Tokoh

Ibn Majah, Muhaddits Mufassir dari Qazwayn

Rab, 5 Juli 2023 | 11:00 WIB

Ibn Majah, Muhaddits Mufassir dari Qazwayn

Ilustrasi: Sunan Ibnu Majah (Ahmad Muntaha AM)

“Aku tinggalkan untuk kalian semua dua hal, yang mana kalian tidak akan tersesat selagi berpegangan pada keduanya. Kitab Allah dan sunnah (hadits) Nabi-Nya.” (HR Malik). (Malik, Al-Muwaththa’, [Abu Dhabi: Mu’assasah Zayed bin Sulthan Alu Nahyan, 2004]), juz V, halaman 1.323).
 

Rasulullah saw menjamin keselamatan umatnya yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan hadits. Keduanya adalah dua sumber pokok syariat Islam. Orang yang ingin menguasai ilmu syariat, maka harus menguasai dua sumber tersebut, di samping sumber-sumber lainnya. Sudah maklum bahwa untuk menguasai dua sumber tersebut tidak cukup hanya pandai bahasa Arab saja, namun dibutuhkan sangat banyak piranti ilmu sebagai alat untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan otoritatif terhadap teks-teks Al-Qur’an dan hadits. Hal ini samasekali bukan hal yang mudah bahkan untuk sekedar dibayangkan. 
 

Di kota Qazwain, Iran, pernah lahir orang yang menguasai kedua sumber tersebut. Tepatnya pada tahun 209 H, seorang anak bernama Muhammad lahir dari ayah bernama Yazid. Anak tersebut di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Ibnu Majah yang berarti anaknya Majah. ‘Abdurrasyid An-Nu’mani mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang dimaksud Majah, singkatnya ada tiga pendapat.
 

Pertama, Majah adalah julukan ayahnya. Pendapat ini yang diikuti mayoritas ulama. Kedua, Majah adalah nama ibu Ibnu Majah. Ketiga, Majah adalah julukan kakeknya. (‘Abdurrasyid An-Nu’mani, Al-Imam Ibn Majah wa Kitabuhu As-Sunan, [Beirut: Darul Basya’iril Islamiyyah, 1998], halaman 169-170; dan Abu Zahrah, A’lam wa ‘Ulama’ Qudama’ wa Mu’ashirin, [Amman: Darul Fath, 2009], halaman 130). 
 

Mula-mula setelah menghafal Al-Qur’an, Ibnu Majah berguru di kota kelahirannya pada Al-Hafizh ‘Ali bin Muhammad Ath-Thanafisi, seorang pakar hadits yang namanya dicatat oleh Adz-Dzahabi dalam Siyar-nya sebagai tokoh akhir abad ke-2 Hijriah dengan gelar Al-Imam Al-Hafizh Al-Mutqin.
 

Setelah itu ia mengembara ke berbagai negeri Islam untuk belajar ilmu, khususnya riwayat hadis. ia mengunjungi Basrah, Kufah, Makkah, Syam, Mesir, Ray, dan kota-kota lain. Ia membaca kitab-kitab hadits seperti Sahih Al-Bukhari dan Muslim, Musnad Ahmad, Al-Muwaththa’, dan yang lainnya pada murid-murid para penulis kitab-kitab tersebut. (Ad-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’ [Beirut: Mu’assasah Ar-Risalah, 1983], juz XIII, halaman 277; dan Abu Zahrah, A’lam wa ‘Ulama’ Qudama’ wa Mu’ashirin, halaman 132). 
 

Bukti nyata dari penguasaan Ibnu Majah terhadap Al-Qur’an dan hadits adalah karya beliau berupa Tafsir dan kitab As-Sunan. Menurut Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, Tafsir Ibnu Majah tergolong kitab tafsir yang besar. As-Suyuthi dalam Al-Itqan menyebut Tafsir Ibnu Majah dalam kategori tafsir bil ma’tsur bersama Tafsir Ath-Thabari dan yang lainnya. Tafsir Ibnu Majah berisi pendapat-pendapat para ulama tiga generasi awal, yakni Sahabat Nabi saw, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. Sedangkan kitab hadits beliau, yaitu Sunan Ibn Majah merupakan salah satu dari enam kitab induk (Al-Kutubus Sittah). Meskipun para ahli hadits masih berselisih mengenai kitab apa yang pantas dimasukkan ke dalam kategori kitab induk setelah lima kitab yang disepakati, apakah Sunan Ibnu Majah, Al-Muwaththa’, Sunan Ad-Darimi, atau lainnya.
 

Namun tercatatnya kitab ini pada daftar nama yang diperdebatkan untuk masuk dalam kategori kitab induk saja sudah menunjukkan kualitas dari kitab ini. Setelah selesai menyusun kitab yang berisi kurang lebih 4000 hadits ini, Ibnu Majah menyodorkannya pada Abu Hatim Ar-Razi, pakar hadits yang tidak asing lagi namanya bagi pengkaji ilmu hadits. Ar-Razi berkomentar:
 

“Menurutku, jika kitab ini beredar, maka seluruh atau mayoritas kitab-kitab hadis yang selama ini beredar tidak akan diminati lagi. Dalam Sunan ini hadits yang lemah sanadnya tidak sampai tiga puluh.”
 

Namun, komentar Ar-Razi tersebut disanggah oleh Adz Dzahabi, menurutnya: 
 

قد كان ابن ماجه حافظا ناقدا صادقا واسع العلم، وإنما غض عن رتبة سننه ما في الكتاب من المناكير وقليل من الموضوعات. وقول أبي زوعة -إن صح- فإنما عنى بثلاثين حديثا الأحاديث المطرحة الساقطة. وأما الأحديث التي لا تقوم بها الحجة فكثيرة. لعلها نحو الألف
 

Artinya, “Ibnu Majah adalah seorang ahli hadits yang mencapai derajat hafizh naqid, ia adalah orang yang jujur dan luas ilmunya. Yang mengurangi derajat kitab Sunannya adalah hadits-hadits munkar dan beberapa hadits maudlu’ yang terdapat di dalamnya. Yang dimaksud Ar-Razi tidak lebih dari tiga puluh -jika benar Ar-Razi berkomentar demikian- adalah hadits-hadits yang sudah tidak bernilai lagi. Adapun hadits lemah yang tidak bisa dijadikan dalil, jumlahnya jauh lebih banyak. Brangkali mencapai seribu hadits.” (As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an [Al-Hay’atul Mishriiah Al-‘Ammah lil Kitab, 1974], juz IV, halaman 242; dan Adz-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’, juz XIII, halaman 278).
 

Selain kitab Tafsir dan Sunan, Ibnu Majah juga memiliki kitab tarikh yang berisi profil para perawi hadits mulai dari generasi Sahabat Nabi saw hingga generasinya sendiri, dan berisi deskripsi tentang beberapa kota (Tarikh fir Rijal wal Amshar). Sayangnya dari ketiga kitab besar tersebut (Tafsir, Sunan, dan Tarikh), hanya kitab Sunan yang bisa sampai ke tangan kita hingga sekarang. Ulama besar ini wafat pada bulan Ramadan 273 H di tanah kelahirannya. 
(Adz-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’, juz XIII, halaman 278).

 

Ustad Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo