Tokoh

KH Muhammad Tambih, Ulama Pendekar dari Bekasi

Sel, 29 Maret 2022 | 02:00 WIB

KH Muhammad Tambih, Ulama Pendekar dari Bekasi

Dari kiri: KH. Moh. Dahlan, Habib Ali Al-Attas (Cikini), KH. Nachrowi, KH. M. Tambih, dan KH. Idham Chalid ( Sumber: Dokumentasi pribadi keluarga M. Tambih)

KH Muhammad Tambih adalah seorang ulama Betawi yang juga pendekar dari Bekasi. Masyarakat sering memanggilnya Kiai Tambih atau Mualim Tambih. Ia lahir di Bekasi pada 1907 dari pasangan Abdul Karim dan Saefi. Selain sebagai ulama dan pendekar, ia juga seorang petani, pedagang, dan pejuang kemerdekaan di Bekasi. 


Leluhurnya bernama Baserin yang berasal dari Banten dan merupakan prajurit Sultan Agung yang melarikan diri dari kejaran VOC (Vereenigde Oonstindische Compagnie atau Perusahaan Hindia Timur Belanda). Baserin kemudian bersembunyi dan menetap di Kampung Setu, Bintara Jaya, Bekasi. 


Saat kecil, Tambih menggembala kambing dan kerbau. Ia mengaji nahwu, sharaf, dan tajwid kepada Guru Musin dan Mualim Nasir. Tambih juga belajar silat aliran beksi kepada Bek Martan dari Kampung Rawa Bugel, Bekasi. (Ahmad Fadli, Ulama Betawi: Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20, 2011).


Karena telah menguasai ilmu silat beksi itu, Tambih pun pernah menjatuhkan empat orang tentara Belanda yang bermaksud menangkapnya di sekitar Masjid Kampung Setu. Selain itu, Tambih pernah pula menjatuhkan para pembegal saat dalam perjalanan mengaji ke Guru Marzuki di Kampung Muara. 


Guru Marzuki Cipinang Muara atau Syekh Ahmad Marzuki bin Ahmad Mirshod adalah guru mengaji Kiai Tambih saat berusia remaja. Kepada Guru Marzuki, Kiai Tambih belajar bersama-sama dengan KH Noer Ali, KH Muchtar Tabrani (Bekasi), KH Tohir Rohili (Kampung Melayu), KH Ahmad Mursyidi (Klender), Guru Bakar dan Guru Baqir (putra-putra Guru Marzuki). 


Pada 1929, Kiai Tambih menikah dengan Aminatuz Zuhriyah dari Kampung Pondok Pucung Bintara. Namun, istrinya meninggal dunia saat Kiai Tambih sedang mengungsi ke Kampung Ceger, Cikunir. Saat itu, Bekasi tengah diserang pasukan sekutu dari Pangkalan Halim Pondok Gede. Serangan tersebut dikenal dengan Peristiwa Karawang-Bekasi. 


Saat istrinya meninggal, Kiai Tambih sedang menghadang laju pasukan sekutu di daerah Jatiwaringin (Pangkalan Jati Kalimalang, saat ini) bersama tentara Hizbullah di bawah pimpinan (komandan sektor) seorang pemuda, Abdul Hamid dari Jatibening yang kemudian menjadi menantunya. 


Kiai Tambih sempat menduda selama tiga tahun dan akhirnya menikah lagi dengan Hj Masnah binti H Marzuki, anak salah seorang pengurus Masjid di Rawa Bangke, Kampung Mester (sekarang Jatinegara). Dari istri pertama, Kiai Tambih dikaruniai tiga orang putra dan tiga orang putri. Sementara dari istri keduanya, tidak menghasilkan anak. 


Di samping itu, Kiai Tambih mendirikan Majelis Taklim Raudhatul Muta’alimin di Kranji Bekasi yang cukup terkenal pada zamannya. Orang-orang yang datang ke majelis itu adalah para ustadz dari wilayah Bekasi dan sekitarnya, seperti Lemahabang, Cakung, Klender, Pondok Ungu, Bintara, Jatiwaringin, dan Pondok Gede.


Beberapa ulama sempat mengajar di majelis taklim itu. Di antaranya Habib Soleh bin Abdulloh Al-Atthos, KH Muchtar Tabrani, KH Nahrawi (Lengkong/Banten), KH Tb Sholeh Ma’mun (Serang/Banten), dan KH Syukron Ma’mun. Tokoh-tokoh nasional seperti KH Idham Cholid (Ketua PBNU 1956-1984), KH Wahab Chasbullah (Pendiri NU), dan KH Ali Maksum (Krapyak) juga pernah mengunjungi majelis taklim yang didirikan Kiai Tambih itu. 


Perjalanan dakwah Kiai Tambih lebih banyak dihabiskan dengan menjadi aktivis Nahdlatul Ulama. Ia juga menjadi peletak dasar berdirinya NU di Bekasi bersama KH Muchtar Tabrani (Pendiri Pesantren Annur, Kaliabang Nangka, Bekasi).


Karena perjalanannya sebagai aktivis NU itu, Kiai Tambih memiliki kedekatan dengan ulama-ulama dan tokoh-tokoh nasional seperti KH Idham Cholid, Subhan ZE, KH Wahab Chasbullah, Usmar Ismail, Asrul Sani, dan Djamaluddin Malik.


Bahkan, Kiai Tambih pernah mendapat hadiah seekor kuda dari Djamaluddin Mmalik. Kuda itulah yang kerap menjadi kendaraannya setiap shalat Jumat dari Kranji ke Bintara, lengkap dengan jubah seperti Pangeran Diponegoro. 


Menyatukan ulama dan habaib di Betawi

Kiai Tambih juga seorang penggerak dakwah di majelis-majelis taklim yang ada di Betawi bersama Habib  Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang), Hhabib Ali bin Husein Al-Atthas (Cikini/Bungur), dan KH Tohir Rohili Kampung Melayu. 


Dalam kaitan itu, menurut Ahmad Fadli, Kiai Tambih berhasil menyatukan ulama dan habaib di Betawi yang kala itu berdakwah sendiri-sendiri di majelisnya masing-masing. Berkat Kiai Tambih, para ulama dan habaib di Betawi melakukan dakwah kolektif yang berpusat di Attahiriyah dan Kwitang. 


Kiai Tambih mampu membangun jaringan keulamaan di Betawi, mulai dari Luar Batang, Kampung Bandan, Kwitang, Cikini, Kampung Melayu, Bekasi, Empang Bogor, hingga Banten. Karena itulah, Kiai Tambih mendapat kepercayaan dari KH Idham Cholid (Ketua PBNU dan Menko Kesra saat itu), untuk menjadi ketua panitia peringatan Maulid Nabi Muhammad di rumah dinas KH Idham Cholid di Jalan Mangunsarkoro, Menteng. 


Kiai Tambih dikenal sebagai pribadi yang rajin bersilaturahim. Sebab ia tak segan-segan menyambangi rumah para ulama dan habaib, jika kedapatan tidak hadir lebih dari dua kali dari taklim bersama itu. Hal itu dilakukan hanya demi mendapatkan kepastian kabar. 


Selain itu, Kiai Tambih pernah menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bekasi dari Partai NU dan sempat menjadi Pegawai Pengadilan Agama Kabupaten Bekasi. Terakhir, namanya masuk di jajaran kepengurusan PBNU bagian dakwah. 


Semasa hidupnya, Kiai Tambih mengarang dua buah kitab yang berjudul Bayanul Haq lil Ijtima’i wal Ittifaq dan I’anatul Ikhwan. Ia wafat pada 23 April 1977 dan jenazahnya dimakamkan di kampung halamannya, di Kampung Setu, Bintara Jaya, Bekasi Barat. 


Penulis: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad