Pustaka

Kitab Tafsir Hidayatul Qur’an Karya KH Afifudin Dimyathi: untuk Kemanusiaan dan Peradaban

Sen, 25 Desember 2023 | 21:00 WIB

Kitab Tafsir Hidayatul Qur’an Karya KH Afifudin Dimyathi: untuk Kemanusiaan dan Peradaban

KH. Afifudin Dimyathi. (Foto: NU Online)

Geliat penafsiran Al-Qur'an oleh para ahli tafsir (mufassir) Nusantara seakan tidak pernah surut. Sejak awal masuknya Islam ke bumi Nusantara, tercatat telah muncul sejumlah mufassir Nusantara yang mewakili setiap zamannya, sebutlah di antaranya Syaikh Abdurrauf As-Sinkili, KH Muhammad Soleh Darat pada masa jauh sebelum Indonesia merdeka, kemudian KH Abdul Sanusi, Buya Hamka, dan KH Bisri Mustofa di era menjelang dan masa awal kemerdekaan Indonesia. Di era kontemporer sebutlah Muhammad Quraish Shihab, KH Thoifur Ali Wafa, KH Shodiq Hamzah Utsman yang semuanya menafsirkan Al-Qur'an 30 Juz dan masih banyak yang lainnya. 


Yang terbaru, muncul sosok KH Afifudin Dimyathi yang baru saja menerbitkan Kitab Tafsir Hidayatul Qur’an. Kitab ini baru terbit pekan terakhir bulan Desember 2023 dan diterbitkan oleh penerbit Dar al-Nibras, Kairo-Mesir.


Selayang Pandang Tafsir Hidayatul Qur’an

Tafsir Hidayatul Qur’an fi Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an (Kairo: Dar al-Nibras, 2023) merupakan kitab tafsir yang ditulis oleh KH Muhammad Afifuddin Dimyathi, Pengasuh Pondok Pesantren Darul ‘Ulum Jombang yang kini berkhidmat sebagai Katib PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Penamaan kitab ini merupakan suatu bentuk tabarurrukan sang muallif (penulis) kepada KH Muhammad Mufid Mas’ud (Pendiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Sleman) yang memberikan nama Hidayatul Qur’an untuk pondok tahfidz al-Qur’an dan dirasah al-Qur’an yang diasuh oleh Gus Awis, sapaan karibnya. 


Sebelumnya, KH Muhammad Afifuddin Dimyathi telah menerbitkan beberapa kitab terkait Ulum al-Quran dalam bahasa Arab, di antaranya: Mawarid al Bayan fi Ulum al-Qur’an (Sidoarjo: Lisan Arabi, 2014); Ilmu al-Tafsir: Ushuluhu wa Manahijuhu (Sidoarjo: Lisan Arabi, 2016);  Al-Syamil fi Balaghah al-Quran (Kairo: Dar al-Nibras, 2021), dan lain-lain.


Kitab Hidayatul Qur’an merupakan kitab tafsir 30 Juz yang terdiri dari 4 (empat) jilid. Jilid pertama merupakan tafsir dari QS. al-Fatihah hingga QS. al-An’am; jilid kedua merupakan tafsir dari QS. al-A’raf hingga QS. Maryam; jilid ketiga merupakan tafsir dari QS. Thaha sampai QS. Saad; dan jilid keempat merupakan tafsir dari QS. al-Zumar hingga QS. al-Naas. Keempat jilid tafsir ini memiliki ketebalan 560 halaman. 


Tafsir Hidayatul Qur’an menerapkan metode ijmali, yaitu menguraikan narasi umum tentang ayat dalam al-Qur’an. Dalam menguraikan penafsirannnya, muallif kitab ini pertama-tama menyebutkan nama surat, mengklasifikasikan setiap surat ke dalam Makkiyah atau Madaniyah, menyebut jumlah bilangan ayat sesuai dengan kesepakatan jumhur ulama dan para mufassir. Setelah penjelasan tentang identitas surat selesai diuraikan, muallif kemudian menguraikan ayat demi ayat dalam setiap surat dengan memberikan penjelasan secara umum, kemudian menafsirkan setiap ayat dengan ayat-ayat al-Qur’an yang lain yang mengandung pembahasan yang sama.


