Opini

Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 4)

Rab, 15 April 2020 | 23:00 WIB

Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 4)

Ilustrasi wabah Justinian (listverse.com)

Oleh Warsa Suwarsa
 
Terhadap beberapa wabah yang telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, manusia zaman sekarang tentu akan mengalami kesulitan memaparkan kenyataan dan kondisi baik secara sosial atau psikologis yang sebenarnya terjadi di saat wabah-wabah tersebut melanda kehidupan. Hanya melalui beberapa informasi yang telah ditulis oleh para sejarawan saja kita dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang terdampak saat itu. Risalah De Mortalitate karya Santo Siprianus yang memaparkan babak awal epidemi wabah Siprian melalui pendekatan spiritual kekristenan harus dielaborasi lebih detail, apalagi risalah orisinalnya ditulis dalam bahasa Latin.
 
Baca: Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 1)
Baca: Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 2)
Baca: Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 3)

Kondisi kejiwaan manusia, dari satu peradaban ke peradaban lainnya akan memiliki kemiripan atau identik karena stimulus selalu direspons oleh manusia dengan pendekatan yang hampir sama. Hal ini merupakan satu keniscayaan, fitrah dan piranti dasar bawaan manusia. Jika ada satu ancaman, manusia sudah tentu akan melakukan respons untuk menghindar atau melawannya. Di saat ancaman itu sudah menyergapnya, manusia selalu berusaha merespons dengan upaya-upaya terbaik agar ancaman tersebut lebih melunak.
 
Bagi manusia di setiap milieu, wabah direspons sebagai sebuah ancaman. Saat ancaman dirasakan cukup besar akan menimbulkan kekhawatiran kolektif. Kekhawatiran kolektif berupa rasa takut terpapar dan tertular wabah menyebabkan sesama manusia bersikap saling curiga, hati-hati, dan menjaga interaksi sosial pada jarak yang dipandang aman.

Wabah Justinian (542 M)
Sebelum wabah terjadi hampir rata-rata sikap mayoritas manusia, apalagi terhadap makhluk mikrobiologis seperti bakteri dan virus, memandang hal biasa dan tanpa kehati-hatian. Bagi manusia modern seperti kita sekarang tentu saja sikap seperti ini merupakan sebuah keteledoran atau bisa disebut satu keangkuhan terselubung. Pengetahuan di bidang kedokteran, mikrobiologi, virulogi, dan penelitian-penelitian tentang kesehatan masyarakat merupakan hal paling lumrah dan biasa dilakukan oleh manusia modern di abad ini.
 
Yuval Noah Harari menyebutkan dalam Sapiens: The Brief History of Humankind, jika zaman dahulu, para leluhur manusia terancam oleh kematian akibat perang, kelaparan, dan penyakit, di zaman modern ini, umat manusia justru dihinggapi rasa takut dan terancam oleh kematian karena kelebihan sumber makanan yang dapat menimbulkan obesitas.
 
Dalam pemikiran Harari, sebetulnya manusia modern sekarang sudah tidak perlu lagi dikhawatirkan oleh penyakit yang pernah dialami oleh leluhur mereka sebelumnya.

Lain halnya jika sikap-sikap pengabaian tersebut dialami oleh para leluhur manusia beberapa abad yang lalu mengingat aplikasi pengetahuan dan ilmu-ilmu terapan di bidang kedokteran belum semaju dibanding sekarang. Penduduk yang tinggal di wilayah kekuasaan kekaisaran Romawi dari Mediterania hingga Konstantinopel menganggap penyakit biasa ketika tetangganya tiba-tiba sakit panas, bintik-bintik merah bermunculan di sekujur tubuh, dan napas sesak tersenggal-senggal. Dalam kurun beberapa bulan, wabah menyebar sangat cepat menyisir wilayah kekuasaan kaisar Flavius Yustinianus pada awal tahun 542 M.

