Warta

Gus Mus: Kiai dan Pesantren Harus Tampil Cegah Kekerasan Berlatar Agama

Sen, 24 Maret 2008 | 07:19 WIB

Gus Mus: Kiai dan Pesantren Harus Tampil Cegah Kekerasan Berlatar Agama

Jakarta, NU Online
Mustasyar (penasihat) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Mustofa Bisri (Gus Mus) menyatakan, para kiai, ulama dan kalangan pesantren harus tampil untuk mencegah tindakan kekerasan yang berlatar belakang agama. Pasalnya, kata dia, selama ini, agama kerap dijadikan pembenaran dan alasan oleh kelompok tertentu untuk melakukan kekerasan.

"Pesantren harus mengambil peran aktif. Selama ini, peran pesantren tidak tampak," kata <>Gus Mus dalam Seminar dan Bahtsul Masail Peran Pesantren dalam Mencegah Kekerasan Berbasis Agama di Hotel Bintang Griyawisata, Jalan Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (24/3).

Budayawan yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Rhaudathut Thalibin Rembang, Jawa Tengah, itu menyebutkan, fenomena kekerasan berbasis agama belakangan ini lebih banyak terjadi di kota ketimbang di wilayah pedesaan. "Kekerasan yang menggunakan agama tidak muncul dari desa, tapi dari kota," jelasnya.

Dijelaskannya, selama ini, informasi yang muncul di media massa seperti di TV atau koran jarang yang memberitakan kegiatan pengajian di daerah atau pesantren dan lebih banyak didominasi oleh aktifitas orang kota.

“Nga tahu kenapa, pers juga suka yang gitu-gitu. Kegiatan di daerah-daerah tidak pernah muncul di TV. Memang kalau ke daerah harus ongkos. Iini juga salah satu faktor, sehingga yang muncul di media, ya tampilan Islam kota itu, yang menggebu-gebu, yang sangat bersemangat, tetapi tidak seimbang dengan pemahaman pemahaman keagamaan,” katanya.

Dalam pandangan Gus Mus, kekerasan berbasis agama terjadi karena pemahaman agama yang dijadikan landasan kelompok atau orang tertentu yang diwujudkan dalam tindakan sangat minim.

“Istilahnya hanya membaca kitab satu dipakai dimana-mana. Terlalu ekstrim dalam mensikapi ayat ballighu anni walau ayah yang artinya sampaikan walau satu ayat,” tandasnya.

Dikalangan pesantren, belajar merupakan sebuah proses berkelanjutan yang tidak mengenal strata seperti di sekolah-sekolah formal. Sementara, kalangan Islam kota yang baru belajar sedikit sudah merasa menguasaI Islam secara sempurna. 

“Belajar sampai bab ghodob (marah) merasa Islam itu ghodob, marah terus ke mana-mana, padahal setelah itu ada bab sabar, tawadhu, macem-macem,” imbuhnya.

Karena itu Gus Mus meminta agar tidak berhenti melakukan proses pembelajaran. “Anda anak muda mau berfikir seperti apapun, segila apapun, asal meraka tetap masih mau belajar. Kalau dia menyadari belum tutuk ilmunya, tawadhu, itu tidak masalah. Tapi kalau berhenti karena merasa pinter, ini yang kacau,” tukasanya.

Untuk menyuarakan pesan Islam yang damai ini yang selama ini hanya menjadi silence mayority, Gus Mus meminta diawalinya dari NU karena NU adalah pesantren besar.

“Mau tidak mau NU merupakan organisasinya kiai-kiai pesantren. Kalau NU menggerakkan, pesantren akan bergerak,” tandasnya. (mkf/rif)