Pustaka

Berdakwah dengan Cinta

Sen, 8 November 2010 | 08:00 WIB

Judul Buku: Perisai Pribadi Muslim, Sebuah Catatan dari Ladang Dakwah
Penulis: Moh Nurhasan
Penerbit: Resist Literacy, Malang
Cetakan: I, Oktober 2010
Tebal: xviii + 146 halaman
Peresensi: M Husnaini


Tidak banyak aktivis dakwah yang mau menuliskan pengalaman dan materi dakwahnya menjadi sebuah buku. Sebab itulah, buku berjudul Perisai Pribadi Muslim, Sebuah Catatan dari Ladang Dakwah ini jelas merupakan sebuah upaya cerdas untuk mengisi kekosongan itu.<>

Memang, buku ini berisi kumpulan tulisan tentang pengalaman dan materi dakwah yang ditulis oleh salah seorang juru dakwahyang sudah berpengalaman terjun dalam bidang dakwah Islam. Menyibak helai demi helai halaman buku ini, segera tampak kepada kita betapa Moh Nurhasan, sang penulis, adalah seorang “duta Islam” yang mampu mengemas dakwahnya dengan bahasa-bahasa yang menyejukkan. Ia telah menghadirkan Islam dengan bahasa cinta.

Orang bilang, agama (baca: Islam) itu ibarat musik. Bisa dipahami jika setiap orang yang memeluk Islam, hidupnya dipenuhi keindahan. Jiwa orang Islam senantiasa merasa damai dan tentram karena diayomi dan diselimuti oleh ajaran Islam.

Meski demikian, tidak gampang menghadirkan ajaran Islam sebagai sesuatu yang indah dan menentramkan. Diperlukan juru dakwah yang benar-benar mampu memahami Islam secara paripurna. Ia dituntut mampu menerjemahkan ajaran Islam dengan bahasa cinta. Dakwah yang disampaikan harus menyejukkan, agar menarik simpati banyak orang. Lugasnya, keberhasilan dakwah dapat dilihat dari sejauh mana cinta berperan di dalamnya.

Sebaliknya, dakwah itu tidak boleh dilakukan dengan media-media atau cara-cara yang menakutkan. Sebab, yang demikian itu justru antitesa dari wajah Islam yang sebetulnya sedang ia tampilkan. Cinta adalah ruh Islam. Dan, Rasulullah, sebagai duta teladan Islam, adalah juga seorang maestro cinta. Cinta yang begitu dalam menyebabkan tidak setitik nila dari kebencian singgah di hati Rasulullah. Inilah di antara kunci sukses dakwah Rasulullah. Bahasa cinta terbukti lebih dahsyat ketimbang bahasa yang kasar.

Sayang, fakta di lapangan tidak seindah harapan. Tidak susah menemukan juru dakwah yang justru bertolakbelakang dengan yang telah Rasulullah teladankan itu. Islam tidak diajarkan dengan bahasa cinta. Akibatnya mudah diduga. Banyak pengajian, ceramah, tausiah, forum keagamaan, dan semisalnya, tidak mampu meneteskan embun kesejukan dan keramahan bagi jamaahnya. Jamaah mundur dengan teratur.

Dalam konteks inilah, sesungguhnya buku ini layak menjadi bahan perenungan. Ia berisi contoh-contoh nyata tentang kegiatan dakwah dengan cinta. Materi dakwah seperti tersaji dalam buku ini juga dikemas dengan bahasa yang lugas, sederhana, dan bahkan cenderung kocak, sehingga menarik minat banyak orang. Benar Pradana Boy ZTF, dalam pengantarnya, yang menyatakan bahwa sang penulis telah sanggup menggabungkan pendekatan akademis dengan pendekatan kemasyarakatan saat menyajikan materi dakwahnya.

Ini jelas bukan persoalan mudah. Faktanya, banyak juru dakwah mampu menyampaikan ceramah dengan bahasa-bahasa akademis, tetapi gagal menerjemahkannya ke dalam bahasa yang mudah dicerap masyarakat awam. Demikian pula, mudah menemukan juru dakwah yang cerdas menyampaikan ceramah-ceramah dengan bahasa awam, tetapi tidak benar-benar fasih memformulasikannya ke dalam bahasa akademis.

Ada yang malah mengubah wajah Islam menjadi kaku. Sang juru dakwah tiba-tiba menjelma menjadi “malaikat” yang gemar sekali melakukan penghakiman terhadap berbagai persoalan keagamaan di kalangan umat. Ia tidak lagi menjadi “keranjang sampah” yang menampung segala keluhan umat. Banyak persoalan hidup sehari-hari segera diberikan vonis hukum tanpa dipahami terlebih dahulu secara tuntas, sehingga dakwah yang disampaikan tidak membuat jamaah nyaman.

Padahal, juru dakwah adalah ujung tombak penyebaran ajaran Islam. Sudah selaiknya ia menjadi representasi dari ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Masjid dan majelis taklim itu adalah tempat-tempat yang memancarkan cinta. Masjid dan majelis taklim bukan tempat yang dipenuhi acungan tangan yang mengepal atau mata yang merah menyala karena kemarahan.

Dakwah harus disampaikan dengan hati nurani dan kelembutan. Inilah yang dicontohkan Rasulullah ketika beliau menjawab pertanyaan dari seorang yang merasa banyak dosa dan tidak akan dapat mencicipi surga. Orang itu bertanya, “Wahai Rasulullah! Siapakah sebenarnya yang berhak masuk surga?” Dengan lembut Rasulullah menjawab, “Semua umat Islam masuk surga, kecuali mereka yang enggan.” Merasa masih ada yang mengganjal dalam hati, orang itu melanjutkan pertanyaan, “Siapakah yang engkau maksud sebagai orang-orang yang enggan itu?” Jawab Rasulullah, “Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasulullah, dia masuk surga. Dan barangsiapa yang berkhianat kepadaku, itulah orang-orang yang enggan itu.”

Jawaban Rasulullah itu terdengar amat sejuk di telinga. Riwayat itu membuktikan betapa Rasulullah benar-benar menggunakan bahasa cinta dalam berdakwah. Beliau tidak serta merta memvonis si penanya sebagai calon penghuni neraka, meskipun beliau tahu betul bahwa orang yang sedang di hadapannya adalah seorang ahli maksiat.

Dus, kehadiran buku ini menjadi inspirasi kita bersama. Di dalamnya ada kritik, refleksi, dan petuah-petuah bijak yang akan menyelamatkan kita dari kegilaan zaman modern. Memang, tidak ada metode khusus yang digunakan sebagai patokan dalam berdakwah di zaman sekarang. Semua bentuk metode bisa diterapkan. Yang harus diingat, hakikat dakwah adalah untuk mengajak umat mengamalkan ajaran Islam. Sementara Islam itu sendiri adalah agama kedamaian, ketenangan, dan kesejukan. 

*Pecinta buku, pendidik di PP Al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan