Tokoh

Sekilas Riwayat Kiai Umar Al-Muayyad Solo

Ahad, 12 Oktober 2014 | 00:02 WIB

Wasiate Kyai Umar maring kita
Mumpung sela ana dunya dha mempengo
Mempeng ngaji ilmu nafi’ sangu mati
Aja isin aja rikuh kudu ngaji
<>
Syair yang diambil dari Sholawat Wasiat tersebut, akan menyambut para peziarah saat masuk ke makam KH Ahmad Umar bin Abdul Mannan di Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta. Kiai Umar yang lahir pada 5 Agustus 1916 merupakan seorang tokoh ulama kharismatik dari Solo.

Menurut pengasuh Pesantren Al-Inshof Mojosongo, KH Abdullah Sa’ad, Kiai Umar termasuk sebagai salah satu ‘cagak bumi’ pada zamannya (di era 1980-an,-red). “Kiai Maksum Lasem suatu ketika pernah menyebut, ada beberapa ulama yang menjadi ‘cagak bumi’, mereka yakni KH Arwani Amin Kudus, KH Abdul Hamid Pasuruan, Habib Anis Al-Habsyi Solo dan KH Umar Abdul Mannan Solo,” ungkapnya pada sebuah kesempatan.

Tidak hanya itu, KH Mubasyir Mundzir Bandar Kidul Kediri, juga pernah menyatakan bahwa Kiai Umar yang seumur hidupnya selalu menjaga wudhu dan shalat berjamaah itu adalah salah seorang anggota wali autad, yakni tingkatan yang setiap masa anggotanya hanya empat orang.

Berawal dari Sebuah Langgar

Dari beberapa kesempatan kami berziarah ke sana, makam Kiai Umar setiap hari hampir tak pernah sepi dari peziarah. Apalagi ruang kecil di sebelah barat masjid pondok itu, sering digunakan untuk tempat mengaji para santri. Para santri meneruskan apa yang telah dirintis oleh Kiai Umar, sejak puluhan tahun yang lalu. Seperti halnya para santri, sejatinya Kiai Umar pun meneruskan apa yang telah dibangun oleh para pendiri.

Dahulu, sebelum berdiri pondok dan masjid, kegiatan pengajian yang dipimpin KH Abdul Mannan masih dipusatkan di sebuah langgar panggung di kampung Mangkuyudan. Pada tahun 1937, Kiai Abdul Mannan memanggil Umar muda yang tengah nyantri, untuk pulang kampung, menggantikan mengelola langgar.

Pada perkembangannya, setelah dipegang Kiai Umar langgar panggung tersebut semakin ramai dengan para santri yang berdatangan dari berbagai daerah. Bahkan, bagian bawah langgar pun tak cukup untuk menampung tempat tinggal para santri.

Kiai Umar kemudian memohon kepada sang ayah untuk membeli sebagian tanah milik KH Ahmad Shofawi. Pada awalnya KH Ahmad Shofawi keberatan menjual tanah karena beliau sendiri tidak berkeberatan tanahnya digunakan untuk pondok pesantren. Namun akhirnya KH Ahmad Shofawi bisa memahami alasan rencana pembelian tanah oleh keluarga KH Abdul Mannan.

Lalu dibelilah sebidang tanah untuk pondok tak jauh dari  Langgar Panggung. Untuk membeli tanah ini, KH Abdul Mannan menjual sebidang tanah milik beliau yang terletak di sebelah selatan Stasiun Purwosari dekat Kantor Pajak sekarang. Pondok itu kemudian dibangun pada tahun 1947 dan diberi nama Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan yang di sebelah baratnya telah berdiri Masjid Al-Muayyad seluas 183 meter persegi yang merupakan wakaf dari KH Ahmad Shofawi. Masjid ini dibangun pada tahun 1942 dan status wakafnya tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Laweyan Surakarta. 

Sebuah sumber, sebagaimana ditulis Muhammad Ishom dalam Majalah Serambi Al-Muayyad Edisi ke-6 (2014), menyebutkan tanah yang dibeli KH Abdul Mannan dari KH Ahmad Shofawi adalah seluas 400 meter  persegi.  Sumber lain menyebutkan sebuah dokumen berupa Surat Hak Tanah Persil No. 423 menyatakan tanah di Mangkuyudan, tepatnya di Kampung Todipan Kalurahan Purwosari, seluas 2.550 meter persegi dimiliki secara berdua antara KH Ahmad Shofawi dan KH Umar.

Pada tahun 1983 dokumen tersebut telah dikonversi menjadi Sertifikat Hak Milik No. 797 atas nama 12 orang yang mencakup ahli waris KH Ahmad Shofawi dan KH Ahmad Umar. Ahli waris KH Ahmad Umar telah sepakat mewakafkan tanah yang dibeli KH Abdul Mannan untuk Pondok Pesantren Al-Muayyad seberapapun luasnya meskipun hingga kini proses sertifikasi tanah wakaf belum selesai dan akan terus diupayakan.

Pendidik Handal

Sebelum pulang kampung, Kiai Umar sempat nyantri di beberapa pesantren diantaranya Termas Pacitan, Mojosari Nganjuk, Popongan Klaten dan Krapyak Yogya. Di pesantren yang terakhir disebut inilah, Kiai Umar mendapatkan silsilah keilmuannya di bidang Al-Qur’an, yang bersambung mulai dari pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta KHR Moehammad Moenawwir hingga Nabi Muhammad saw.

Oleh sebab itulah, sebutan Pesantren Al-Qur'an juga melekat kuat pada Pesantren Mangkuyudan, sebutan lain Al-Muayyad, hingga sekarang. Pada zaman itu, Kiai Umar menjadi rujukan utama bagi santri-santri yang ingin mengaji Al-Qur'an, baik bin nazdor ataupun bil ghoib. Kepada Kiai Umar, santri-santri di berbagai penjuru untuk menyambungkan sanad dan ngalap berkah Kiai Moenawwir Krapyak.

Meski demikian, tidak semua santri mendapatkan ijazah atau sanad langsung dari Kiai Umar. Sebab, Kiai Umar terbilang sangat berhati-hati. Meski murid tahfizhul Qur'an-nya ribuan, namun tidak banyak santri diketahui telah mendapatkan ijazah sanad Al-Qur’an. Hal ini disebabkan persyaratan ketat yang ditetapkan sang kiai yang meliputi akhlak, ketekunan dalam beribadah serta kesungguhan dalam mengaji.

Dalam mengajar Al-Qur’an, selain telaten dalam mendidik Kiai Umar juga memiliki cara tersendiri. Hal ini diungkapkan salah satu keponakannya, KH M. Dian Nafi’. Menurut Kiai Dian yang kini mengasuh Pesantren Al-Muayyad cabang Windan Sukoharjo, ia begitu kagum dengan cara menanamkan hafalan Al-Qur’an Kiai Umar kepada para saudaranya yang masih kecil.

“Cara mendidik Mbah Umar kepada adik-adiknya seperti sedang ‘bermain’. Sehingga, adik-adik beliau sudah dapat hafal Al-Qur’an dalam waktu usia yang relatif masih kecil. Saya menyebut metode tersebut dengan istilah bahasa abjektif. Yakni, bahasa tanpa gramatika, seperti bahasa bayi, tak terstruktur tapi dapat dipahami orang di sekitarnya. Bahkan, memiliki muatan pesan yang universal,” terang Wakil Rais Syuriyah PWNU Jateng itu.

Dari metode tersebut ikut memberi andil, sehingga adik-adiknya di kemudian hari juga menjadi para ahli Al-Qur’an. Mereka antara lain KH M Nidhom (Pendiri Pesantren di Masjid Al-Wustho Mangkunegaran Solo) dan KH Ahmad Jisam (Pendiri Pesantren Gondang Sragen).

Pada kurun waktu hingga awal 70-an, lahir pula generasi santri yang kelak menjadi ulama besar di zamannya, diantaranya KH Salman Dahlawi (Pesantren Al-Manshur Popongan/Mursyid Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyyah), KH Baidlowi Syamsuri (Pengasuh Pesantren Sirojut Tholibin Brabu), KH Nuril Huda, KH Ma’mun Muro’i dan lain sebagainya.

Ikut Membesarkan NU

Di tengah kesibukannya dalam mengajar, Mbah Umar ikut memperhatikan keberlangsungan jam’iyyah Nahdlatul Ulama, khususnya di wilayah Soloraya. Di masa kepemimpinannya, Al-Muayyad bergabung menjadi anggota Rabithah al Ma’ahid al Islamiyyah Nahdlatul Ulama dengan Nomor Anggota: 343/B Tanggal: 21 Dzul Qa’dah 1398 H/23 Oktober 1978 M di bawah pimpinan KH Achmad Syaikhu.

Wakil Ketua PCNU Surakarta H Hari Mas’udi menuturkan meskipun Mbah Umar tidak pernah mengemban amanah di kepengurusan NU secara struktural, namun dukungannya kepada NU begitu luar biasa.

“Salah satu kisah, ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi, setelah istikharah Mbah Umar langsung mengganti plang Masyumi yang tadinya dipasang di sekitar kompleks pondok dengan plang NU,” ujarnya.

Pun ketika terjadi kemelut pada NU, yang berujung pada terbelahnya NU menjadi “dua kubu”, yakni “kubu Situbondo” dan “kubu Cipete”, sebelum akhirnya diputuskan untuk kembali ke khittah 1926 pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984. Kiai Dian Nafi’ yang kala itu masih muda, bertanya kepada Kiai Umar perihal kejadian ini. Pertanyaan tersebut kemudian dijawab oleh Kiai Umar sebagaimana dikisahkan oleh KH Yahya Cholil Staquf.

“Orang itu pangkatnya lain-lain. Ada yang pangkatnya memikirkan NU, ada yang pangkatnya mengurusi NU. Lha kita ini baru sampai pangkat mengamalkan NU. Ya sudah, bagian kita ini saja kita laksanakan. Mengajar santri, ngopeni orang kampung. Jangan sampai terlalu banyak orang memikirkan dan ngurusi NU tapi langka yang mengamalkannya,” jawab Kiai Umar.

KH Ahmad Umar wafat pada tanggal 11 Ramadhan 1400 H/24 Juli 1980 M, meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Shofiyyah Umar. Atas permintaan dua sahabatnya, Kiai Abdul Ghoni Ahmad Sajadi dan H. Wongso Bandi, jenazah sang allamah dimakamkan di belakang masjid Al Muayyad, di tengah kompleks pesantren yang didirikannya.

Salah seorang santri bercerita, dua bulan sebelumnya, kedua orang yang dekat dengan Kiai Umar itu sempat berbincang bahwa biasanya pesantren akan pudar sinarnya bila kiainya wafat tanpa meninggalkan anak. Untuk “mengatasi” hal itu berdasarkan petunjuk para kiai sepuh, hendaknya jasad Kiai Umar dimakamkan di kompleks pesantren. Diibaratkan, liang lahat sang kiai akan menjadi “bintang” yang tetap memancarkan cahayanya hingga tidak memudarkan pesantren yang ditinggalkannya. (Ajie Najmuddin/Anam)