Tokoh

KH Ahsin Syifa Aqiel Siroj, Kiai Kharismatik nan Humoris

Rab, 26 Februari 2020 | 08:00 WIB

KH Ahsin Syifa Aqiel Siroj, Kiai Kharismatik nan Humoris

KH Ahsin Syifa Aqiel Siroj (Foto: NU Online)

Pada 24 Juni 1960, lahirlah sesosok bayi yang membuat bahagia keluarga pasangan KH Aqiel Siroj dan Nyai Hj Afifah Harun, yang kelak akan menjadi sesosok kiai yang berperan penting dalam perkembangan dan kemajuan pondok yang didirikan ayahandanya yang kini dikenal KHAS Kempek. Dia adalah KH Ahsin Syifa Aqiel Siroj, atau yang lebih akrab disapa, Kang Ahsin, adik kandung Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.

Kang Ahsin adalah figur kiai yang memiliki akhlak yang mulia. Dia mewarisi karakter dan kepribadian ayahandanya. Seperti yang didawuhkan oleh Bapak Muh (panggilan akrab Syaikhuna KH Muhammad Musthofa Aqiel): “Baka pen weruh karaktere, kepribadiane, lan cara mulange Kiai Aqiel, delengen bae Kang Ahsin”. (Kalau ingin tahu karakter, kepribadian, dan cara mengajarnya Kiai Aqiel, lihat saja Kang Ahsin”).

Meskipun dia tidak pernah mengenyam bangku sekolah, hanya mengaji kepada ayahandanya, tetapi keilmuan serta kecerdasan dia tak kalah dengan Keempat saudaranya. Tak jarang keempat saudaranya bertanya kepadanya perihal beberapa persoalan, terutama persoalan-persoalan seputar kitab kuning. Dari didikan ayahandanya, Kang Ahsin menjadi sosok yang cerdas, pandai, berakhlak mulia, sederhana, tawadhu, dan istiqamah.

Di samping itu, karena dia lahir di lingkungan pesantren, dia selalu mengajarkan kepada santri-santrinya tentang ketelatenan dan rasa kebersamaan.

Pernah suatu ketika, Kang Ahsin melihat ada khodim dia yang hanya bertugas sendirian (meskipun khodam itu merasa dirinya mampu untuk mengerjakanya sendirian), tetap ditegur oleh Kang Ahsin: 

"Sira kuh menggawe dewekan bae, pada mendi bature? Mana diundangi!" tegur Kang Ahsin. (Kamu itu bekerja sendirian saja, kemana teman-temanmu? Panggilkan semua, sana!") 

"Nggih, Kang," jawabnya. 

Kang Ahsin mengajarkan bahwa entah pekerjaan apa pun itu, ketika dikerjakan bersama-sama maka akan cepat diselesaikan, dan dengan kebersamaan itu keharmonisan antara satu dengan yang lainya tetap terjalin.

Dalam hal ketelatenan, Kang Ahsin tak jarang menegur santri-santrinya. Kalau ada sedikit kejanggalan dibenaknya, dia tak segan-segan untuk menegurnya, meski pada hal-hal kecil. Teguran dia bukanlah karena marah, apalagi benci, melainkan bentuk kasih sayang dan perhatian dia kepada santri-santrinya.

"Iki, Cung, sampahe dijukuti ya!" (Itu, Nak, sampahnya diambilin ya), "Iku Cung, latare disaponi, toli nyaponie sing bersih ya", (Itu, Nak, tolong halamanya disapu, disapu dengan bersih ya)”, "Cung, baka nanjak tekel sendale dicopot", (Nak, kalau naik lantai, sandalnya dilepas)”, "Baka maca kuh sing titen, Cung, sawise mubtada iku ana khobar, baka sawise utawi ana iku" (Kalau baca yang teliti nak, setelah mubtada ada khabar, setelah utawi ada iku).

Seperti itulah dia dalam mendidik, membimbing, meladeni santri-santrinya. Agar kelak menjadi santri yang berakhlak hasanah terutama dalam hal ketelatenan dan kebersamaan. Dia tidak berharap besar santri-santrinya menjadi orang yang pintar, tetapi yang sangat diharapkan oleh dia adalah santri-santrinya memiliki akhlak yang baik .

Seperti dawuh dia: “Wong sepira sugihe, sepira pintere, lamon ora due akhlak kang bagus, iku eman-eman, ora kanggo”. (“Seberapapun kayanya seseorang, seberapapun pintarnya seseorang, kalau tidak memilili akhlak yang baik, sia-sia saja, tidak ada gunanya”.)

Sosok Humoris
Kang Ahsin, juga dikenal sosok nan humoris yang memiliki hubungan sangat erat dengan santri-santrinya. Tak jarang dia mengajak santri-santrinya untuk mengobrol, membahas beberapa persoalan, bahkan sempat diajak makan bareng. Terutama dengan khodim-khodimnya. Baik khodim kost, khodim sawah, atau khodim ndalem.

Suatu ketika, dia memanggil salah satu khodimnya untuk diajak makan sekaligus membahas perihal sawahnya. 

Tak lama kemudian, khodim tersebut datang. dan langsung diajaknya masuk ketempat makan. Ditempat tersebut sudah tersedia nasi dengan berbagai macam lauk pauknya.

Ditengah perbincangan Kang Ahsin berkata: "Sira kuh cung santri, ari mangan aja keakehen reka-reka, kih delengen isun, mangan cukup karo uyah bae," katanya. ("Kamu itu santri, kalau makan jangan macem-macem, lihat nih saya, makan cukup dengan garam saja," katanya)

Mendengar ucapan Kang Ahsin, khodim itu sedikit kebingungan, dia bergumam dalam hatinya : "Kang Ahsin Makan dengan garam saja? Padahal dihadapan Kang Ahsin, ada lauk ikan, tempe, sayur dan macam-macam lainya". 

Dengan sedikit kebingungan khodim itu menjawab.

"Nggih, Kang." (Iya, Kang,”) jawabnya singkat.

Kang Ahsin melanjutkan ucapannya, sambil tertawa kecil.

"Maksude iki, Cung, uyah sing ana ning oncom, ning iwak, ning sayur, kaya konon."(Maksudnya ini nak, garam yang ada ditempe, ikan, dan sayur, seperti itu)

Akhirnya khodim tersebut paham apa yang dimaksud Kang Ahsin. Keduanya spontan tertawa bersama-sama. 

Sebelum mengakhiri perbincangan, Kang Ahsin berpesan kepada khodimnya, pesan ini juga sering disampaikan kepada khodim-khodim yang lainnya. Kurang lebih dia berpesan demikian:
 
“Antara mengabdi dan mengaji itu harus seimbang, harus rajin kedua-duanya. Kalau hanya ngabdinya saja, ngajinya malas, itu namanya tidak ikhlas. Begitupun sebaliknya, kalau hanya ngajinya saja ngabdinya malas, itu juga namanya tidak ikhlas ”.

Namun sayang, kiai kharismatik itu wafat terlalu muda pada 12 April 2015 M. Untuk Al-maghfurullah KH Ahsin Syifa Aqiel Siroj, lahu Al-Fatihah...
 
Sumber data dari khodim KH Ahsin Syifa Aqiel Siroj, Ahmad Musthofa
 
Penulis: Jamalullail, (santri KHAS Kempek angkatan Al-Ikhtishos)
Editor: Abdullah Alawi