Kitab Hidayatul Quran disusun secara tartib mushafi mengacu kepada mushaf Ustmani. Dalam setiap halaman terdapat keterangan bilangan juz, nama surat, dan nomor halaman. Secara umum, Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an tersebut lebih banyak menguraikan penjelasan suatu ayat dengan ayat-ayat lain dalam al-Qur’an. Kalau pun terdapat hadits-hadits yang dikutip dalam kitab ini, hadits-hadits tersebut pasti berkaitan dengan penjelasan Nabi saw. tentang suatu ayat al-Qur’an menggunakan ayat al-Qur’an. 


Begitu pula jika mengutip kitab-kitab tafsir lain yang telah terlebih dahulu terbit, rujukan dari tafsir lain yang dikutip tersebut pasti juga masih berkaitan dengan tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an. Kitab ini diberi kata pengantar oleh KH Miftachul Akhyar (Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Indonesia) dan Syaikh Prof Muhammad Salim Abu Ashi (Guru Besar Tafsir wa Ulum al-Qur’an dari Universitas al-Azhar Mesir).


Corak Penafsiran

Kitab Hidayatul Qur’an merupakan tafsir yang ditulis untuk memudahkan orang-orang dalam memahami al-Qur’an. Salah satu bentuk kemudahan dalam memahami al-Qur’an yang ditawarkan oleh kitab ini adalah usaha muallif dalam menghubungkan antara satu ayat dengan ayat lain yang berkaitan. Ayat-ayat yang bermakna umum dijelaskan dengan ayat-ayat lain yang memiliki makna khusus. Ayat-ayat yang penjelasannya ringkas dan sederhana diuraikan oleh muallif dengan ayat-ayat yang penjelasannya lebih detail tentang tema atau hal yang sama.


Salah satu fungsi menghubungkan satu ayat dengan ayat lain adalah untuk memperluas keterangan. Sebagai contoh, penjelasan tentang lailatul qadar dalam QS. al-Qadr ayat 1 diperluas keterangannya dengan QS. ad-Dukhan ayat 3. Adapun fungsi lain dari menghubungkan ayat-ayat yang berkaitan adalah untuk memberikan penjelasan khusus atas keterangan yang masih umum. 


Sebagai contoh, perintah kewajiban berpuasa dalam QS. al-Baqarah ayat 183 yang masih bersifat umum atau global diperinci dengan QS. al-Baqarah: 185. Tidak sekadar menghubungkan satu ayat dengan ayat lain yang berkaitan untuk memberikan penjelasan yang lebih utuh, dalam beberapa penjelasan di kitab tafsir ini, ayat-ayat yang berkaitan juga diberi penjelasan secara kronologis. 


Dalam tafsir Hidayatul Qur’an, muallif berusaha menghubungkan antar ayat yang berkaitan. Jika terdapat ayat yang tidak ditemukan kaitannya dengan ayat lain, muallif memilih untuk tidak menafsirkan ayat tersebut dan sekadar menuliskan ayatnya secara utuh tanpa penafsiran atau penjelasan. Namun di dalam tafsir ini, ayat yang tidak ditafsirkan jumlahnya sangat sedikit. Dengan kata lain, muallif memilih bersikap hati-hati dan setia dengan pilihan menafsirkan al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an. 


Selain sikap kehati-hatian, pilihan muallif untuk konsisten pada model penafsiran Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an juga patut diapresiasi. Rujukan-rujukan lain yang dikutip di dalam tafsir Hidayatul Qur’an dipilih secara ketat sejauh ia relevan dengan model penafsiran al-Qur’an bi al-Qur’an. Hadits-hadits atau pendapat para ulama yang dikutip di dalam tafsir tersebut hanya digunakan sejauh penjelasannya masih dalam koridor Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an


Tafsir untuk Kemanusiaan dan Peradaban

Sikap kehati-hatian itu tercermin pula ketika muallif menafsirkan ayat-ayat perang atau ayat-ayat yang sering ditafsirkan secara radikal. Muallif menjelaskan konteks suatu pernyataan yang terkesan “keras” dengan diberi konteks melalui penjelasan ayat-ayat lain. Sebagi contoh, ketika muallif menafsirkan QS. Nuh 26 tentang doa Nabi Nuh as., “Ya Tuhanku, jangan Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” 


Muallif memberikan konteks bahwa Doa Nabi Nuh As. tersebut dilatarbelakangi QS. Hud ayat 36, kemudian QS. Nuh. ayat 27 yang menegaskan alasan Nabi Nuh mengucap doa tersebut. Lalu muallif mengkaitkan pula doa Nabi Nuh as ini dengan QS. al-Ankabut ayat 14. Dengan penjelasan yang lebih utuh, kekeliruan pemahaman akan lebih dapat diminimalisir.


Begitu pula ketika muallif menjelaskan tentang ayat-ayat qital dan ayat-ayat perang. Misalnya ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat 190, muallif menguraikan penegasan syarat khusus golongan yang boleh diperangi dan batasan golongan yang tidak boleh dibunuh agar umat Islam tidak melampaui batas. Syarat dan batasan tersebut penting untuk ditegaskan untuk melawan narasi kelompok Islam radikal. Dalam tafsir ini ditegaskan juga bahwa ayat-ayat qital muncul dalam konteks mempertahankan diri, bukan untuk memulai perang.


Dalam suatu kesempatan, KH. Afifudin Dimyathi menyampaikan pada kami bahwa penulisan Tafsir Hidayatul Qur'an ini mendapatkan inspirasi dari gelaran Fiqih Peradaban yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama beberapa tahun belakangan. Misi untuk mencari jalan keluar atas berbagai permasalahan yang dialami oleh umat manusia kontemporer yang diusung oleh Nahdlatul Ulama memantik Gus Awis untuk menulis tafsir yang sejalan dengan misi tersebut. 


Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf, tujuan dihelatnya fiqih peradaban adalah untuk menjembatani jurang antara realitas kehidupan umat manusia saat ini dengan wawasan keagamaan yang dimiliki umat Islam selama ini. Atas latar belakang itulah, Gus Awis menyusun Tafsir ini sehingga dalam banyak penafsirannya, ia membawa misi Islam yang moderat dan kontekstual.


Kitab tafsir ini dapat menjadi sarana bagi umat Islam dalam memahami al-Qur’an secara lebih menyeluruh. Melalui kitab ini, para pembaca yang awam akan mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang kisah-kisah di dalam al-Qur’an. Penjelasan tentang ayat-ayat hukum juga dijelaskan secara lebih detail. Bagi para penghafal al-Qur’an, kitab ini dapat menjadi panduan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an secara menyeluruh, sebab muallif menguraikan penafsirannya dengan menghimpun ayat-ayat yang berdekatan, baik secara makna maupun secara redaksional/lafadz. 


Bagi para pengkaji al-Qur’an, tafsir ini akan memberi kemudahan misalnya dalam mengkaji al-Qur’an secara tematik. Secara umum, tafsir ini relatif mudah untuk dipahami sebab penjelasannya sangat praktis. Semoga terbitnya kitab tafsir ini dapat menjadi washilah bagi kita semua untuk memperoleh kemudahan dalam mempelajari dan merenungi makna ayat-ayat al-Qur’an. Amiin. Wallahua’lam bis shawab.


Badrul Munir Chair, Alumni PP. Darul ‘Ulum Rejoso Jombang/ Dosen UIN Walisongo Semarang