Pustaka

Al-Ghiyatsi, Menimbang Politik dalam Syariat menurut Imam Haramain

Sab, 17 Februari 2024 | 11:00 WIB

Al-Ghiyatsi, Menimbang Politik dalam Syariat menurut Imam Haramain

ILustrasi cover kitab Al-Ghiyatsi. (Foto: NU Online)

Dinasti ‘Abbasiyah identik dengan masa keemasan Islam, di mana keilmuan berkembang begitu pesat. Di saat yang sama, dinasti yang berdiri sejak 132 Hijriah ini memulai kemerosotannya dengan ditandai berdirinya kerajaan-kerjaan kecil di beberapa wilayah seperti di Andalusia, Tunisia, Khurasan dan lain-lain.

 

Kala ‘Abbasiyah menginjakkan kaki di abad ke-5 hijirah, para pakar sejarah Islam biasa mengklasifikasikan kurun waktu ini sebagai periode ke-5 fiqih, yaitu dari pertengahan abad ke-4 keruntuhan Baghdad pada abad ke-7. Abad ini juga kerap diberi nama periode taqlid. (Hamsah Hasan, dkk, Pengaruh Sosial Politik Terhadap Pembentukan Hukum Islam, [Kuriositas: Media Komunikasi Sosial dan Kegamaan, 2021], hal. 124).

 

Di lain sisi, pada abad ke-5 juga melahirkan banyak karya penting dalam bidang siyasah atau politik, bagaimana para fuqaha memandang serta merumuskan tata kelola negara dalam kacamata syari’at. Karya prinsipil yang lahir abad ini antara lain adalah al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya al-Mawardi.

 

Selain dikenal sebagai karya yang cukup lengkap dalam menjelaskan sistem hukum yang ideal, karya tersebut juga dinilai oleh para ekonom sebagai karya yang paling komprehensif dan representatif terkait ide pokok tata kelola ekonomi suatu negara. (Hoirul Amri, Kontribusi Pemikiran Ekonomi Abu Hasan al-Mawardi, [Economica Sharia, 2016], hal. 11).

 

Barangkali kita cukup familiar dengan kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya Al-Mawardi, akan tetapi pada kurun waktu yang tidak begitu jauh, muncul juga karya serupa yang membahas persoalan tata kelola negara dan persoalan hukum seputar kepemimpinan, yaitu al-Ghiyatsi.

 

Buku ini dikenal dengan sebutan ‘al-Ghiyatsi’ karya Imam Haramain al-Juwayni, gurunya Imam al-Ghazali. Nama lengkap buku ini adalah Ghiyatsul Umam fit Tiyatsidh Dhulam, atau artinya dalam bahasa Indonesia adalah ‘Penopang Bangsa dari Noda Kezaliman.”

 

Dari segi tingkat bahasa, karya ini cukup rumit dipahami kecuali bagi orang yang mengerti bahasa Arab dengan struktur dan gramatikal tingkat lanjut. Kosakata yang digunakan juga tidak umum dan mudah. Misalnya dalam dalam redaksi penutup mukadimah kitab beliau memohon perlindungan pada Allah:

 

ولكل كتاب معمود ومقصود، ومنتحى مصمود، يجري مجرى الأساس من البنيان،.. وها أنا أبوح بمضمون الكتاب وسره، ثم أَنفُتُ لهيب الفكر صالياً بحره، وأتبرأ عن حولي وقوتي، لائذاً بتأييد الله ونصره 

 

Artinya, “Setiap kitab ada landasan dan tujuannya, serta arahnya yang kokoh dan berjalan sebagaimana landasan dari penjelasan tersebut... dan ini aku ungkapkan isi kitab tersebut beserta rahasianya, aku tiupkan ide pikiran yang membara dengan kedalamannya bak lautan, seraya aku mengingkari kekuatan dan dayaku, mencari perlindungan dengan pertolongan dan kekuatan dari Allah.” (Imam Haramain, al-Ghiyatsi, hal. 209).