Buku yang ditulis oleh William Rose, Justinian’s Flea: Plague, Empire, and he Birth of Europe sangat mengesankan bagaimana bakteri bernama yersenia pseudotuberculosis, tergolong sebagai bakteri jinak yang dapat menimbulkan gejala flu ringan tiba-tiba bermutasi menjadi bakteri mematikan bernama yersenia pestis. Bakteri yersenia menggunakan kutu sebagai media transportasinya, menempel pada tubuh inangnya, tikus. Babak selanjutnya, setelah bermutasi menjadi yersenia pestis, makhluk renik ini dapat menular dari binatang ke manusia dan dari manusia ke manusia. 
Para ahli kedokteran Romawi, awalnya, berusaha mematikan penyebaran yersenia pseudotubeculosis, penyebab pes, namun tiba-tiba bakteri tersebut berevolusi menjadi bateri yang lebih mematikan dalam kurun waktu dua tahun. Rosen menyebutkan dengan ungkapan hiperbolik, di paruh pertama awal abad pertengahan, seolah-olah Tuhan benar-benar telah melepaskan “setan” ke dunia dengan tanpa kecurigaan dari siapa pun. Wabah ini berdampak terhadap kekuasaan flavius yustinianus saat itu.

Penggunaan istilah “setan” terhadap kemunculan wabah, baru-baru ini dikemukakan oleh Andrew Cuomo, Gubernur New York saat pamdemi corona menewaskan lebih dari 7 ribu orang. Cuomo menyatakan, ledakan yang disebabkan oleh teroris dengan cara menubrukkan pesawat terbang ke gedung WTC dalam persitiwa 9/11 telah menewaskan 2.753 orang. Namun ledakan terselubung oleh corona virus disease 2019 telah merenggut 7 ribu lebih nyawa manusia, kedua-duanya merupakan “setan” yang menebar ketakutan. Tidak hanya gubernur di zaman modern, Flavius Yustinianus, seorang kaisar yang telah membawa Romawi pada era keemasan melalui karya besarnya kitab hukum perdata tersebut sangat dikacaukan oleh penyebaran wabah yang menandai masa kemunduran Romawi di masa puncak kejayaannya, sungguh sebuah ironi.

Yersenia pestis, bakteri pembawa wabah pes diperkirakan berevolusi di wilayah-wilayah subur dan sejuk di sekitar Afrika bagian Timur. Sejarah mencatat, wabah Justinian ini terjadi pada musim semi tahun 542 M di kota Pelusium, sebuah tempat yang terletak di delta Nil. Memang harus diakui, seperti yang dikemukakan oleh Arnold Toynbee, peradaban manusia selalu lahir di wilayah-wilayah beriklim sejuk, walakin perlu diingat juga, di wilayah-wilayah subur beriklim sejuk ini, manusia bukan hanya melahirkan peradaban saja, termasuk hal yang dapat menjadi penyebab keruntuhunan peradaban tersebut. 

Bakteri yersenia pestis jenis xenopsylla cheopsis menyukai tikus sebagai inang perkembangbiakannya. Wabah ini dibawa oleh tikus hitam yang hidup di geladak-geladak kapal menyeberangi laut Mediterania, bermigrasi melintasi rute perdagangan ke ibu kota Romawi Timur, Konstantinopel. Wabah pembawa petaka ini digambarkan oleh Rosen sebagai berikut: “Di hari pertama penyebaran wabah, rumah sakit sangat penuh sesah, keesokan harinya mayat-mayat memenuhi pemakaman”. 

Wabah Justinian merupakan bencana kemanusiaan pertama yang telah menewaskan manusia dalam jumlah besar, sedikitnya 25 juta orang meninggal. Peristiwa ini telah mengurangi jumlah populasi penduduk kekasairan Romawi dan menekan tingkat kelahiran selama beberapa generasi.

