Pustaka

Mengenal Al-Asybah wan Nazhair: Kitab Kaidah Fiqih Legendaris Mazhab Syafi’i

Sel, 18 April 2023 | 08:00 WIB

Mengenal Al-Asybah wan Nazhair: Kitab Kaidah Fiqih Legendaris Mazhab Syafi’i

Ilustrasi: Kitab Al-Asybah wan Nazhair karya Imam As-Suyuthi

Jika anda penggemar fiqih, kemudian ingin mempelajari rumus atau kaidah fiqih dengan cakupan yang sangat luas dan mendalam, maka anda tidak perlu risau, karena kitab dengan model tersebut sudah ditulis oleh banyak ulama sejak abad kedelapan hijriah hingga saat ini. Salah satu kitab kaidah fiqih yang sangat luas, detail dan melegenda​​​​​​ adalah Kitab Al-Asybah wan Nazhair fi Qawa’ida wa Furu’i Fiqhis Syafi’iyah.
 

Kitab Al-Asybah wan Nazhair merupakan adalah salah satu kitab kaidah fiqih yang ditulis dengan bahasa yang ringkas. Kitab ini memiliki banyak keunggulan jika dibandingkan dengan kitab-kitab kaidah fiqih pada umumnya. Selain karena penulisannya yang ringkas, pemaparan yang yang disampaikan pun juga dilengkapi dengan analisi kritis dan komparasi antara beberapa pendapat ulama mazhab Syafi’iyah secara khusus, dan ulama mazhab empat secara umum.
 

Kitab Al-Asybah wan Nazhair merupakan salah satu karya dari sekian banyak karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi yang ditulis pada paruh abad kedelapan hijriah, di mana kodifikasi khusus tentang rumus-rumus ilmu fiqih saat itu benar-benar dibutuhkan untuk menyimpulkan hukum-hukum fiqih yang sangat luas dan lebar.
 

Karenanya, hadirnya kitab ini menjadi alternatif untuk menyimpulkan pendapat para ulama dengan mudah dan ringkas. Ibarat para cendikiwan yang sedang kehausan setelah perjalanan yang panjang, kitab ini hadir sebagai air tawar untuk menghilangkan dahaga.
 

 

Sekilas tentang Penulis Kitab Al-Asybah wan Nazhair

Sebagaimana disebutkan dalam mukadimah Kitab Al-Asybah wan Nazhair, penulis kitab ini bernama lengkap Abul Fadhl Jalaluddin Abdurrahman bin Al-Kammal Abi Bakar bin Muhammad As-Asyuthi As-Syafi’i. Ia dilahirkan pada hari Ahad pertengahan bulan Rajab tahun 849 Hijriyah di kota Asyuth, sebuah kota yang di Mesir. Ia wafat pada tahun 911 H dan kemudian dimakamkan di Mesir.
 

Imam As-Suyuthi tumbuh di Mesir sebagai sosok yang haus ilmu pengetahuan, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjadi seorang pengembara ilmu dengan berguru pada para ulama tersohor di masa itu. Di antara guru-gurunya adalah Syaikhul Islam Imam Al-Bulqini, Syekh Syarafuddin Al-Munawi, Syekh Saifuddin Al-Hanafi, Syekh Muhyiddin, dan ulama tersohor lainnya.
 

Di bawah bimbingan para ulama tersohor di atas, Imam Jalaluddin As-Suyuthi tumbuh sebagai sosok yang sangat cerdas dan tangkas. Hafalannya sangat kuat, dan semangat belajarnya benar-benar menonjol, hingga akhirnya ia mampu menguasai banyak disiplin ilmu pengetahuan. Bahkan mampu merumuskan semua ilmu-ilmu yang diajarkan oleh guru-gurunya.
 


Karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi

Selain dikenal sebagai ulama yang sangat alim, ia juga dikenal sebagai sosok yang sangat produktif dalam menulis, beberapa catatan mengatakan bahwa jumlah karyanya mencapai 600 kitab. Di antara karya-karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi adalah:

  1. Al-Asybah wan Nazhair;
  2. Al-Itqan fi Ulumil Qur’an;
  3. Ad-Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur
  4. Asrarut Tanzil;
  5. Al-Muhaddzab fima Waqa’a fil Qur’an minal I’rab;
  6. Al-Iklil fistinbathit Tanzil;
  7. At-Thibbun Nabawi;
  8. Fathul Jalil lil ‘Abdiz Dzalil;
  9. Ham’ul Hawami’;
  10. Kasyful Ghutta’ fi Rijalil Muwattha’.


 

Alasan Penulisan Kitab Al-Asybah wan Nazhair

Sebagaimana disebutkan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam Kitab Al-Asybah wan Nazhair, alasan penulisan kitab ini bermula dari kesadaran dirinya perihal luas dan lebarnya ilmu fiqih yang tidak akan pernah selesai untuk dituliskan, dan tidak akan pernah tuntas untuk didiskusikan. lalu ia memiliki inisiatif untuk merumuskan ilmu fiqih dengan lebih ringkas namun tetap memiliki kandungan yang luas dan sarat cabang-cabang di dalamnya. Alhasil, ia menuliskan kodifikasi khusus tentang ilmu fiqih dengan corak yang berbeda, yaitu dengan tulisan rumus atau sederhana, disertai analisis kritis dan kombinasi antara pendapat para ulama mazhab Syafi’iyah. Ia mengatakan:
 

جَمَعْتُ مِنْ هَذَا النَّوْعِ جُمُوْعًا وَتَتَبَّعْتُ نَظَائِرَ الْمَسَائِلِ أُصُوْلًا وَفُرُوْعًا حَتَّى أَوْعَيْتُ مِنْ ذَلِكَ مَجْمُوْعًا جُمُوْعًا وَأَبْدَيْتُ فِيْهِ تَأْلِيْفًا لَطِيْفًا لَا مَقْطُوْعًا فَضْلُهُ

 

Artinya, “Aku mengumpulkan dari materi ini (fiqih) dengan beberapa kumpulan, kemudian aku meneliti analisis masalah-masalah baik yang pokok maupun yang cabang, sampai aku mendapatkan kumpulan yang sangat banyak, kemudian aku tuliskan dalam sebuah kodifikasi yang ringkas, namun keutamaannya tidak putus.” (Lihat, halaman 6).
 

Dengan demikian, Kitab Al-Asybah wan Nazhair merupakan hasil dari pemikiran brilian Imam As-Suyuthi untuk memudahkan para pengkaji ilmu fiqih dalam menjawab sebuah problematika hukum fiqih dengan cara yang mudah dan ringkas.
 

 

Sekilas tentang Kitab Al-Asybah wan Nazhair

Kitab Al-Asybah wan Nazhair merupakan salah satu kodifikasi atau kitab yang menjelaskan tentang rumus-rumus ilmu fiqih. Dengan mempelajari kitab ini, makan akan memudahkan para pelajar dan santri untuk menjawab problematika fiqih. Karenanya, kitab ini biasa dijadikan materi pelajaran di kelas lanjutan di pesantren, seperti Tsanawiyah dan Aliyah.
 

Selain rumus-rumus fiqih, keunggulan kitab yang satu ini adalah mencantumkan Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber awal sebelum menciptakan sebuah rumus. Dalam penyajiannya, Imam As-Suyuthi mengutip ayat Al-Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan materi fiqih yang akan dirumus olehnya. Kemudian ia tuliskan kaidah fiqih dari hasil analisis Al-Qur’an, hadits, konsensus para ulama, dan qiyas (analogi).
 

Secara garis besar, kitab ini memiliki tujuh pokok pembahasan yang menjadi induk dari cabang-cabang pembahasan lainnya. Dari tujuh pokok ini nantinya akan menjadi awal pembahasan kaidah fiqih secara sistematis.
 

Pertama, lima (5) kaidah dasar rujukan semua masalah fiqih. Pada pembahasan pertama ini Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa semua pokok-pokok dalam permasalahan fiqih akan kembali kepadanya. Lima (5) kaidah dasar itu adalah, (1) yakin tidak bisa hilang disebabkan keraguan; (2) setiap sesuatu tergantung tujuannya; (3) setiap kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan; (4) bahaya harus dihilangkan; dan (5) adat (kebiasaan-tradisi) bisa dijadikan rujukan hukum.
 

 

Kedua, kaidah universal. Pada pembahasan kedua ini, Imam As-Suyuthi menulis kaidah-kaidah lain yang muncul sebagai konsekuensi dari lima (5) kaidah dasar di atas. Nah, dalam pembahasan ini terdapat 40 kaidah umum yang menghasilkan gambaran atas suatu hukum atau problematika yang parsial.
 

Ketiga, kaidah yang masih diperselisihkan. Dalam pembahasan pokok yang ketiga ini As-Suyuthi menulis kaidah-kaidah yang masih diperdebatkan oleh para ulama perihal keabsahannya. Di sini terdapat pembahasan perihal kaidah-kaidah yang diperselisihkan tanpa adanya tarjih (pengunggulan), karena adanya ragam perspektif perihal cabang (furu’) masalah.
 

Keempat, hukum yang lumrah terjadi. Setelah membahas kaidah dasar, kaidah universal, dan kaidah yang masih diperselisihkan, selanjutnya Imam As-Suyuthi membahas kaidah dan hukum-hukum yang lumrah terjadi, dan seyogianya diketahui oleh pakar hukum fiqih. Begitu juga bagi orang yang hendak berfatwa, seperti hukum orang yang lupa, bodoh, dipaksa, setengah budak, dan lain sebagainya.
 

Kelima, tinjauan umum pembahasan fiqih. Pada pembahasan yang kelima ini Imam As-Suyuthi membahas secara singkat standar-standar umum dalam persoalan fiqih. Seperti acuan umum dalam bersuci, wudhu, tayamum, mandi, air, shalat, zakat, azan, dan yang lainnya.​​​​​​​
 

Keenam, kaidah yan​​​​​​​g rancu (mutasyabahah). Dalam pembahasan yang keenam ini Imam As-Suyuthi membahas kaidah yang dinilai rancu karena adanya perbedaan pendapat para ulama  di dalamnya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara dua istilah yang terkesan sama, pada memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.
 

Ketujuh, pembahasan campuran. Pada poin terakhir ini, Imam As-Suyuthi membahas tema-tema lain yang masih diperselisihkan oleh para ulama. Di sini terdapat pembahasan tentang perbandingan kasus yang terjadi karena adanya kesamaan konteks dalam persoalan fiqih (etimologi) dan bahasa (terminologi).
 

Tujuh (7) pembahasan pokok dalam Kitab Al-Asybah wan Nazhair di atas memiliki bahasan dan cakupan yang sangat luas, bahkan seandainya dijadikan sebuah kodifikasi dari masing-masing pembahasan, maka akan tercipta sebuah kitab yang sempurna. Hal ini sebagaimana yang ditulis oleh As-Suyuthi,
 

واعلم أن كل كتاب من هذه الكتب السبعة لو أفرد بالتصنيف لكان كتابا كاملا

 

Artinya, “Ketahuilah! Sungguh jika seandainya satu pembahasan dari tujuh pembahasan ini dijadikan satu kitab tersendiri, maka akan menjadi kitab yang sempurna.” (lihat, halaman 7). 
 

Demikian profil sinb​​​​​​gkat Kitab Al-Asybah wan Nazhair, kitab khusus yang menjelaskan tentang kaidah-kaidah fiqih mazhab Syafi’i, karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Wallahu a’lam.


 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur