Pustaka

Maslakut Tanasuk al-Makki, Kitab Tarekat Santri Al-Anwar Sarang

Sel, 13 Februari 2024 | 15:00 WIB

Maslakut Tanasuk al-Makki, Kitab Tarekat Santri Al-Anwar Sarang

Ilustrasi cover kitab Maslakut Tanasuk al-Makki. (Foto: NU Online)

Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang terkenal dengan kualitas lulusannya yang ahli di bidang fiqih Islam. Di antara alumninya yang ahli dalam hukum Islam adalah KH Baha’uddin Nur Salim atau Gus Baha dan KH Sholahudin Munshif Jember. Selain itu, para santri dan alumninya juga banyak yang aktif dalam forum bahtsul masail, baik antar pesantren maupun di LBM NU tingkat cabang, dan wilayah. 

 

Di sisi lain, pesantren ini tidak terkenal dari sisi tarekat yang dianut sebagaimana pesantren besar lain yang memiliki ketersambungan tradisi tarekat dalam kehidupan santrinya. Pesantren Al-Anwar hanya terkenal dengan tarekat ta’lim wa ta’allum, yakni tradisi ngaji kitab kuning sesuai dengan manhaj salafiyah para ulama terdahulu dalam menjaga tradisi keilmuan Islam.

 

Jika ditelisik lebih dalam, ternyata pesantren ini mempunyai kesinambungan tradisi tarekat meskipun tidak sebagaimana tradisi tarekat pada umumnya. Hal ini dibuktikan dengan kitab Maslakut Tanasuk al-Makki wa Takmilatuhu karya pendiri pesantren ini, yakni KH Maimoen Zubair.

 

Dalam pengantarnya, Mbah Maimoen menyebutkan bahwa tujuan penulisan kitab itu adalah untuk mengikat tali ketersambungan beliau dengan gurunya, yakni Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam hal talqin dzikir tertentu dan tarekat Idrisiyah. 

 

Kitab yang diterbitkan oleh Lajnah Ta’lif wan Nasyr PP Al-Anwar Sarang ini memiliki ketebalan 38 halaman dan ditulis dengan dua bagian. Pertama, membahas tentang sanad dzikir tertentu dari Sayyid Muhammad Alawi yang bersambung sampai kepada Rasulullah melalui Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kedua, penjelasan tentang tata cara berdzikir serta makna-makna dari dzikir yang ditalqinkan.

 

Mbah Maimoen bercerita dalam prolognya bahwa beliau mendapatkan talqin dzikir tarekat Idrisiyah dengan cara yang khas, yakni dengan menutup kedua mata, duduk di depan Sayyid Muhammad dengan saling menempelkan lutut keduanya dan membaca talqin dzikir sebagaimana berikut:

 

لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَدَ مَا وَسِعَهُ عِلْمُ اللهِ

 

La ilâha Illallâh, Muhammadur Rasulullâh fi kulli lamḫatin wa nafasin ‘adada ma was‘ahu ‘ilmullâh

 

Artinya, “Tiada Tuhan selain Allah, Nabi Muhammad adalah utusan Allah di setiap pandangan dan nafas sejumlah segala sesuatu yang tercakup dalam sifat Ilmu Allah”.

 

Pada bagian kedua kitab ini, selain membahas tentang ketersambungan sanad dan redaksi wirid serta shalawat tarekat Idrisiyah, Mbah Maimoen juga menuliskan biografi pendiri tarekat tersebut, yakni Syekh Ahmad al-Idrisi, akan tetapi beliau tidak mencantumkan kutipan dari sumber mana biografi itu ditulis (halaman 24).

 

Namun demikian, terlihat ada kemiripan antara redaksi yang ditulis oleh Mbah Maimoen dengan dua paragraf yang dikutip oleh Syekh Yusuf al-Nabhani dalam Jami’u Karamatil Auliya’ yang beliau kutip dari Syekh Ismail al-Nawab dengan tanpa parafrase. (Yusuf bin Ismail al-Nabhani, Jami’u Karamatil Auliya’, [Gujrat: Markaz Ahl Sunnat Barkat Raza, 2001] juz II, hal. 567)

 

Menurut catatan Martin Van Bruinessen dalam bukunya “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat", Tarekat Idrisiyah masuk ke Indonesia pada awal Tahun 1930-an melalui seorang kyai Sunda bernama Abdul Fattah yang kembali dari Makkah setelah mendapat ijazah dari Ahmad al-Syarif, salah seorang keturunan dari pendiri tarekat Sanusiyah yang diizinkan untuk mengajarkan tarekat ini di Indonesia. (Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, [Yogyakarta: Gading Publishing, 2020], hal. 242-243).

 

Tarekat Idrisiyah didirikan oleh Syekh Ahmad bin Idris, seorang sufi Maroko dari golongan bangsawan Idrisi yang masih keturunan Sayyid Hasan bin Ali bin Abi Thalib (halaman 24).

 

Tarekat ini juga sering disebut dengan Tarekat Khidiriyah karena Syakh Ahmad bin Idris mendapatkannya dari Sayid Abdul Wahab al-Tazi (penulis shalat Taziyah/Nariyah) kemudian dari Sayyid Abdul Aziz bin Mas’ud al-Dabbagh yang mendapatkan talqin dzikir tarekat ini melalui perantara Nabi Khidir (Muhammad Baha’uddin al-Baithar, al-Nafahat al-Aqdasiyah Syarh Shalawat al-Ahmadiyah al-Idrisiyah, [Beirut, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, tt], hal. 10)

 

Sanad tarekat ini terkesan tidak sampai pada Rasulullah karena langsung dari Nabi Khidir, namun menurut Mbah Moen, jika di lihat fakta bahwa Nabi Khidir pernah bertemu dengan Nabi Muhammad, maka tarekat ini juga bisa di klaim sanadnya bersambung dengan Rasulullah sebagaimana sahabat Nabi yang bertemu beliau dan diberikan talqin dzikir. (halaman 25)

 

Mbah Maimoen mengajarkan tarekat ini kepada santri-santrinya dengan cara membacakan kitab dan mentalqin dzikir di atas. Saat masih mondok, penulis juga sempat mengikuti pengajian kitab ini dan mendapatkan talqin dzikir tersebut di saat ‘asyrul awakhir  (sepuluh hari terahir) bulan Ramadhan pada tahun 2017.

 

Penulis sempat berfikir bahwa santri Mbah Maimoen tidak mengikuti tarekat tertentu karena melihat keseharian mereka hanya dihabiskan untuk ta’lim wa ta’allum, tetapi dengan adanya kitab ini dan dikajinya kitab ini oleh penulisnya langsung membuktikan bawah santri pesantren Al-Anwar Sarang juga bertarekat dengan mengikuti tarekat Idrisiyah. Wallahu a‘lam.

 

Identitas Kitab
Judul: Maslakut Tanassuk al-Makki fil Ittishalat bis Sayyid Muhammad bin Alawi al-Makki
Penulis: KH Maimoen Zubair Sarang
Tebal: 38 Halaman
Penerbit: Lajnah Ta'lim wan Nasyr PP. Al-Anwar Sarang
Tahun: Tanpa Tahun
ISBN: Tanpa ISBN

 

Muh. Fiqih Shofiyul Am, Tim Aswaja Center PCNU Sidoarjo.