Parlemen

Belajar Hidup dari Kesenian Wayang Menurut Wakil Ketua MPR

Kam, 29 April 2021 | 04:50 WIB

Belajar Hidup dari Kesenian Wayang Menurut Wakil Ketua MPR

Wakil Ketua MPR RI, Jazilul Fawaid. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Jazilul Fawaid mengajak generasi muda untuk belajar kehidupan dari kesenian wayang yang selalu terjadi pertempuran antara baik dan buruk, salah dan benar. 


“Hidup selalu ada musuhnya. Ada dua musuh, pertama musuh dalam diri sehingga harus topo broto, tirakat, dan lain-lain. Kedua musuh dari luar, yang fisik atau kelihatan,” tutur Gus Jazil, sapaan akrabnya, di Jakarta, belum lama ini.


Hal tersebut terdapat dalam Al-Quran, surat Al-Isra ayat 81. Disebutkan, wa qul jaa al-haqqu wa zahaqal innal-batila kaana zahuqaa (Katakanlah, yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap).


Ayat itu menurut Gus Jazil serupa rumus bahwa kebenaran pasti akan mengalahkan kejahatan sekalipun membutuhkan waktu dan perjuangan. Sebab katanya, hidup tidak akan indah jika tanpa musuh. 


“Dalam agama musuh itu namanya setan. Kalau zaman sekarang musuhnya beragam. Misalnya ada medsos ya musuhnya hoax, ujaran kebencian, macam-macam. Tetapi kebenaran harus menang dan pasti menang, tapi harus diperjuangkan,” jelas Legislator Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa ini.


Sebagai contoh, ia menjelaskan tentang perjuangan yang dilakukan Parikesit. Tokoh pewayangan dari wiracarita Mahabharata, seorang raja Kerajaan Kuru dan cucu Arjuna. Ayah Parikesit adalah Abimanyu dan putranya adalah Janamejaya.


Menurut Gus Jazil, sosok Parikesit dalam pewayangan itu mampu bangkit dengan gagah berani untuk memperjuangkan kebenaran. Ia menegaskan, kebenaran tidak bisa muncul tiba-tiba seperti matahari terbit karena dalam hidup pasti terdapat banyak musuh, baik dari dalam diri maupun dari luar.


Lantaran terdapat banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kesenian wayang itu, Gus Jazil berharap akan lahir masyarakat yang mengerti soal agama dan budaya. “Apalagi bila orang tersebut yang memimpin Indonesia, pastinya akan bagus karena sesuai dengan akal dan budaya,” katanya.


Sebab menurutnya, seorang pemimpin selain harus mengenal Allah, juga wajib mengetahui budaya dan cara hidup bermasyarakat. Tegasnya, agama dan budaya tidak bisa dipisahkan. Sementara kesenian wayang merupakan bentuk akulturasi kebudayaan yang melampaui zaman, bahkan mampu memadukan antara nilai agama dan budaya sehingga menjadikan manusia secara utuh.


Di dalam kesenian wayang, terdapat dua hal sekaligus yakni tontonan dan tuntunan. Namun di zaman milenial seperti sekarang ini, wayang memiliki banyak tantangan. Salah satunya lantaran generasi saat ini kurang mengerti budaya wayang. Padahal menurut Gus Jazil, pewayangan sarat dengan tuntunan kebaikan dan keteladanan yang ditunjukkan oleh para tokohnya.


Sayangnya, anak-anak muda saat ini lebih mengenal dan menggemari tontonan seperti sinetron, bahkan drama korea (drakor) dibandingkan budaya yang lahir dari negeri sendiri yakni wayang. Gus Jazil menegaskan, generasi muda harus paham, sadar, dan mengerti tentang sejarah Indonesia, termasuk wayang. 


“Wayang menurut saya adalah budaya tinggi dari para leluhur, termasuk para wali, dan ini dijadikan sebagai sarana untuk berdakwah, sarana menuju kebaikan. Dakwah itu membina, bukan menghina,” jelasnya. 


“Wayang ini cara orang merasa terhibur, tapi dikasih pelajaran meski kadang nggak terasa. Orang merasa senang tapi tidak terasa kalau sebenarnya dia diberikan nasihat-nasihat melalui wayang,” imbuh Gus Jazil.


Karena itulah, ia berharap generasi muda saat ini agar diberikan pemahaman mengenai pewayangan sebagai sebuah budaya warisan leluhur yang harus dilestarikan. Sebab wayang merupakan tontonan yang menyehatkan.


“Prahara yang ada di wayang itu artinya bahwa dalam hidup ini banyak variasinya. Anak-anak sekarang yang ditonton sinetron atau drakor daripada wayang. Drakor itu tak ada isinya dibanding wayang yang sarat nilai-nilai, ketokohan, keteladanan, contoh-contoh bagaimana kebenaran harus ditegakkan,” pungkasnya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad