Parlemen

Soal Pembelajaran Tatap Muka, Komisi X DPR: Jangan Tergesa-gesa

Sen, 4 Januari 2021 | 05:35 WIB

Soal Pembelajaran Tatap Muka, Komisi X DPR: Jangan Tergesa-gesa

Ketua Komisi X DPR RI H Syaiful Huda. (Foto: dpr.go.id)

Jakarta, NU Online

Kebijakan pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri terkait rencana dibukanya pembelajaran tatap muka di sekolah pada tahun ini, menuai polemik. Pasalnya, terdapat berbagai problem yang ditimbulkan jika rencana tersebut benar-benar dilakukan dalam waktu dekat ini.


Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI H Syaiful Huda mengingatkan pemerintah agar tetap menempatkan panglima serta hukum tertinggi bernama kesehatan yang mesti diperhatikan, sehingga tidak tergesa-gesa dalam membuka pembelajaran tatap muka di sekolah.


“Panglima dan hukum tertinggi kita adalah kesehatan bagi siswa kita. Karena itu semangatnya (membuka pembelajaran tatap muka) jangan tergesa-gesa. Termasuk kami meminta kepada pemerintah daerah, bupati dan walikota untuk tidak tergesa-gesa membuka pembelajaran tatap muka,” tegasnya dalam galawicara di Kompas TV, Senin (4/1) pagi.


Dalam agenda pembelajaran tatap muka ini, lanjut Syaiful, pasti juga akan terdapat perbedaan kebijakan antar-daerah, baik kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi. Sebab SKB 4 Menteri memberikan akomodasi kepada daerah untuk menetapkan kebijakan masing-masing.


“Kemudian ada survei yang dilakukan P2G (Perhimpunan Pendidikan dan Guru), sebanyak 77 persen guru menghendaki, meminta, dan menyetujui adanya pembukaan pembelajaran tatap muka. Alasannya karena banyak beberapa mata pelajaran yang gagal disampaikan secara maksimal melalui Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ),” ungkapnya.


Pembukaan pembelajaran tatap muka ini, ujar Syaiful, berkaitan pula dengan anggaran. Ia menegaskan bahwa tingkat kesiapan sekolah masih sangat terbatas. Bahkan melalui relaksasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) saja masih belum memungkinkan sepenuhnya dipakai untuk pengadaan protokol kesehatan di satuan pendidikan. 


“Kami tetap meminta supaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) punya skema di luar dana BOS untuk membantu sekolah-sekolah mengadakan protokol kesehatan. Termasuk menyangkut soal menghadapi new normal di bidang pendidikan,” ungkap Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPR RI ini.


“Kita tetap meminta agar itu diperhatikan, karena asumsinya pada waktu itu kasus Covid-19 melandai, tapi sekarang makin meningkat. Yang jelas kami tetap meminta agar ada refocusing dan realokasi anggaran untuk membantu kesiapan sekolah,” tegasnya.


Survei KPAI


Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 11-18 Desember 2020 lalu, terdapat sekitar 78,17 persen siswa menginginkan pembelajaran tatap muka.


Sementara alasan siswa menginginkan sekolah tatap muka, 57 persen di antaranya karena kesulitan dengan beberapa materi pelajaran dan praktikum yang tidak mungkin dilakukan secara daring.


Survei tersebut dilakukan pada 62.448 responden siswa yang berada di 34 provinsi. Proporsinya adalah siswa SD mencapai 25.476 anak atau 40,18 persen. Kemudian siswa SMP sejumlah 28.132 anak atau 46 persen.


Lalu Siswa SMA yang berpartisipasi 3.707 orang atau 5,6 persen. Sementara siswa SMK lebih banyak, yaitu 4.184 orang atau 6,7 persen. Sedangkan siswa SLB yang mengikuti survei terdapat 49 anak atau 0,08 persen. Sisanya, 900 anak berasal dari Madrasah 1,44 persen.


Sebelumnya KPAI juga pernah melakukan survei pada Juni 2020 menjelang tahun ajaran baru yang dimulai Juli 2020. Pada survei itu, hasilnya adalah 63,7 persen anak ingin belajar tatap muka di sekolah.


“Itu di bulan Juli (survei pertama). Ketika survei yang kedua ternyata meningkat, dari 63,7 menjadi 78,17 persen,” ungkap Komisioner KPAI Retno Listyarti.


“Kami juga menanyakan apakah dia (siswa) pernah melihat misalnya SOP atau protokol kesehatan di sekolah terpenuhi. Seperti tempat cuci tangan, toilet yang bersih, dan air yang mengalir. Sebagian dari 78,17 persen itu menyatakan sekolahnya tidak siap,” sambungnya.


Dengan demikian, Retno menyebut bahwa sebenarnya para siswa memahami terhadap kondisi yang terdapat di sekolah. Oleh karena itu, para siswa memberikan beberapa catatan misalnya terdapat satu kali tatap muka dalam satu pekan. 


“Nah satu kali tatap muka itulah yang materinya sulit, belajar lewat MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). Empat harinya mereka masih ingin PJJ, karena kasus Covid-19 masih tinggi dan mereka juga tidak yakin bahwa sekolah mampu menyiapkan perangkat dan infrastruktur protokol kesehatan,” katanya.


KPAI sendiri juga melakukan pengawasan langsung dengan mendatangi 49 sekolah di 21 kabupaten/kota dan 8 provinsi. Hasilnya, terdapat 16 persen sekolah yang siap. Sedangkan 84 persen tidak siap.


“Ketidaksiapan itu salah satunya memang butuh dukungan. Jadi mereka tidak punya uang untuk menyiapkan semua. Sementara sekolah yang siap mendapat dukungan kuat baik dari daerah maupun dari orang tua murid melalui komite. Jadi memang ini butuh didukung,” katanya.


“Selama proses penundaan pembelajaran tatap muka maka perlu juga dipersiapkan berbagai hal yang dibutuhkan. Karena penyiapannya itu selain membutuhkan waktu tetapi juga membutuhkan anggaran untuk membuat infrastruktur protokol kesehatan,” pungkas Retno.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad