Risalah Redaksi

Menata Profesi Guru untuk Pendidikan yang Lebih Berkualitas

Ahad, 3 Januari 2021 | 13:00 WIB

Menata Profesi Guru untuk Pendidikan yang Lebih Berkualitas

Jangan sampai kebijakan yang dikeluarkan tanpa pertimbangan yang matang karena hanya dengan melihat persoalan secara sempit lalu membuat solusi yang parsial.

Pemerintah mengumumkan mulai tahun 2021 ini tidak ada lagi pengangkatan PNS untuk guru. Semua perekrutan baru untuk guru akan menggunakan mekanisme Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Berita ini menjadi kado tahun baru 2021 yang tidak menyenangkan bagi para calon guru yang berharap menjadi pegawai negeri sipil dengan keamanan kerja sampai usia pensiun. Para calon guru masih berharap selain pengangkatan satu juta tenaga PPPK yang sudah diumumkan sebelumnya, rekrutmen PNS bagi mereka yang berusia di bawah 35 tahun masih berlangsung sebagaimana biasanya.


Pemerintah beralasan, kebijakan ini merupakan bagian dari penataan guru yang telah lama karut-marut. Salah satu yang menjadi alasan adalah untuk mengurangi beban keuangan negara. Selain itu, ada kecenderungan guru yang ditempatkan di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) untuk meminta pindah ke daerah dengan lokasi yang lebih baik seperti di Pulau Jawa. Akibatnya, daerah-daerah tersebut sulit untuk maju karena minimnya guru yang bersedia mengajar di lokasi-lokasi tersebut.


Mekanisme PPPK memberi keuntungan kepada pemerintah terkait dengan fleksibilitas dalam mengatur kebutuhan pegawai. Para pegawai dikontrak dalam jangka waktu tertentu. Ketika kontrak sudah selesai, maka bisa tidak diperpanjang jika tidak diperlukan lagi. Dengan demikian, keuangan negara menjadi lebih mudah pengelolaannya. Hal ini beda dengan status PNS yang bekerja sampai usia pansiun. Pemberhentian PNS hanya dapat dilakukan jika terjadi pelanggaran berat. Dari sisi pegawai yang direkrut, mekanisme PPPK menjadi kelemahan mendasar karena tidak adanya kepastian kerja mengingat mereka berpeluang tidak diperpanjang kontraknya. 


Mekanisme seperti itu membuat PPPK menjadi pegawai kelas dua yang statusnya lebih rendah dibandingkan dengan PNS. Dengan demikian menjadi pertanyaan, apakah para lulusan terbaik bersedia menjadi guru jika keamanan kerjanya tidak terjamin. Jangan-jangan profesi guru menjadi pilihan terakhir ketika sudah tidak tersedia lagi profesi yang lebih menjanjikan. Dampak selanjutnya adalah kualitas pengajaran di Indonesia, yang hingga kini belum beranjak dari posisi medioker di tingkat internasional. 


Minat menjadi guru meningkat ketika pemerintah memberikan dana sertifikasi guru yang nilainya setara dengan satu kali gaji PNS sesuai dengan golongan yang telah ditetapkan. Jurusan keguruan membludak peminatnya karena iming-iming kesejahteraan yang lebih baik. Perubahan tersebut bisa menyebabkan terjadinya titik balik minat anak muda menjadi guru. Padahal negara-negara dengan kualitas pendidikan terbaik selalu berusaha memberi gaji sangat layak kepada para gurunya sehingga para lulusan  terbaik berminat menjadi guru. 


Para guru tentu menginginkan gaji yang tinggi dan keamanan kerja sampai mereka pensiun. Di sisi lain, pemerintah menginginkan beban gaji bagi jutaan guru bisa lebih efisien. Rakyat juga menginginkan agar uang pajak yang mereka bayarkan dikelola dengan baik oleh pemerintah untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang baik bagi para pelajar di seluruh Indonesia. Mencari titik temu dari berbagai kepentingan ini tidak selalu mudah. 


Pemerintah beralasan, mekanisme PPPK merupakan hal yang jamak di lakukan di negara maju di mana 70 persen pegawai berstatus kontrak sementara hanya sekitar 30 persen yang menjadi pegawai tetap. Namun sosialisasi tentang hal tersebut masih sangat minim. Di negara mana saja yang telah sukses menerapkan pola tersebut, termasuk keluhan banyaknya guru PNS yang minta pindah, seharusnya pemerintah menyampaikan data konkret setiap tahun berapa guru di daerah 3T yang diangkat dan berapa yang meminta pindah. 


Dengan keterbukaan data-data yang diperlukan, publik bisa menilai apakah perubahan mekanisme PNS menjadi PPPK secara keseluruhan akan menghasilkan solusi yang lebih baik bagi tata kelola kepegawaian negara dan dampaknya pada pelayanan yang diberikan kepada masyarakat mengingat pemerintah berniat untuk menggunakan pendekatan PPPK untuk pegawai yang menangani urusan fungsional seperti pendidikan, Kesehatan, dan lainnya yang totalnya berjumlah 146 jabatan. Jika pola tersebut lebih baik bagi pengelolaan pegawai pemerintah, tentu publik akan mendukungnya.


Jangan sampai kebijakan yang dikeluarkan tanpa pertimbangan yang matang karena hanya dengan melihat persoalan secara sempit lalu membuat solusi yang parsial. Bukannya menghasilkan solusi yang baik, pendekatan seperti itu malah menimbulkan persoalan pada sektor lainnya atau menghasilkan kinerja yang buruk di masa mendatang. Karut marut soal guru honorer merupakan contoh persoalan yang tidak selesai dalam beberapa tahun dengan korban ratusan ribu, bahkan jutaan pegawai karena kebijakan yang tidak komprehensif. 


Supaya lebih menarik minat lulusan terbaik untuk masuk tenaga PPPK, seharusnya mereka mendapatkan insentif yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan tetap. Hal ini seimbang dengan risiko yang mereka terima karena status pegawai dapat berhenti atau tidak diperpanjang ketika kontrak sudah selesai. Pola seperti ini yang berlaku dalam dunia kerja pada umumnya. Bukan malah sebaliknya, keamanan kerja lebih berisiko sementara penghasilan lebih rendah. (Achmad Mukafi Niam)