 

Penulis buku ini pasca memaparkan mukadimahnya dengan dua klasifikasi hukum dari tinjauan detail halal-haram, tujuan (maqashid) syariat, sumber dan rujukannya. Pertama adalah hukum yang kaitan dan wilayahnya berada pada para pemimpin negara dan penguasa serta pemegang kebijakan. Kedua adalah hukum yang independen ada pada masing-masing individu pelaksanaannya.

 

Selanjutnya menuju kepada substansi kitab ini, Imam Haramain memulai dengan menjelaskan kriteria pemimpin, penguasa, pengambil kebijakan dan sistem tata kelola negara. pada bagian selanjutnya, yaitu deskripsi mengenai orang-orang yang dapat diberi tanggung jawab memimpin, yaitu mereka para ahli ijtihad.

 

Secara garis besar, kitab al-Ghiyatsi memiliki tiga pilar. Pertama adalah bahasan seputar imamah atau topik-topik kepemimpinan. Kedua adalah pembahasan mengenai ketetapan akan suatu masa tidak pernah luput dari adanya sosok pemerintah dan pemimpin bangsa. Ketiga, pembahasan mengenai merosotnya orang-orang yang menjunjung hukum syariat.

 

Al-Ghiyatsi memang dapat mencerminkan pandangan ideal Imam Haramain terkait pemimpin, di mana mereka harus memahami betul kewajiban-kewajiban syari’at, sehingga pada beberapa dilampirkan pula pembahasan seputar bersuci seperti wudhu, mandi, puasa, bahkan hingga menikah.

 

Beberapa pembahasan tersebut memang berangkat dari cerminan masyarakat di wilayah Imam Haramain tinggal. Tentunya, standarisasi ini tidak selalu relevan diterapkan di setiap masa, terkhusus ketika negara bangsa serta penyebaran kaum muslimin menjadi begitu masif.

 

Menariknya, Imam Haramain pada akhir-akhir kitab ini menuliskan tanya jawab futuristik, yaitu pasca penjelasan panjang lebar terkait hukum syariat prinsipil perihal kepemimpinan ini ia tulis, barangkali di masa depan masyarakat muslim bahkan tidak paham detail ajaran Islam kecuali pokoknya saja, lantas apa manfaatnya?

 

Imam Haramain lewat jawaban imajinasinya memperkirakan, bahwa pada suatu masa nanti ilmu syariat tidak lagi digandrungi layaknya di masa ia hidup dan juga masa-masa sebelumnya. 

 

Terkait jawaban yang diyakininya ini, merosotnya syari’at dan punahnya minat serta ketidakpedulian masyarakat pada ilmu syari’at karena para pemimpin yang benar-benar memahami ilmu syari’at menghilang, kemudian muncul mereka yang suka menjelaskan hukum dengan melebih-lebihkan untuk memuaskan masyarakat, bahkan dengan isu-isu kontroversial yang mereka banggakan, atau pembahasan yang dibuat-buat. 

 

Munculnya fenomena ini  menurut Imam Haramain merupakan faktor di masa depan (sejak masa beliau hidup), bahwa para pakar hukum akan segera punah, sehingga kaum muslimin hanya diwariskan buku-buku karya para pakar itu saja.

 

Pada masa di mana kaum muslimin hanya menerima salinan-salinan karya dari para imam terdahulu, maka tradisi yang muncul adalah tradisi membaca karya tersebut secara mandiri tanpa membacanya di hadapan seorang pakar, sehingga boleh jadi akan muncul misunderstanding atau kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dimaksud.

 

“Maka saya kumpulkan bab-bab ini seraya berharap agar salinannya tersebar ke seluruh negeri dan andai orang-orang di satu masa menemukan kitab ini, hampir dipastikan mereka dapat memahami bab-bab pembahasan dalam kitab ini..” Ujar Imam Haramain dalam penutupan kitabnya.

 

Identitas buku:
Judul : Ghiyatsul Umam fit Tiyatsidh Dhulam
Penulis : Imam Haramain
Tebal: 655 halaman
Penerbit: Darul Minhaj
Tempat terbit: Arab Saudi
Tahun Terbit: 2011

 

Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences