatan penduduk Athena tanpa kebijakan dari otoritas berwenang menjadi pemicu semakin memperburuk penyebaran wabah. Wabah ini tidak berdampak serius kepada Sparta karena mereka telah membentengi wilayahnya dengan tembok-tembok tinggi dan menerapkan aturan yang jelas terhadap lalu-lalang atau arus keluar masuk orang ke wilayahnya. Kecuali itu, diperkirakan, bangsa Sparta memiliki imunitas tubuh yang lebih kuat daripada orang-orang Athena. 

Strategi penanggulangan penyebaran wabah oleh satu negara sebetulnya dapat mengacu kepada cara-cara yang telah ditempuh oleh peradaban kuno. Selain mereka memang mengalaminya langsung, juga telah menempuh cara-cara lain saat itu untuk menanggulangi penyebaran wabah. Mau tidak mau, otoritas tertinggi satu negara atau kota harus mengeluarkan kebijakan tegas dan menempuh cara-cara untuk memulihkan orang-orang yang telah terserang wabah.

Para kaum cerdik pandai Athena, saat wabah menyerang kotanya memberi nama epidemi terhadap penuluran wabah dalam skala besar itu. Secara etimologi epidemi berasal dari dua kata epi (hidup) dan demos (orang-orang/masyarakat). Gejala yang terus hidup di dalam kehidupan secara cepat dan masif seperti wabah di Athena disebutkan oleh Hipokrates sebagai satu epidemi, seharusnya disikapi oleh cara-cara benar yang sesuai dengan pemaknaan kata epidemi itu sendiri, hidup di negara sendiri. Hal ini semakna dengan penerapan lockdown di satu wilayah atau negara. 

Wabah Antonin (180 M)
Sebuah imperium besar seperti Romawi disebutkan oleh Augustinus dalam buku De Civitate Dei merupakan kekaisaran yang gemar berperang dengan mengatasnamakan dewa perang (Mars). Penaklukan oleh Romawi sampai ke wilayah-wilayah terjauh dengan mengirimkan ratusan ribu tentara atau pasukan telah menjadi salah satu penyebab wabah cacar Antonin menyerang Romawi. 

Laman Live Science mengutip April Pudsey, seorang dosen Manchester Metropolitan University, virus  menulari para tentara yang bertugas di luar ibu kota, saat kembali dan memasuki  pusat kota, wabah menular sangat cepat dan telah menewaskan 5 juta orang di wilayah kekuasaan kekaisaran Romawi.
 
Penyebaran wabah Antonin ini merupakan masa-masa krisis Romawi setelah mengagungkan dirinya dalam bingkai Pax Romana. Harta rampasan perang yang dipandang sebagai sebuah keuntungan bagi kekaisaran Romawi, justru menjadi pemicu keruntuhannya. 

Lalu dari mana wabah Antonin yang telah membuat penduduk Romawi harus berjibaku dengan cacar itu bermula? Ribuan pasukan Romawi melakukan serbuan dan penyerangan ke Parthia, salah satu kerajaan terbesar di Persia sebelah Timur. Dari sinilah virus  ditularkan kepada para tentara Romawi. 

Sangat wajar seorang Augustinus mengatakan  tidak ada keuntungan apa pun yang didapat dari peperangan. Pemenang perang sering tampil menjadi sekelompok manusia bermuka dua, seolah bersikap lembut kepada masyarakat biasa yang tidak menjadi domain dalam pertempuran padahal mereka tetap menguras potensi-potensi yang dimiliki oleh wilayah taklukan. Pada sisi lainnya, tentara-tentara yang kalah dalam pertempuran mereka diseret dan dihukum mati atau diperlakukan sebagai budak.

Manusia selalu mengatasnamakan Tuhan ketika berperang. Tetapi  di balik semua itu memang terkandung agenda terselubung untuk mengelabui masyarakat dalam mencapai tujuan mereka. Sampai saat, tanpa kita sadari pengatasnamaan Tuhan dan agama selalu menjadi alasan kita berbuat di luar nalar kepada orang lain.

Dapat saja, pandemi Covid-19 yang telah melanda dan merata penyebarannya ini disebabkan oleh sikap angkuh manusia yang kerap kali dengan mudah –meminjam istilah Buya Syafii– merampok nama Tuhan untuk memuluskan tujuannya. Toh, wabah dan bencana yang terjadi beberapa abad lampau itu telah memberikan informasi kepada kita: jika tidak disebabkan oleh perang, keangkuhan satu bangsa, juga disebabkan oleh hal lainnya: kesejahteraan dan kemajuan umat manusia telah melupakan keberadaan kekuatan lain dalam kehidupan yang telah membunuh raja-raja besar seperti Nimrod dan Abrahah yaitu: virus.

Penulis adalah guru MTs-MA Riyadlul Jannah Cikundul, Sukabumi, Jawa Barat