Tokoh

Rofiqoh Dharto Wahab, Penyanyi Kasidah Generasi Pertama yang Dijuluki Ummi Kultsumnya Indonesia

Rab, 12 Juli 2023 | 17:30 WIB

Rofiqoh Dharto Wahab, Penyanyi Kasidah Generasi Pertama yang Dijuluki Ummi Kultsumnya Indonesia

Rofiqoh Darto Wahab muda. (Foto: Majalah Violeta edisi 29 Juli 1975 via Historia)

Nama Rofiqoh tidak bisa dipisahkan dari salah satu perjalanan dunia musik modern di Indonesia. Rofiqoh merupakan perempuan pertama yang dianggap mewarnai generasi awal grup kasidah sehingga berhasil masuk dapur rekaman. Perempuan asal Pekalongan, Jawa Tengah inilah yang pertama menembus Istana Negara dengan lagu qasidah, lalu mempopulerkan. Uniknya, dia memulai semua itu saat kondisi politik negara sedang mencekam. 


Pada tahun 1960-an, saat organisasi Islam ditekan oleh pemerintahan Orde Baru, Rofiqoh memperkenalkan genre musik gambus atau kasidah berbahasa Arab kepada masyarakat. Liriknya berisi pujian-pujian kepada Tuhan yang diiringi oleh alat musik. 

 
Tampilannya menggunakan kebaya, kerudung, dan batik ciri khas perempuan Jawa pada masanya. Ia muncul pertama kali di depan publik pada tahun 1964 dan pergi ke Jakarta pada tahun 1965. Pada tahun yang sama ia menikah dengan Dharto Wahab seorang wartawan yang beralih profesi menjadi pengacara.


Ia pernah tampil di Istana Negara membawakan kasidah 'Habibi Ya Rasulullah' dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad, sebelum meletusnya pergerakan G30S/PKI. Suatu ketika Rofiqoh dikejutkan oleh suara sirine panjang di Istana Negara menjelang pecahnya Gestapu atau G30S PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia). Saat itu dia baru selesai melantunkan ayat-ayat suci Alquran.


Dari podium dia leluasa melihat kecamuk di wajah para tamu perhelatan Isra Miraj di bulan September tahun 1965 itu. “Saya melihat pak Harto (Soeharto) melaporkan sesuatu ke pak Soekarno. Dan para tamu mulai berdiri dari kursi, saling pandang. Bingung ada apa? Saya juga khawatir,” ujar Hj Rofiqoh Dharto Wahab dalam sebuah wawancara bersama  wartawan, 2021 silam.


Beberapa hari setelah insiden sirine itu, meletuslah G30S PKI. Peristiwa politik paling kelam itu menjadikan fitnah sebagai mesiu mematikan. Puluhan tahun kemudian, tepatnya hari ini aroma dupanya masih saja dihembus-hembuskan. “Waktu itu pak Karno naik ke podium ngasih pengumuman untuk menenangkan para tamu istana. Jadi selain saya, ada pak Karno dan Duta Besar Aljazair di atas podium,” lanjut Rofiqoh.


Pengumuman yang disampaikan Presiden Soekarno saat itu, lebih mengejutkan Rofiqoh. “Pak Karno bertanya, apakah yang mengaji bisa bernyanyi? Saya bilang bisa. Lalu saya diminta bernyanyi,” ujar Rofiqoh yang lebih dari setengah usianya dihabiskan untuk berdakwah dan pendidikan umat.


Profil Rofiqoh Darto Wahab

Hj Rofiqoh Dharto Wahab, lahir 18 April 1945, di Kranji, Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan. Ayahnya, KH Munawwir adalah pengasuh Pesantren Munawwirul Anam Kabupaten Pekalongan yang memiliki ribuan santri, dan ibunya Hj Munadzorah berasal dari keluarga Pesantren Buntet, Cirebon.  Ia menempuh pendidikannya di Muallimat Wonopringgo Pekalongan, Pesantren Lasem Rembang, dan Pesantren Buntet Cirebon. Di pesantren terakhir inilah ia banyak belajar dan mengasah kemampuannya membaca Qur’an secara tepat dan indah, yang kelak menjadi modal pentingnya menjadi penyanyi kasidah. Sejak muda Rofiqoh telah menekuni dan mengikuti lomba tilawatil Qur'an dari tingkat kecamatan hingga provinsi.


Perjalanan kariernya beberapa kali mengalami ketidakstabilan. Karyanya pernah diklaim oleh kelompok Manikebu (seniman dan sastrawan sayap kanan) dalam sengketa melawan Lekra (seniman dan sastrawan sayap kiri) karena pada masa ini Islam dianggap sesuatu yang bertentangan dengan PKI.


Ia sering melantunkan syair Arab dengan musik gambus dan lebih dari 100 keping album rekaman telah diproduksi. Menurut Moeflich Hasbullah dalam Islam dan Transformasi Masyarakat Nusantara, bersama Al-Fatah, Rofiqoh banyak menelurkan labum, seperti Libarokallah, Hamawi Ya Mismis, Baladi, Habib Qalbi, Semoga di Surga, dan Lagu-lagu Gambus. Enam album itu terdiri dari 30 lagu kasidah gambus berbahasa Arab dan Indonesia.