Metafora paling menarik yang terhadap kondisi di atas yaitu kekaisaran Romawi di bawah perintah Flavius Yustisianus selain telah menebarkan ketakutan kepada para penduduknya dengan seperangkat aturan yang ketat dan sangat memaksa, sekaligus telah membantu penyebaran yersenia pestis ke pelosok-pelosok wilayah taklukan. Dapat dikatakan, bakteri berukuran sangat kecil itu kini telah menjelma seukuran kaisar sendiri. Berbagai penaklukan oleh kekaisaran Romawi merupakan proyek ambisius Yustinianus yang hendak mengantarkan peradaban Eropa kuno ke abad pertengahan. 

Sesaat sebelum wabah menjangkiti hampir separuh di wilayah kekuasaan Romawi terjadi peningkatan konsumsi ikan yang difermentasi, asap-asap pembakaran ikan tercium menyengat di setiap akhir pekan. Orang-orang berpesta pora merayakan kemakmuran. Para petinggi kerajaan terpingkal-pingkal menyambut perluasan wilayah taklukan ketika upeti-upeti memenuhi istana dan gudang kerajaan di Konstantinopel.
 
Mereka sama sekali tidak memperkirakan, yersenia pestis yang sebelumnya pernah merontokkan Romawi Barat, menjadi senjata penghancur bagi kekaisaran Romawi Timur.

Gejala yang ditimbulkan oleh wabah Justinian telah memukul mental orang-orang termasuk di antaranya para dokter. Selain suhu tubuh sangat tinggi, gejala lain yang membuat tenaga medis di babak akhir zaman kuno terheran-heran dengan kemunculan bisul atau benjolan seukuran jeruk bali pada ketiak para korban. Ketidaktahuan tentang medis selama berabad-abad membuat orang semakin putus asa terhadap ketidakampuhan jimat ajaib yang diciptakan oleh para rahib dan orang-orang suci.
 
Ada cara baru yang berkembang di bidang kedokteran kuno, dengan cara melumuri tubuh menggunakan mentega diyakini dapat menghentikan penularan wabah. Praktik ini dilakukan oleh kaisar sendiri, entah karena kebetulan atau disebabkan alasan lain, kaisar Yustinianus selamat dari ancaman wabah mematikan ini. 

Kekaisaran Romawi di bawah Yustinianus dalam kurun waktu dari tahun 482-565 M telah menaklukan sepenuhnya dan lebih wilayah di Eropa dengan sejumpah prestasi seperti pembuatan berbagai hukum perdata (juris corpus), namun takluk oleh wabah yang menjadi sebuah tonggak kelahiran Eropa baru yang terpecah ke dalam negara-negara kecil dengan sistem feodal.
 
Lahir juga kekuatan lain dalam bentuk baru di bidang keagamaan: kepausan (Christendom), dan imperium Islam semakin meluas menguasai wilayah-wilayah yang terdampak oleh wabah. Rata-rata wilayah taklukan dari Konstantinopel hingga Medierania secara sukarela menyambut kedatangan imperium baru karena kehadiran imperium Islam diyakini dapat menawarkam cara baru melawan wabah. 

Sebuah jalur sebagai satu hub interaksi dunia Timur dan Barat dibuka tanpa aturan keharusan membayar upeti pada pos-pos penjagaan. Jalur ini merupakan lintasan perniagaan lewat darat yang telah membantu migrasi tikus hitam pembawa bakteri sebelum wabah melanda, saat itu menjadi lebih ramai dilalui para pedagang.
 
Buah-buahan yang dibawa oleh para pedagang dari China daratan membawa larva-larva ulat buah di dalamnya, pernah merusak tanaman murbey di wilayah Barat yang kemudian dinamakan ulat sutra disematkan juga pada jalur perniagaan tersebut sebagai jalur sutra. 
 
Penulis adalah guru MTs-MA Riyadlul Jannah, Cikundul, Kota Sukabumi