Pustaka

Kiai Sahal Mengelola Pesantren dan Perguruan Tinggi

Kam, 5 Oktober 2023 | 15:00 WIB

Kiai Sahal Mengelola Pesantren dan Perguruan Tinggi

Berguru kepada Kiai Sahal: Mengelola Pesantren dan Perguruan Tinggi Islam karya Ahmad Muchlison Rochmat. (Foto: NU Online/Syakir)

Pendidikan menjadi modal penting bagi manusia dalam mengarungi kehidupan. Pengetahuan, wawasan, dan pengalaman yang kita miliki menjadi pedoman yang dapat mengarahkan kita dalam berlaku, mengambil sikap, dan memutuskan suatu perkara agar dapat berjalan dengan baik. Dari sini, pendidikan bukanlah sebuah tujuan, melainkan wasilah, sarana untuk mencapai kehidupan yang dicita-citakan, yang diharapkan, dan tentu lebih baik.


Dalam memenuhi itu, pendidikan bukan sekadar transmisi pengetahuan dan wawasan belaka. Lebih dari itu, ada transmisi nilai-nilai yang dialirkan bukan saja dari lisan, tetapi dari laku guru yang mesti menjadi teladan bagi anak didiknya. Hal inilah substansi yang ditekankan oleh KH MA Sahal Mahfudz, sosok kiai yang sangat berpengaruh di akhir abad 20 dan awal abad 21.

 

Bukan saja karena jabatannya yang mentereng sebagai Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), tetapi juga karena kiprahnya di dunia pendidikan. Betapa tidak, sosoknya menjadi motor dalam perubahan sistem pendidikan di Perguruan Islam Mathaliul Falah (PIM) dan Pondok Pesantren Maslakul Huda, serta Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara, Jawa Tengah.


Pendidikan yang ideal dalam pandangan ulama yang dikenal dengan sapaan Kiai Sahal tersebut bukan saja terletak pada penekanan terhadap anak didik, keharusan melakukan ini dan itu dan larangan untuk bertindak begini begitu. Baginya, ada hal yang tak kalah penting, yaitu faktor guru yang memberikan keteladanan terhadap seluruh anak didiknya. Sebab, di situlah sejatinya pendidikan.


Oleh karena itu, Kiai Sahal memberikan garis batas yang tak boleh diseberangi oleh guru atau dosen sebagai pendidik. Garis batas itu ia kutip dari pandangan Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, yaitu (1) kasih sayang; (2) tidak mencari harta dari pengetahuan; (3) jujur dan menekankan ilmu sebagai jalan menuju Allah swt; (4) Tidak menyebarkan kesalahan anak didik; (5) toleran; (6) sesuaikan dengan kemampuan anak didik; (7) mendalami kejiwaan anak didik; dan (8) menguasai materi dan mempraktikkannya.

 

Kiai Sahal juga memberikan panduan dalam rangka mentransmisikan nilai-nilai agar dapat diterima anak didik. Hal ini dilakukan dengan beberapa pendekatan, yakni (1) doktrinal, (2) otoritatif, (3) kharismatik, (4) penghayatan, dan (5) rasional. 


Hal tersebut dijelaskan secara terperinci oleh Ahmad Muchlison Rochmat dalam bukunya yang berjudul Berguru kepada Kiai Sahal: Mengelola Pesantren dan Perguruan Tinggi Islam. Buku ini mengupas kiprah Kiai Sahal dalam membentuk sistem pendidikan di dalam institusi yang dirintis dan dipimpinnya.

 

Sistem yang dibangunnya ini sudah terbukti melahirkan tokoh-tokoh mumpuni dalam kapasitasnya di berbagai bidang keilmuan dan sektor kehidupan. Para anak didiknya menempati berbagai pos penting, mulai dari tingkat lokal hingga nasional.


Sebab, Kiai Sahal menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah menciptakan anak didik sebagai khalifah Allah yang saleh nan akram (mulia). Tujuan menjadi satu hal pokok dalam dunia pendidikan. Mengutip Ralph W Tyler dalam Basic Principles of Curriculum and Instruction (1969), tujuan menjadi satu tahapan pertama dalam pendidikan sebelum kemudian melangkah pada pengalaman, organisasi pengalaman, dan evaluasi.


Mengingat tujuan pendidikan yang hendak dicapai di atas, tak ayal nilai-nilai norma dan etika yang menjadi substansi inti dalam pendidikan yang diterapkannya. Hal ini juga sejalan dengan taksonomi yang diteorisasi oleh Benjamin S Bloom, bahwa pendidikan tidak terbatas pada ranah kognitif, tetapi juga ada domain lain yang perlu dijangkau juga, yakni ranah afektif dan psikomotorik.


Domain afektif ini menjadi hal substansial yang tidak hanya disampaikan melalui penuturan dari gurunya, melainkan juga diteladankan. Anak didik melihat gerak tindakan guru dapat terinternalisasi sendiri. Domain afektif ini meliputi sikap, nilai, ketertarikan, dan apresiasi terhadap anak didiknya. Tak ayal, Kiai Sahal menekankan betul kepada para guru atau tenaga pendidik untuk tidak lepas dari rambu-rambu yang sudah digariskan oleh Imam Al-Ghazali. 


Oleh karena itu, buku ini penting menjadi pedoman dalam membentuk sistem dalam institusi pendidikan kita. Sebab, tujuan dan sistem pendidikan yang diuraikan Muchlison didasarkan atas pandangan dan aplikasi penerapan Kiai Sahal sudah cukup rinci. Hanya saja memang, jika kembali kepada taksonomi Bloom, domain psikomotorik tidak menjadi aspek yang terlalu diperhatikan dalam sistem ini. Hal tersebut yang perlu disentuh oleh kita agar pendidikan dapat lebih sempurna.


Peresensi Syakir NF, pelayan di Perpustakaan Cipujangga, Padabeunghar, Pasawahan, Kuningan, Jawa Barat

 

Identitas Buku

Judul: Berguru kepada Kiai Sahal: Mengelola Pesantren dan Perguruan Tinggi Islam
Penulis: Ahmad Muchlison Rochmat
Tebal: xiii + 250 halaman
Terbit: 2023
Penerbit: Emir
ISBN: 978-623-6698-31-0