Namanya tetap melambung hingga tahun 90-an. Ia pernah menjadi pemimpin pengajian yang diselenggarakan oleh Ittihatul Ummahat (Persatuan Ibu-Ibu) di Kota Legenda, Bekasi Timur dan menjadi salah satu pengelola kelompok pengajian Rofiqoh, Munawwir, dan Munadzorah (Romuna), serta Yayasan Gadi Fi Muna sebagai naungan bagi majelis taklim, taman kanak-kanak, dan kegiatan Islami lainnya. 


Penyanyi Kasidah Modern Generasi Pertama

Karir Rofiqoh sebagai penyanyi kasidah dimulai sejak ia menduduki bangku kanak-kanak ia juga dikenal sebagai qoriah (Pembaca Al-Quran). Rofiqoh pernah menjuari perlombaan MTQ tingkat Provinsi di Yogyakarta lalu beberapa tahun kemudian dia menjuarai di tingkat Jawa Tengah, tepatnya di Kota Semarang. Rofiqoh muncul pertama kali dalam acara keagamaan di Pekalongan. Pada tahun 1965, Rofiqoh berpindah di Jakarta dan menemukan pasangan hidupnya yaitu seorang wartawan yang bernama, Darto Wahab.


Lalu ia dilirik oleh Rustam dari RRI lalu membawanya ke dapur rekaman piringan hitam dan mengisi acara program kasidah di RRI dan tanpa iringan musik. Pada tahun 1970 lahirlah kasidah modern Rofiqoh menjalani rekaman bersama Orkes Bintang-Bintang Ilahi pimpinan Agus Sunaryo dan juga laris di pasaran di bawah pimpinan Agus Sunaryo.

 
Lagu-lagu yang dibawakannya terjual ribuan hingga ratusan ribu kopi. Hitsnya seperti ‘Hamawi Yaa Mismis’ atau ‘Ya Asmar Latin Tsani’ telah menjadi lagu klasik dalam genre kasidah yang terus direkam dan diperdengarkan hingga sekarang ini, lebih-lebih dalam versi daur ulangnya. Kesuksesannya masuk dapur rekaman dan sambutan penggemar yang luas saat itu juga menjadi pembuka jalan bagi kehadiran berbagai jenis kasidah. kasidah pop, kasidah dangdut, kasidah modern, dan lain-lain pada masa-masa berikutnya.  


Tahun 1966 didukung oleh grup musik Al-Fata (Pemuda) pimpinan A Rahmat, ia masuk dapur rekaman dan piringan hitamnya beredar ke penjuru Indonesia. Lagu-lagunya seperti Hamawi Yaa Mismis, Ya Asmar latin Sani, Ala ashfuri, dan Ya Nabi salam alaik kemudian dengan cepat menjadi populer. Apalagi lagu-lagu itu berulang-ulang disiarkan di RRI dan ia pun beberapa kali tampil di TVRI.  Tahun 1971, rekamannya telah muncul dalam bentuk kaset yang makin memudahkan orang untuk memperolehnya. Rofiqoh mencuat sebagai bintang dan menjadi semacam ‘Ummi Kultsum'-nya Indonesia saat itu.  

 
Dalam dua dekade awal karirnya, hampir setiap dua bulan ia mengeluarkan album rekaman terbarunya, baik berupa pembacaan Qur’an maupun lagu-lagu kasidah dan gambus. Tak ada catatan pasti berapa album yang telah ia telurkan hingga kini. Yang jelas, sampai tahun 1990-an ia masih mengeluarkan album baru, meski sebagian besar daur ulang lagu-lagu lamanya yang sukses.  


Sejak suaminya wafat tahun 1997, Rofiqoh mengurangi intensitas kegiatan luar rumah. Rofiqoh mengelola dan memimpin kelompok pengajian Ittihadul Ummahat (Persatuan Ibu-ibu) di kawasan kota legenda di Bekasi Timur, mengelola kelompok pengajian Romuna (akronim dari Rofiqoh, Munawwir, dan Munadzorah), dan Yayasan Gadi Fi Muna yang membawahi majlis taklim, taman kanak-kanan dan sejumlah kegiatan sosial. Dia menjadi muballighah dan aktivis sosial, satu persambungan saja dari kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan yang dijalani sebelumnya, baik sebagai qori’ah maupun penyanyi qasidah.

 

Hj Rofiqoh Dharto Wahab meninggal dunia Rabu (12/7/2023) pukul 08.45 WIB di RS Haji Pondok Gede Jakarta. Jenazah terlebih dahulu disemayamkan di kediamannya, di Jalan H Nawi 45, Jatimakmur, Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat.

 

Rofiqoh sudah mulai menderita berbagai macam penyakit sejak 2019 lalu. Kemudian Hj Rofiqoh keluar-masuk RS untuk mendapatkan perawatan, hingga akhirnya mengembuskan nafas terakhir di usia 78 tahun.


Penulis: Suci Amaliyah