Pustaka

Etjapan Tarjuman, Kitab Fiqih dalam Pegon Madura

Sab, 28 Desember 2019 | 08:00 WIB

Etjapan Tarjuman, Kitab Fiqih dalam Pegon Madura

KH Abdul Hamid bin Itsbat dan kitab Etjapan Tarjuman

Di Pamekasan khususnya, ada sebuah kitab fiqih berbahasa Madura yang sampai sekarang masih populer di kalangan masyarakat sebagai kitab panduan ibadah dan mu’amalah. Ia dikenal dengan nama kitab Tarjuman, sebuah kitab beraksara Pegon dan menggunakan bahasa Madura. Kitab ini ditulis oleh KH Abdul Hamid bin Itsbat.

 

KH Itsbat (w. 1868 M), ayah dari KH Abdul Hamid sendiri adalah pendiri Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan yang didirikan pada tahun 1204 H atau bertepatan dengan 1787 M. Dengan demikian pesantren ini termasuk pesantren tertua di Madura. Dan berdasarkan tahunnya, pesantren ini adalah lebih tua dari pada Pondok Pesantren Kademangan Bangkalan asuhan Kiai Kholil Bangkalan.

 

Kiai Abdul Hamid Itsbat dan ayahnya, sebagaimana dalam kebudayaan intelektual ulama pesantren Nusantara di masa lalu, adalah alumni Makkah. Beberapa catatan seperti dalam profil pesantren ini sendiri secara tersirat menyatakan bahwa KH Abdul Hamid Itsbat adalah seorang pengajar yang penting di Makkah. Bahkan ia pun wafat di sana pada tahun 1252 H atau bertepatan dengan 1931 M.

 

Kiai Itsbat adalah putra dari KH Ishaq. Jika kita urut silsilah ini ke atas maka akan bermuara pada dua orang Wali Songo, yaitu Sunan Ampel dan Sunan Giri. Kiai Itsbat sendiri memiliki putra Kiai Abdul Hamid. Kiai Abdul Hamid memiliki putra Kiai Abdul Madjid bin Abdul Hamid Itsbat. Lalu Kiai Abdul Majid memiliki putra Kiai Abdul Hamid Baqir yang populer di kalangan masyarakat sebagai Kiai Baqir. Kiai Abdul Majid merupakan pengasuh Pesantren Bata-bata Pamekasan dan penulis kitab ‘Nubdzah fi Qawaid an-nahwiyah.’

 

Kitab Tarjuman, berdasarkan catatan di dalam pengantarnya oleh putra Kiai Abdul Hamid Baqir (putra Kiai Abdul Majid dan cucu dari Kiai Abdul Hamid serta cicit dari Kiai Itsbat), merupakan hasil kumpulan tulisan atau semacam makalah yang disampaikan Kiai Abdul Hamid Itsbat kepada jamaah majelis ta’limnya. Sebuah majelis ilmu cikal-bakal yang dirintis Kiai Itsbat sejak abad ke-18 yang kelak menjadi salah satu pesantren terbesar di Madura, yaitu Pesantren Banyuanyar. Secara implisit dikatakan dalam pengantar kitab tersebut bahwa Kiai Abdul Hamid terbiasa menulis tangan setiap materi yang akan disampaikan kepada para jamaahnya yang melaksanakan kegiatan ta’lim secara teratur dan terjadwal.

 

Berdasarkan kata pengantar dalam Kitab Tarjuman ini, dapat diketahui pula bahwa setelah rentang waktu yang cukup lama tahun 1970 datanglah seorang penduduk sekitar pesantren yang mengusulkan kepada KH Hamid Baqir untuk mengumpulkan makalah Kiai Abdul Hamid Itsbat itu. Ia pula mengaku memiliki beberapa kumpulan tulisan itu meskipun tidak lengkap. Kemudian ia mengaku siap untuk berusaha mencari dan menelusuri makalah-makalah yang lain. Dari sini jelas bahwa jika seorang penduduk yang datang itu adalah santri KH Abdul Hamid, maka ia sudah sepuh sekali ketika ia bertemu dengan Kiai Baqir.

 

Kiai Hamid setuju akan hal itu dan kemudian usaha penelusuran itu segera dilakukan. Hasilnya, jadilah apa yang sekarang dinamakan dengan kitab ‘Tarjuman’ ini. Kata tarjuman itu sendiri berarti ‘kompilasi’ atau ‘kumpulan tulisan.’ Kini di sampul kitab tersebut tertulis judul "Panikah ecapan tarjuman deri tolesnah al-Marhum Kiyai Haji Abdul Hamid bin Itsbat Banyanyar Pamekasan" (Inilah kumpulan karya Tarjuman dari tulisan KH Abdul Hamid Itsbat Banyuanyar Pamekasan).

 

Lalu mengapa kitab ini menjadi populer di kalangan masyarakat Madura, khususnya Pamekasan?

 

Jawabannya adalah karena pembahasan dalam kitab ini cukup komprehensif, cukup lengkap. Selain itu juga sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat Madura. Buku ini terdiri dari 141 bab. Bab pertama membahas tentang tauhid. Bab ke-2 sampai dengan bab ke-32 membahas tentang shalat. Bab ke-33 sampai dengan bab ke-60 membahas tentang akhlak dan tasawuf praktis. Bab ke-61 sampai dengan ke-73 membahas tentang hal-hal yang berkenaan dengan puasa wajib dan puasa sunnah. Bab ke-74 sampai dengan ke-82 membahas tentang i'tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Bab tersisa membahas berbagai hal mulai masalah tajwid, pernikahan, zakat, dan waris.

 

Selain itu, dalam kitab ini juga dibahas tentang mu’amalah seperti masalah jpinjaman (‘ariyah), dan sebagainya. Pada bagian menjelang akhir bab, kitab ini mengulas hukum waris serta prosedur penghitungan dan pembagiannya. Lalu pada bagian akhir disinggung mengenai wirid dan doa-doa. Jadi jelaslah bahwa pembahasannya telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Sehingga masalah-masalah yang tidak kontekstual seperti masalah perbudakan dan masalah sepatu (khuf) tidak dibahas.

 

Kitab ini selesai dikumpulkan—dari yang asalnya tulisan tercecer—menjadi suatu buku lengkap dan dicetak pertama kali pada tahun 1970. Dan sampai sekarang masih tersedia di perpustakaan Itsbatiyah Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan.

 

 

Peresensi adalah R. Ahmad Nur Kholis, kader NU kelahiran Pamekasan Madura. Tulisan ini juga bersumber dari penuturan KH R Abd. Syahir (warga Pamekasan) dan situs resmi Pesantren Banyuanyar

 

 

Identitas Kitab

Judul kitab: Etjapan Tarjuman (Bunga Rampai Tarjuman)

Penulis: KH. Abdul Hamid bin Itsbat bin Ishaq

Tebal: 211 halaman

Penerbit: Al-Itsbatiyah Ponpes Banyuanyar Pamekasan

Tahun terbit pertama (dalam cetakan): 1400 H/1980 M