Parlemen

Komisi III DPR Tegaskan Polisi Siber Harus Ditopang UU ITE yang Lebih Demokratis

Sab, 13 Maret 2021 | 00:30 WIB

Komisi III DPR Tegaskan Polisi Siber Harus Ditopang UU ITE yang Lebih Demokratis

Anggota Komisi III DPR RI Heru Widodo (kiri). (Foto: dok. FPKB)

Jakarta, NU Online

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Heru Widodo menilai positif keberadaan polisi siber untuk menyehatkan ruang digital. Namun ia juga menegaskan, kerja polisi di dunia maya itu harus ditopang dengan aturan hukum yang lebih demokratis. Caranya, dengan melakukan perubahan atau revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).


“UU ITE masih sangat lemah dalam melindungi data pribadi, sehingga masih memungkinkan akun di media sosial untuk diretas. Maka untuk menghindari hal tersebut, UU ITE sangat perlu direvisi," ujar Heru dalam webinar bertajuk Urgensi Polisi Siber dalam Demokrasi Indonesia dikutip NU Online dari kanal Youtube Forum Konstitusi dan Demokrasi pada Jumat (12/3).


Karena itu, Legislator Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) ini mengatakan bahwa keberadaan polisi siber harus ditopang dengan aturan hukum yang lebih adaptif dengan perkembangan saat ini. Hal tersebut untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat agar tidak melanggar hukum saat berselancar di dunia maya. 


“Saya kira, polisi siber memiliki nilai penting untuk memproteksi masyarakat terjerat UU ITE,” tutur Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gemasaba) ini.


Polisi siber sendiri telah diberlakukan sejak 24 Februari lalu berdasarkan Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor 11 Tahun 2021 tentang kesadaran budaya beretika untuk mewujudkan ruang digital yang bersih, sehat, dan produktif. 


Di kesempatan webinar itu, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi, menilai polisi siber saat ini mengedepankan sisi pencegahan. Hal ini berbeda dengan SE Kapolri pada 2015 lalu yang cenderung kuat sisi penindakan. 


Padahal ia berasumsi bahwa sisi edukasi literasi di dunia jauh lebih penting untuk dilakukan. Terlebih, perkembangan pengguna internet di Indonesia saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Karena itu, Ferdian menyebutkan keberadaan polisi siber akan lebih komprehensif bila terdapat perubahan UU ITE yang banyak mendapat kritik dari publik.


“Sayangnya, perubahan UU ITE tidak masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2021 ini. Padahal, kalau perubahan UU ITE dilakukan tahun ini dengan mengakomodasi berbagai catatan dari publik, keberadaan polisi siber akan lebih bermakna,” sebut Ferdian. 


Lalu CEO One Click Democracy Irwan Saputra menyebutkan bahwa keberadaan polisi siber terdapat sentimen negatif di masyarakat. Hal itu disebabkan lantaran ada persepsi ancaman yang membuat masyarakat merasa diintai ketika beraktivitas di dunia maya. 

 

Penyebab yang lain menurut Irwan adalah karena ada korban UU ITE yang terkena pasal karet lantaran kurang sosialisasi edukasi dengan adanya polisi siber tersebut.


“Dari segi image, mengubah tampilan dengan image yang lebih humanis. Dari segi regulasi, ikuti aturan main yang telah diterbitkan Kapolri SE/2/11/2021. Dari segi komunikasi, ciptakan komunikasi terbuka, yang asik dan mudah dipahami oleh semua kalangan. Terakhir, edukasi masyarakat lebih utama daripada menertibkan dan menghukum,” ujar Irwan.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad