Pustaka Amina Wadud

Quran Menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan

Sab, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB

Tafsir Feminisme Al-Quran dari Sudut Pandang Perempuan 


Penyunting  Kurniawan Abdullah


Peresensi: Lukman Santoso Az*EM>

Wacana gender merupakan kontruksi sosial yang membedakan peran dan kedudukan wanita dan laki-laki, bukan berdasarkan kemampuan. Sehingga gender bersifat universal, artinya peran dan kedudukan wanita disuatu wilayah, etnis, dan bangsa bisa berbeda-beda tergantung bagaimana masyarakat yang dominan atau sistem patriarki memandang posisi sosial politik wanita tersebut.


Melihat kondisi status perempuan dewasa ini yang masih terkonstruk terhadap pemaknaan tekstual al-quran, seorang profesor wanita pada kajian keislaman di Virginia Commonwealth University, Amerika, yakni Amina Wadud melalui buku "Quran Menurut Perempuan" ini, secara tegas menentang penggunaan teks dan kata-kata kunci Al-quran untuk membatasi peran publik dan privat perempuan, terlebih untuk membenarkan kekerasan terhadap perempuan. Pembacaan wadud memberikan landasan sah untuk menentang perlakuan tidak adil yang secara historis telah dialami perempuan dan secara hukum terus menggejala dikalangan umat islam.

Lewat analisis rincinya tentang konsep perempuan yang digali langsung dari Al-quran yang bertujuan menyusun sebuah “pembacaan” Al-quran yang bermakna bagi kehidupan kaum perempuan diera modern saat ini. Dalam buku ini Wadud mengulas bagaimana persepsi perempuan  dalam menafsirkan ayat-ayat feminisme Al-quran. Meskipun tidak ada metode penafsiran Al-quran yng benar-benar obyektif. Wadut menentang keras tentang anggapan kaum muslimin dalam menafsirkan ayat-ayat

 An-nisa' bahwa “perempuan lebih rendah atau tidak sederajat dengan laki-laki”. Menurut Wadud perhatian khusus terhadap jenis kelamin dalam Al-quran membawa persepsi Perempuan dan laki-laki hanyalah kategori spesies manusia. Keduanya dikaruniai potensi yang sama atau sederajat, dari ihwal penciptaan, keberpasangan, hingga balasan yang kelak mereka terima di akhirat. Satu-satunya nilai pembeda di antara keduanya adalah 'takwa', yang paling tepat dipahami dalam kerangka sikap dan perbuatan.

Itulah yang ditegaskan Al-quran, rujukan dari segala rujukan keislaman. Namun, seiring dengan tergantikannya peran sentral Al-quran oleh tafsir-tafsir yang nyaris semuanya ditulis laki-laki, perempuan terus terkekang dalam pandangan dan kehendak masyarakat yang berpusat pada laki-laki. Akibatnya, tingkat partisipasi dalam masyarakat dan tingkat pengakuan akan pentingnya sumberdaya perempuan tak kunjung meningkat. Padahal, sekalipun ada perbedaan peluang antara perempuan dan laki-laki tidak ada pesan tersirat maupun tersurat dalam Al-quran yang mendukung pendapat bahwa laki-laki adalah pemimpin alami. Bahkan dalam konteks negeri Arab yang patriarkis saja, Al-quran memberi contoh pemimpin perempuan. Yakni ratu Bilqis. Al-quran tidak melarang perempuan untuk berkuasa, baik atas perempuan yang lain maupun atas perempuan dan laki-laki. Namun ada implikasi bahwa Al-quran cenderung mengusahakan tugas-tugas dalam masyarakat dengan cara yang paling efisien.

 Selain itu menurut Wadud, sebenarnya Al-quran dapat beradaptasi dengan perempuan modern semulus Al-quran dapat beradaptasi dengan kaum muslim pada 14 abad silam. Adaptasi ini dapat dibuktikan jika Al-quran ditafsirkan dengan memperhatikan perempuan, sehingga menunjukkan universalitas teks tersebut. Setiap penafsiran yang menerapkan garis pedoman Al-quran secara sempit adalah sama saja dengan melakukan kezaliman terhadap Al-quran itu sendiri.


Al-quran tidak pernah memfonis sebuah prinsip sebagai tujuan, justru menjunjung beberapa prinsip, seperti keadilan, persamaan, keseimbangan, tangguang jawab moral, kesadaran spiritual, dan kemajuan umat. Wadud juga berupaya menciptakan signifikansi yang ditarik dari Al-quran berkenaan dengan perempuan modern. Ia memberikan 'pembacaan' yang melampaui beberapa pembatasan dalam penafsiran Al-quran sebelumnya. disatu sisi, sebagai pembatasan yang ada dalam Al-quran, disisi lain dengan pembatasan yang merupakan refleksi dari para penafsir (mufasir) itu sendiri.

Sesungguhnya be